CAHAYA
DI PESANTREN
Pesantren?.
Mendengar kata pesantren, apa yang terbesit di benakmu?. Pesantren bukanlah
istilah yang asing bagi khalayak umum. Pesantren adalah tempat untuk menimba
ilmu, lebih tepatnya untuk memperdalam ilmu agama. Dari lorong pesantren,
kutemukan cahaya kedamaian. Itulah sebabnya, aku (Halimah) memutuskan untuk resign (mengundurkan diri) dari
pekerjaan-pekerjaan terdahulu di perusahaan, tak lain karena untuk menuntut
ilmu agama. Sebab, ilmu agamalah yang akan menjadi bekalku di kehidupan
akherat. Di pesantren, kutemukan cahaya kebahagiaan di atas kesederhanaan.
Sungguh,
kehidupan di pesantren mengajarkanku banyak hal tentang arti kehidupan seperti
ketawadhu’an, kesederhanaan, tabaru’an, rasa syukur, kesabaran, kebersamaan,
dan pengetahuan. Aku tak dapat melukiskan isi hatiku, melainkan melalui sebuah
goresan yang tertuang dalam kata demi kata yang menyatu menjadi sebuah tulisan
ini. Tiada yang dapat kukatakan selain mengucapkan syukur, tiada Rabb semesta
alam melainkan Allah SWT. Sungguh, tiada kekuatan melainkan datangnya dari
Allah, Dialah dzat yang Maha Kuat lagi yang menguatkan makhluknya. Bahkan, gerakan
jemari tanganku hingga dapat merangkai kata demi kata ini pun terjadi tak lain
atas izinNya.
Perjalanan
menuju pesantren bukanlah hal yang mulus bagiku, penuh gelombang berliku, ada
yang pro dan ada yang kontra. Menurutku, itu adalah hal yang biasa. Bagi yang
pro, mereka mengatakan, “Semoga dengan
kau di pesantren, akan kau dapatkan keberkahan, kau dapatkan ilmu yang bermanfaat
serta akhlak yang semakin baik”. Bagi yang kontra, mereka mengatakan, “Sekolah tinggi-tinggi, lulusan sarjana kog
ujung-ujungnya mondok di pesantren. Apa gunanya sarjana, mubadzir ilmunya”. Well….keputusan
tetaplah di tanganku, maka kupilih merenung dan istikhoroh adalah jawabannya. Terhadap
yang pro kukatakan, “Aamiin ya rabb,
semoga doamu untukku diijabah oleh Allah SWT, dan kebaikan pun kembali padamu,
semoga Allah merohmatiku dan merohmatimu. Aamiin”. Terhadap yang kontra,
yang menyayangkan keputusanku untuk memilih mondok di pesantren, kukatakan, “Tiada ilmu yang tak berguna. Selama ilmu itu
dimanfaatkan untuk kebaikan. Terimakasih atas masukannya. Bagiku, sains perlu
dilengkapi dengan ilmu agama. Sains dan ilmu agama itu sepaket, tidak bisa
dipisahkan. Sehingga alangkah indahnya bila ulama dan inovator itu saling
melengkapi untuk bersinergi dalam memajukan teknologi dan mengembangkan ilmu pengetahuan”.
Sudah
kuputuskan bahwasannya mondok adalah pilihan. Aku memutuskan untuk mondok
karena aku merasa kurang ilmu agama, sehingga masih perlu menimba ilmu agama
lebih dalam lagi. Amal tanpa ilmu adalah suatu kebodohan, ilmu tanpa guru dapat
menimbulkan kesalahpahaman penafsiran ataupun pemahaman. Maka dari itu, aku menimba
ilmu (berguru di pesantren) untuk perlahan-lahan diamalkan sebagai bekal di
kehidupan yang abadi. Sejak kecil aku bermimpi supaya aku bisa menjadi wanita
yang mandiri, tidak membebani orangtua, serta menjadi wanita yang cerdas jua tawadhuk meneladani
sang idola, Robi’ah Al Adawiyah dan Sayyidah Khodijah RA. Alhamdulillah, apa
yang aku impikan Allah wujudkan. Sedari SD hingga kuliah bahkan hingga di
pesantren, aku tak membebani biaya pendidikan pada orangtua. Sejak SD penulis
mendapatkan bantuan dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah), bantuan siswa
prestasi dan bantuan siswa kurang mampu. Ketika SMP, Allah berikan nikmat
beasiswa prestasi dan beasiswa tidak mampu (dua beasiswa karena pada saat itu,
double beasiswa masih diperbolehkan). Saat SMA mendapatkan beasiswa prestasi
dari kejuaraan paralel, kelas dan lomba serta beasiswa tidak mampu. Selama
kuliah di Universitas Diponegoro (UNDIP) di Semarang, aku mendapatkan beasiswa
bidikmisi dan dapat mandiri biaya kuliah dengan bekerja part time sebagai guru les, penerjemah, serta ghost writter.
Alhamdulillah,
masalah biaya pendidikan Allah berikan solusi mandiri melalui beasiswa dan
kerja. Selanjutnya, saat mondokpun aku tidak mau membebani orangtua. Aku mondok
dari uang bisaroh ngajar di MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah).
Terimakasih ya Rabb, Kau permudah jalanku menuntut ilmu tanpa harus membebani
biaya kepada kedua orangtuaku. Sungguh aku tak mau membebani orangtuaku, biar
orangtuaku cukup membiayai adekku dan aku dapat mengenyam pendidikan melalui
keringatku sendiri. Semua itu tak kan terjadi tanpa qudrot dan irodahMu ya Allah, segala puji syukur bagiMu, Rabb Semesta Alam. Di
pesantren inilah, aku melukis kenangan perjalanan hidup baru untuk menemukan
jati diriku yang sesungguhnya. Di pesantren inilah (PP. Khozinatul Ulum, Blora),
aku mendapatkan banyak pelajaran berharga untuk aku gunakan sebagai bahan dalam
mengevaluasi diri (memperbaiki akhlak) dan memperdalam pengetahuan agama untuk
aku amalkan yang menjadi bekalku nanti di alam barzah, bekalku nanti di
kehidupan akherat, bekalku nanti di kehidupan setelah kematian.
Di
sini terkadang aku merasa malu, aku menjumpai banyak anak yang usianya jauh di bawah
usiaku namun sudah hafal Al-Qur’an (Khafidzhoh). Tetapi aku jua bersyukur, di
sini masih banyak remaja seusiku yang mondok di pesantren ini bahkan yang usia di atasku pun masih ada (sekitar usia
24-27 tahun). Sehingga, akupun tak malu bila harus mondok, sebab
teman seusiaku banyak. Jadi bukan aku yang paling gedhe di sini. Alhamdulillah,
Allah berikan kemudahan untuk mendekatkan diri padanya. Sejak di pesantren, aku
berkomitmen untuk bersungguh-sungguh belajar ilmu agama. Bila pagi hingga sore
hari kumanfaatkan untuk mengajar di MA
dan MTs, maka saat malam hari kumanfaatkan untuk mengaji Al-Qur’an dan
ikut memaknai kitab kuning, lalu aku ringkas kembali, aku berikan tafsir/
penjabaran sendiri dari penjelasan guru yang sudah aku catat.
Pelajaran
yang kudapatkan tiap malam diantaranya dari belajar kitab (maknai dan memahami)
apa yang disampaikan ustadz dan Pak Yahi seperti pelajaran kitab Fathul Mu’in,
kitab Majalisus Saniyyah, kitab Ibnu Aqil, kitab Uqudillujen, kitab Tafsir Al
Qur’an, kitab Bidayatil Hidayah, kitab Khozinatul Asror, kitab Tajridu Soreh. Saat
diterangkan, aku benar-benar memperhatikan, pokok-pokok materi yang disampaikan
pak ustads aku catat, dan saat memaknai aku berusaha cepat agar tak
ketinggalan. Alhamdulillah dulu pernah sekolah di madrasah dinniyah, jadi saat
memaknai tidak menemukan kesulitan yang sangat signifikan. Terimakasih saya
haturkan kepada seluruh para guru madrasah diniyyah sore saya dulu, dari
madrasah diniyyah itulah yang menjadi bekal saya untuk menimba ilmu di
pesantren. Saat tengah malam, biasanya aku bangun, meringkas kembali yang
disampaikan Pak Kiahi dan Pak ustads, dan aku ketik ulang untuk aku jabarkan
dalam sebuah artikel yang aku publikasikan di blog pribadiku agar ilmu itu
dapat dipelajari sepanjang waktu. Tulisan tak kan pernah hilang dimakan waktu,
karena tulisan akan abadi sepanjang masa bahkan saat sang penulispun telah
tiada. Aku berfikir, dengan mempublikasikan tulisanku, semoga tulisanku dapat
dipelajari orang lain dan dapat menjadi amal ibadah guruku karena beliaulah
yang pertama menjadi sumber inspirasiku untuk menulis.
Terkadang
beberapa hal hadir menguasai pikiranku, hingga aku menangis ketakutan saat
mengingat itu. Beberapa hal yang membuatku sedih, karena bayangan itu terus
hadir dan terpatri di otakku. Sering pertanyaan itu muncul dan menguasai benakku, seolah bertahta bersemayam
di otakku. Sungguh beberapa pertanyaan yang selalu hadir itu diantaranya:
1. Sungguh,
demi Rabb Semesta Alam. Saat aku bersanding dengan Khafidhah yang sedang
menghafal ayat-ayat al qur’an, hatiku sangat terharu. Bagaimana tidak, mereka
in syaallah adalah calon ahli surga. Tiap kali mendengar para santriwati
mengaji dengan suara yang merdu, faseh, mahroj jelas, sungguh hatiku rasanya
bergetar. Dalam benakku sering muncul merenung seperti ini:
“Sungguh, mereka beruntung karena
hafal dengan kalam Allah. Bisa jadi para khafidhoh ini adalah calon ahli surga,
bagaimana dengan nasibku ini ya Allah, aku bukan khafidhoh, bagaimanakah
nasibku nanti di akherat?. Bila engkau tak memberikan kasih dan sayangMu padaku,
bila engkau tak mencurahkan hidayahMu untukku, maka aku termasuk golongan orang
yang merugi. Duhai Rabb Semesta Alam…ampunilah dosaku karena kebodohanku, ampunilah
dosaku karena kelalaianku, ampunilah dosaku karena kekhilafanku, ampunilah dosaku
karena kepandaianku yang belum kuamalkan, ampunilah dosa lisan yang terkadang
terpeleset, ampunilah dosa pendengaranku, ampunilah dosa tanganku, ampunilah dosa
kakiku, dan ampunilah dosa penglihatanku. Masukkanlah aku ke dalam golongan
orang-orang yang senantiasa engkau cintai dan engkau rahmati. Sesungguhnya
Engkaulah dzat yang berkuasa untuk menyesatkan dan menyelamatkan seorang hamba”.
Terkadang tanpa sadar saat merenungkan itu, air mata
berjatuhan. Terlebih saat ingat pesan Imam Ghozali dalam kitab bidayatil
hidayah, pesan Rabi’ah Al Adawiyah (terlebih ia adalah tokoh idolaku sejak
kecil). Sungguh, hal yang mendasariku kenapa aku belajar sungguh-sungguh di
pesantren, kenapa aku rajin ikut mengaji, rajin ikut majlis karena aku merasa
masih bodoh dan sangat memerlukannya sebagai bekalku nanti dalam membangun
keluarga sehingga semangatku belajar kian membara. Pesan bapakku dalam
wejangannya yang senantiasa teringan dalam benakku:
“Nduk sampean
neg pengen khasil, mongko sekolaho seng tenanan. Neg pengen anakmu sok manut
ambi sampean, sak iki manuto. Neg pengen jodohmu ngalim, sekolaho seng tenanan,
ngaji o seng tenanan, dadi o wong ngalim. Jodoh iku cerminan songko awakmu. Neg
sampean ngalim, in syaallah jodohmu yo ngalim”.
Kata-kata Bapak itu selalu terpatri di benakku,
tatkala nanti aku menginginkan jodoh yang cerdas ilmu dunianya jua ilmu
akheratnya atau minimal cerdas ilmu akheratnya serta bagus akhlaknya, maka
terlebih dahulu aku jua harus baik akhlakku jua harus cerdas pengetahuanku akan
ilmu agama dan ilmu duniawi. “Jangan
menuntut jodohmu wow, tetapi tengokkah pada kemampuanmu. Sebab jodoh biasanya
adalah cerminan dari pribadimu”. Ya, sekalilagi aku tak banyak menuntut,
aku pasrahkan semua pada Rabb Semesta Alam, selama ia bisa membuatku merasakan
kedamaian, kenyamanan, mengingatkanku akan kematian, mengingatkanku akan
akherat, mampu dan mau dengan sabar membimbingku, berarti itulah jodoh yang
Allah SWT takdirkan untukku.
2. Sungguh,
saat solat berjamaah atau saat mengajar anak-anak di MTs atau MA, fikiranku
selalu terbayang akan hal ini:
“Anak-anak ini bisa jadi menjadi
ahli surga, sedangkan diriku, akupun tak tahu nasibku nanti di akherat, akankah
menjadi ahli surga ataukah ahli neraka?. Semoga Allah berikan pertolongan
untukku. Anak-anak masih kecil, lembaran catatan amalnya belum banyak
tercoret-coret oleh tinta dosa, sedangkan diriku sudah besar, secara otomatis
tinta dosanya lebih banyak. Semoga Allah SWT senantiasa mengampuniku dan
memberikan petunjuknya untukku sehingga aku jua termasuk golongan orang yang
beruntung”.
Aku
sering merenung seperti ini tiap kali aku usai membaca kitab karangan imam
Ghozali, sungguh wejangan-wejangan imam ghozali mengenai ketawadhu’an terpatri
di otakku, hingga tak jarang air mataku terjatuh ketika sendirian dan saat dihadapan
orang banyak, aku tahan air mata itu supaya tidak terjatuh. Sebab aku sangat
menghawatirkan akan nasibku nanti di akherat. Aku tak mau merasa menjadi orang yang beruntung, aku tak mau merasa menjadi orang yang
pintar, aku tak mau merasa menjadi
orang yang selamat (ahli surga) dan sebagainya, aku lebih nyaman ketika aku
merasa orang yang bodoh sehingga mendorongku untuk rajin belajar, aku lebih
nyaman merasa sebagai ahli dosa sehingga membuatku lebih banyak intropeksi
diri, aku lebih nyaman merasa sebagai ahli neraka sehingga amal ibadah dan
taubatku kutambah agar senantiasa semakin dekat kepada Allah SWT. Aku belajar
hal ini dari kisah-kisah idolaku, lebih tepatnya Imam Ghozali, Imam Simbabweh,
dan Rabi’ah Al Adawiyah sebagai contohnya. Sebagaimana dhawuhnya Imam Ghozali
dalam kitab Bidayatil Hidayah:
“Sungguh merugi orang yang merasa dirinya
baik sehingga ia terlarut dalam membanggakan diri, riya’, takabbur yang
membawanya terjerumus dalam kesesatan yang tiada terasa. Sebodoh-bodohnya orang
adalah orang yang merasa dirinya lebih baik daripada orang lain”
Membaca
wejangan Imam Ghozali, aku selalu merenung, aku selalu berusaha mengamalkan apa
yang beliau ajarkan terlebih beliau adalah sosok yang ngalim, begitu luas
pengetahuannya akan agama. Maka dalam tulisan ini aku persembahkan padanya
hadiah solawat untuknya. Semoga Allah SWT senantiasa memuliakannya karena ilmu
yang ia ajarkan melatihku untuk zuhud, melatihku untuk selalu intropeksi diri,
melatihku untuk selalu merenung dan melatihku untuk senantiasa ingat akherat.
3. Sungguh,
tatkala aku bersanding dengan orang yang usianya lebih tua denganku, aku selalu
merenung seperti ini:
“Orang-orang ini usianya lebih tua dariku,
sudah barang tentu amal ibadahnya lebih banyak dari aku, sehingga besar
peluangnya sebagai ahli ibadah. Sedangkan diriku, aku tak tahu nasibku di
akherat nanti, akankah aku sebagai ahli surga dan kekasih Allah SWT ataukah
justru sebagai ahli neraka ayng senantiasa disiksa?. Wallahu a’lam, sungguh itu
di luar pengetahuanku sebab aku hanyalah makhluk yang pengetahuannyapun sangat
terbatas. Duhai Rabb Semesta Alam yang menciptakan langit tanpa tiang,
menciptakan bumi beserta isinya, menciptakan rembulan, bintang dan matahari
dengan terang cahayanya, maka tiada pertolongan melainkan pertolongan dariMu.
Ya Rabb, ampunilah aku, terimalah taubatku, ajarkan aku tentang cara
mencintaiMu di atas mencintai makhlukku, selamatkanlah aku dan masukkanlah aku
ke dalam golongan orang-orang yang engkau kasihi dan kau masukkan ke dalam
jannah serta engkau temui sebagai kekasih karena kataatannya padaMu”.
4. Sungguh,
tatkala aku melihat orang gila, hatiku tergugah. Terkadang air mataku
berjatuhan, kasihan, terlebih saat melihatnya mengaisi nasi di sampah-sampah.
Terkadang aku dekati, jika orang gila itu tak terkesan menyeramkan/ menakutkan,
masih bisa dihandle (bisa diluluhkan), kuberikan makanan, atau aku dekatinya
sekedar menemaninya. Pada hakekatnya yang dibutuhkan orang gila agar sembuh
itu, mereka butuh perhatian yakni perhatian lahir (berupa makanan, minumam,
tempat tinggal, pakaian), perhatian batin (kasih sayang, kepedulian dan ilmu
agama seperti ajaran dzikir, wirid) sebab gila dapat sembut tatkala seorang
hamba yang gila kembali ingat pada Tuhannya. Sehingga akupun menanamkan untuk
berhusnudzan padanya:
“Orang ini gila, sehingga selama masa gilanya
tidak dihisab amalnya sebab karena kegilaannya. Barangkali sebelum ia gila, ia
adalah ahli ibadah, maka sungguh kemungkinan besar peluangnya ia termasuk orang
yang beruntung sehingga bisa mendapatkan rahmad Tuhannya. Aku ditakdirkan
waras, apakah warasku aku manfaatkan sepenuhnya untuk ketaatanku pada Allah
SWT? Apakah aku mensyukuri nikmat waras yang senantiasa Allah berikan untukku?
Apakah aku senantiasa memanfaatkan kewarasanku untuk menuntut ilmu? Ataukah aku
justru menggunakan kewarasanku untuk kemaksiyatan. Syngguh, aku tak tahu
nasibku di akherat nanti, maka selamatkanlah aku ya Rabb. Tunjukkan jalan
hidayahmu untukku agar aku senantiasa termasuk golongan orang-orang yang
beruntung sebagai kekasihMu yang engkau cintai dan jua senantiasa menegakkan
apa saja yang engkau perintahkan tanpa rasa malas”.
5. Dan
beberapa pertanyaan yang sering muncul di benakku, hingga aku menangis bila
teringat adalah:
- Bagaimanakah
nasibku nanti di akherat, akankah aku termasuk ahli jannah ataukah ahlun
nar?
- Akankah aku
menerima catatan amal dengan menggunakan tangan kanan atau justru
menggunkan tangan kiri?
- Akankah aku
bisa lolos selamat saat melewati jembatan sirotol mustaqim atau justru
terpeleset terjatuh saat menyeberangi jembatan sirotol mustaqim yang
tebalnya dengan rambut saja, masih
kecil jembatan sirotol mustaqim, akankah aku selamat ya Rabb?
- Akankah aku
mati dalam kondisi muslim ataukah kafir? Akankah aku mati dalam keadaan
su’ul khotimah ataukah khusnul khotimah?
- Akankah ketika
timbangan hisab amalku diperlihatkan, catatan amalku yang baik lebih berat
ataukah catatan amal burukku yang lebih berat?
- Akankah
Nabi Muhammad SAW berkenan mengakui sebagai ummatnya ataukah tidak?
- Akankah
Allah berkenan menemuiku saat di akherat ataukah tidak?
- Akankah aku
termasuk sebagai golongan orang yang beruntung ataukah tidak?
- Bisakah aku
berkumpul dengan ayah, ibu, adek, serta keluargaku saat nanti di akherat
di jannah ataukah justru berkumpul di neraka atau justru terpisah ada yang
di neraka dan ada yang di surga?
Sungguh, hatiku
bergetar saat aku memikirkan itu. Terkadang terbawa mimpi, terkadang air
matapun terjatuh saat merenung sendirian. Sungguh, aku sangat menghawatirkan
nasibku di akherat. Sungguh, aku sangat merinduhkan para idolaku yang lebih
dahulu bertemu Allah dan sudah di nash sebagai ahli jannah dan dinash sebagai
kekasih Allah SWT layaknya sang baginda rosul, layaknya para ummahatul
mukminin, layaknya para khulafa’ur rosyidin, layaknya Siti Maryam, layaknya
Siti Asiyah (istri Fir’aun). Duhai Rabb semesta alam, tunjukkanlah aku jalan
lurusMu, masukkanlah aku sebagai golongan orang yang beruntung. Sungguh, tanpa
pertolonganmu maka aku termasuk orang yang merugi. Sesungguhnya, tiada dzat
yang dapat menyelamatkanku melainkan darimu. Engkaulah Rabb Yang berkuasa untuk
menyesatkan jua menyelamtkan, maka selamatkanlah aku. Kumpulkanlah aku bersama
orang-orang yang engkau cintai.
Saat ini aku
berkomitmen untuk memperdalam ilmu agama semaksimal yang aku bisa, sehingga
setiap ada kesempatan untuk belajar aku berupaya untuk memanfaatkannya
sebaik-baiknya. Banyak hal yang perlu aku
persiapkan sebelum aku terjun ke dalam rumah tangga menjadi seorang
istri dan seorang Ibu. Aku ingin meniru jejaknya Sayyidah Muthi’ah RA yang
dinobatkan sebagai bidadari surga karena ketaatannya pada sang suami. Sebab
ridho Allah SWT bersamaan dengan ridho sang suami bagi seorang wanita yang
sudah menikah. Hal inipun dijelaskan dalam kitab Uqudillujen dan Majalisus
Saniyyah. Aku jua ingin menjadi layaknya
Siti Fatimah RA yang mendidik anaknya (Hasan dan Husain) dengan kasih sayang,
kelembutan sehingga menjadi putra yang cerdas dan berakhlak.
Sebagaimana kata
guruku:
”Kecerdasan seorang anak itu 80% diturunkan dan kecerdasan seorang Ibu.
Bila engkau menginginkan anakmu cerdas, maka jadilah Ibu yang cerdas”.
Sungguh, aku sangat
ingin menjadi wanita yang cerdas baik pengetahuan duniawi maupun pengetahuan
ukhrawi bukan untuk menyaingi suamiku melainkan sebagai bekalku untuk mendidik
putra-putriku nanti ketika berkeluarga, sebab seorang Ibu adalah madrasah
pertama bagi putra putrinya. Ibu adalah teladan pertama bagi seorang anak, maka
Ibu yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas. Caranya bagaimana, rajin
belajar. Para imam (imam syafi’I, imam hanafi, imam ghozali, dll) itu sangat
rajin dalam belajar. Bahkan tiada waktu tanpa belajar, sungguh teramat malu
bagiku bila aku yang masih bodoh tak ada apa-apanya dengan mereka, lantas malas
belajar, maka pada diriku kutekankan aku harus rajin belajar.
Hal yang membuatku
semangat belajar dan mengaji adalah aku selalu teringat pesan Ibu dan bapak
untuk senantiasa belajar bersungguh-sungguh. Terhadap orang yang aku cintai,
ayah dan ibuku, adekku, ahlul bait aku hadiahkan doa, sholawat, agar pahalanya
senantiasa tercurah padanya. Terkadang aku merenung, inilah renunganku:
“Duhai Rabbku, cinta adalah anugerah rasa yang kau limpahkan padaku.
Bila aku mencintai manusia sebegini dalamnya, lalu bagaimana pantasnya cintaku
padamu. Anugerahkanlah rasa cinta yang suci padaku, ajarkan aku untuk
mencintaiMu di atas mencintai makhlukmu. Dari cimta ke manusia, aku mengerti
hakekat cinta dan bagaimana seyogyanya cintaku padaMu ya Rabb. Aku ingin
mencintaimu layaknya Rabi’ah Al Adawiyah mencintaimu”.
Dari lorong pesantren
kutemukan cahaya kedamaian. Beberapa hal banyak kutemui, salah satunya budaya
tabaru’an. Di sana aku menjumpai santri putra ketika hendak sowan ke kiahi,
datang duduk ndepe-ndepe (duduk dengan penuh kerendahan hati/ ketawadhu’an untuk
memulikan gurunya). Lalu begitu sang Kiahi masuk rumah, santri berebut
merapikan sandal Pak Kiahi. Sebagaimana konsep tabaru’an. Sungguh, hatiku
sangat tersentuh. Bagimana tidak/ aku tidak pernah menjumpai ini saat aku di
dunia kampus/ dunia perkuliahan. Mahasiswa mau salaman dan mengucapkan salam ke
gurunya saja sudah bagus, apalagi tabaru’an (ngalap berkah). Lalu ada tabaruk
terhadap waktu seperti memuliakan hari jum’at, dan lain sebagainya.
Hukum tabaruk adalah
boleh sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para sahabat terdahulu terhadap
Rosulullah SAW. Sahabat Anas r.a. menceritakan bagaimana para sahabat
bertabarruk dengan rambut Rasulullah SAW: “Aku
melihat tukang cukur sedang mencukur Rasulullah SAW dan para sahabat
mengitarinya. Tidaklah mereka kehendaki satu helai pun dari rambut beliau
terjatuh kecuali telah berada di tangan seseorang.” (H.R Muslim, Ahmad dan
Baihaqi).
Aun bin Abi juhaifah
menceritakan dari ayahnya para sahabat yang bertabarruk dengan air sisa wudhu’
Rasulullah : “Aku mendatangi Rasulullah
sewaktu beliau ada di kubah hamra’ dari Adam, aku juga melihat Bilal membawa
air bekas wudhu’ Rasulullah dan orang-orang berebut mendapatkannya. Orang yang
mendapatkannya air bekas wudhu’ itu mengusapkannya ke tubuhnya, sedangkan yang
tidak mendapatkannya, mengambil dari tangan temannya yang basah” (H.R.
Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Dalam hadits lain juga
dijelaskan bahwa para sahabat bertabarruk dengan keringat Rasulullah SAW.
Berkata Anas bin Malik : “Rasulullah SAW
masuk rumah Umi Sulaim dan tidur di ranjangnya sewaktu Umi Sulaim tidak ada di
rumah, lalu di hari yang lain Beliau datang lagi, lalu Umi Sulaim di beri kabar
bahwa Rasulullah tidur di rumahnya di ranjangnya. Maka datanglah Umi Sulaim dan
mendapati Nabi berkeringat hingga mengumpul di alas ranjang yang terbuat dari
kulit, lalu Umi Sulaim membuka kotaknya dan mengelap keringat Nabi lalu
memerasnya dan memasukkan keringat beliau ke dalam botol, Nabi pun terbangun: “Apa
yang kau perbuat wahai Umi Sulaim”, tanyanya.” “Ya Rasulullah, kami
mengharapkan berkahnya untuk anak-anak kami, jawab Umi Sulaim. Rasulullah
berkata: “Engkau benar” (H.R. Muslim dan Ahmad).
Demikianlah banyak hal
yang aku pelajari di dunia pesantren, selain ilmu juga akhlak. Aku jua
menjumpai dimana santri sering gotong royong membersihkan pesantren rutin
setiap hari dan ro’an (gotong royong) setiap hari Jum’at. Bukan hanya itu, aku
jua melihat kebersamaan santri-santri saat makan, sungguh nikmat saat makan
bersama dalam satu wadah makanan. Di atas kesederhanaan, dibawah rasa ketawadhu’an,
diantara ajaran tabarukan, aku belajar memperbaiki akhlak. Dan dengan
penjelasan Pak Kiahi, ustadzah serta Pak ustadz saat belajar kitab, aku belajar
ilmu agama. Mohon doanya, semoga saya bisa menjadi insan yang lebih baik, lebih
baik segalanya termasuk lebih baik akhlaknya dan lebih bertambah ilmunya yang
bermanfaat. Aamiin.