HALIMAH BINTI MASDARI

Kamis, 19 Desember 2019

HADIAH UNTUK IBU

HADIAH UNTUK IBU
*****




Kamis, 19 Desember 2019, aku merasakan bahagia dengan hati yang berbunga bunga. Sore ini aku menerima salary dari privat. Iya aku bahagia, hampir tiap 2 minggu sekali aku berusaha membelikan sembako dan kebutuhan rumah tangga untuk Ibu sekedar untuk menyenangkannya. Aku ingin benar-benar menjadi waladun solekhah sebelum menjadi zaujati solekhah. 

"Siapa yang aku bahagiakan jika bukan kedua orangtuaku dan adek kandungku. Melihat senyum merekah mereka adalah kebahagiaanku. Saat ini surgaku masih dibawah ridho ibu bapakku. Nanti, saat aku sudah nikah, surgaku sudah berubah di bawah ridho suamiku. Kelak aku pun akan memuliakan ibu mertuaku sebab ia telah merawat lelaki yang mencintaiku dan aku cintai"

Betapa bahagianya ibu begitu kubawakan sekardus besar sembako semua. Kulihat matanya berbinar-binar memancarkan kebahagiaan. Semoga bahagianya ibu menjadi jalan ridho Allah padaku. Aku sendiri tak bisa membayangkan. Saat ini aku sering dipeluk ibuku, saat nikah nanti aku akan jauh dari ibuku. Saat kecil hingga usia 25 tahun, yang merawat, mendidik ilmu dan akhlak, membesarkan adalah ayahku, tapi kelak aku akan dibawa suamiku. Lelaki yang meminta aku pada ayahku. Semoga lelaki itu adalah lelaki yang aku cintai dan mencintaiku.

Ya Allah semoga kelak lelaki yang mencintaiku dan aku cintai juga memuliakan kedua orangtuaku, mertuaku menyayangiku. Dan aku pun akan memuliakan ibu dari suamiku. Akan ku aksi Allan masa lajangku untuk berbakti, belajar, berbagi kebahagiaan sama keluarga, peduli sosial. Semoga keberkahan untukku dunia akherat. Semoga rahmat Allah tercurah atas Nabi Muhammad saw sebagai nabi akhirus zaman, kekasih Allah. Semoga tercurah pada para ummahatul mukminin, para sohabat, para waliyullah dan wabil khusus pada kedua orangtuaku. Semoga kelak aku memiliki dzuriyah yang cerdas, cerdas, soleh solekhah sehingga menjadi bekalku dunia akherat. Lahul fatekhah. Aamiin

BAROKAH MENGALAH

BAROKAH MENGALAH
*****



Senin, 16 Desember 2019. Aku menjadi juri lomba drama. Di sana ada 2 juri yakni aku dan pak Alif. Aku bahagia menyaksikan ternyata banyak anak-anak yang berbakat dan memiliki kreativitas yang bagus. Qodarullah, kebahagian itu musnah tatkala tiba-tiba Pak Alif marah karena beda pendapat. Aku pun mengalah, misal yang menang sesuai keputusan dia tidak masalah. Untuk apa persoalan sepele dibesar-besarkan. Tidak puas dengan emosi, tidak kuladeni. Beliau mengumpat dan mengataiku "Anjing, tai, dancuk". Awalnya aku diam saja. Tapi entah kenapa dipisuhi itu rasanya sakit hingga tak kuasa air mataku berjatuhan. Aku diam, tapi air mataku berjatuhan.
"Aku sudah mengalah, mengapa masih belum puas. Menghina, menghina didiamkan tak puas masih misuh".

Aku berusaha menahan air mataku tak berjatuhan. Aku berusaha tegar, bagaimanapun di pisuhi artinya disodaqohi pahala. Aku berusaha husnudzan. Dipisuhi, diumpat. Alhamdulillah ada 3 kawan yang memotivasi. Dan malam harinya, pak alif minta maaf. Iya in syaAllah kumaafkan. Barokah mengalah, beliau akhirnya sadar bahwa ucapannya sangat melukaiku.

Ada bu bina, pak udin, bu Yuni yang menyemangatiku saat aku benar benar down. Bagaimanapun berkata perlu dijaga, terpelesetnya lidah bisa melukai perasaan hingga ke relung yang terdalam. Aku memaafkan sebelum beliau minta maaf. Mengapa aku mudah memaafkan? Karena yang disakiti aku, hatiku mudah meridhokan. Namun saat yang disakiti ibu, bapak atau adekku mungkin akan lebih sakit bagiku. Semua mengandung hikmah, ujian melatihku sabar dan tegar.