HALIMAH BINTI MASDARI

Senin, 08 Februari 2021

POTRET PENDIDIKAN DI ERA PANDEMI DAN ANCAMAN LOST GENERATION

POTRET PENDIDIKAN DI ERA PANDEMI DAN ANCAMAN LOST GENERATION

*****

Oleh: Dewi Nur Halimah

Gambar 1. Belajar Daring (Sumber gambar: www.radarbengkuluonline.com)


Pendidikan adalah garda terdepan kemajuan bangsa Indonesia. Untuk mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing perlu ditunjang sistem pendidikan yang mumpuni. Namun apa akibatnya bila pendidikan yang idealnya ditempuh dengan tatap muka, lantas diganti dengan sistem daring secara online?


Adanya pandemi Covid-19 ini menjadikan pemerintah melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang berdampak pada sektor pendidikan, sudah sekitar 1 tahun sekolah dilakukan secara online class, tanpa tatap muka dari TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi. Apakah jaminan anak-anak yang tidak sekolah lantas tidak berkerumun dalam mainan, tidak jalan-jalan, terhindar dari keramaian kerumunan?. Jawabannya adalah TIDAK. Banyak anak yang seharusnya sekolah daring digunakan belajar di rumah, justru waktunya dihabiskan untuk bermain hingga lupa waktu dan tidak belajar. Hari-hari didominasi dengan permainan dan nihil pengetahuan pelajaran sekolah.


Jika mau menelisik lebih dalam bila sekolah diliburkan. Anak anak kehilangan ilmu pengetahuan dan ancamannya adalah menjadi generasi yang bodoh (lost generation) yang buta huruf hingga gagal calistung kecuali bagi orangtua yang peduli terhadap belajar anaknya dengan menemani anak belajar. Itu pun susah, sebab belajar daring mayoritas tanpa penjelasan guru. Guru mengirim materi tanpa penjelasan, langsung diberi PR. Ya kalau orangtuanya bisa menjelaskan. Kalau tidak, maka pusing kuadrat (anak dan orangtua) pun menjalar. Perlu diketahui, tidak semua guru terutama guru-guru sepuh itu ahli dalam teknologi smartphone. Bisa smartphone  untuk menulis pesan dan telfon saja alhamdulillah, meskipun sebagian ada pula yang mengikuti kemajuan zaman dan mahir dalam berteknologi namun itu hanyalah minoritas. Bila gaptek, lantas disuruh membuat video pembelajaran, membuat google class meeting justru akan menjadi dilema (permasalahan) baru bagi guru-guru sepuh ataupun guru yang terkendala belum memiliki smartphone. Sehingga sistem belajar daring dari rumah tidaklah efektif sebagai solusi pendidikan di masa pandemi. 


Jika pendidikan dilakukan secara online dalam jangka panjang atau bahkan berkelanjutan bila pandemi tetap berlanjut selama bertahun-tahun ke depan, dikhawatirkan bukan mencetak generasi yang cerdas dan bermutu melainkan generasi yang low knowledge serta kebodohan merajalela. Terbukti bahwa sekolah online bukan membuat siswa makin cerdas, justru membuat siswa makin bodoh. Bagaimana tidak, misalpun guru memberi penjelasan lewat video atau voice record, belum tentu siswa hadir semua mendengarkan dan memperhatikan. Tak jarang guru menjelaskan online, malah ditinggal tidur atau main sama siswa. Berbeda jika belajar langsung di kelas, ada siswa yang gaduh tidak memperhatikan saat dijelaskan atau sibuk main sendiri atau bahkan ngobrol sendiri, guru dapat mengontrol dengan menegurnya agar tidak melakukan hal tersebut. 


Hal yang miris berdasarkan pengamatan sosial penulis melalui wawancara dengan warga. Bahkan ada sekolah SD dimana dalam satu minggu tidak ada pelajaran sama sekali, guru tidak menjelaskan materi, tidak diberi PR. Apa yang dilakukan anak sebagai dampak tidak ada penjelasan guru, tidak ada PR, dan tidak ada home visiting oleh guru untuk belajar kelompok?. Akhirnya waktu anak dihabiskan dengan bermain yang notabenya juga berkerumun dan guru mendapatkan gaji buta. Tanpa mengajar, tanpa memberikan penjelasan lewat pdf/word/video, tanpa memberi PR dan home visiting ke rumah siswa untuk mengajar kelompok pun hanya 2 minggu sekali atau mentok 3 kali sebulan, itu pun tidak ada 3 jam/ tatap muka. Bahkan ironisnya lagi, belajar daring itu yang belajar bukan anak melainkan orangtua. Orangtua mengerjakan PR anak, sedangkan anak sibuk bermain. Alhasil jadilah lost generation yang kehilangan pengetahuan dimana kebodohan membabi buta (merajalela). 


Virus corona atau dikenal dengan Covid - 19 memang ditularkan dengan kontak fisik terlebih melalui bersin dan batuk. Itulah mengapa dianjurkan untuk tidak berjabat tangan, berpelukan, rajin cuci tangan dan memakai masker. Nah solusi terbaik untuk pendidikan di era pandemi adalah dengan pendidikan tatap muka bershif menjadi 2 shift (Shif nomor absen ganjil masuk setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Sementara shif nomor absen genap masuk setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu) atau 3 shift (kelompok shift 1 masuk pada hari Senin dan Kamis, kelompok shift 2 masuk pada hari Selasa dan Jumat, dan kelompok shift 3 masuk pada hari Rabu dan Sabtu) dan setiap siswa serta guru wajib mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker atau face shield, menggunakan hand sanitizer, mencuci tangan, dan larangan kontak fisik (berjabat tangan, berpelukan, bersentuhan) serta berkerumun. Tetap masuk sekolah namun ada jaga jarak.


Sebuah analogi menyatakan bahwa dalam berperang ya harus dihadapi, jika mundur maka akan gagal. Terkadang untuk menghadapi lawan diperlukan adanya keberanian lost rational (ngawurisasi) dengan memadukan logika. Dengan bersembunyi dari musuh tidak membuat kamu menjadi pemenang melainkan musuh akan semakin merajalela dalam menindas dan kita akan terus dihantui rasa ketakutan. Demikian juga menghadapi wabah COVID-19, semakin kamu dihantui rasa takut yang berlebihan, bukan malah sehat justru akan membuat imunmu lemah yang mengakibatkan mudah terinveksi virus. Buka mindset, selama kamu mematuhi protokol kesehatan dengan 5 M yang meliputi:

1. Memakai masker

2. Mencuci tangan

3. Menjaga jarak

4. Menghindari kerumunan

5. Mengurangi mobilisasi


Maka in syaAllah akan aman. Sekolah tidak apa apa, asal dilakukan 2 shift atau 3 shift (siswa tetap mendapatkan ilmu, guru tidak gaji buta, dan jaga jarak kerumunan tetap dapat dihindari dengan bershift) dan tetap jaga jarak serta mematuhi protokol kesehatan 5 M. Pendidikan tatap muka penting untuk mengurangi ancaman lost generation yang berdampak pada SDM Indonesia di masa yang akan datang. Yang perlu diketatin justru acara hajatan yang mengundang kerumunan tanpa jaga jarak seperti acara pesta pernikahan yang megah, acara pesta khitanan, acara hiburan (dangdutan, tayuban, dll) yang mengundang kerumunan tanpa jaga jarak yang sulit diantisipasi. Justru inilah yang perlu diperketat. Bukan acara kerumunan masih dibiarkan, sementara pendidikan kurang diperhatikan solusinya yang efektif.


Hal yang seharusnya dilakukan terkait pendidikan dan SDM Indonesia:


1. Sekolah tetap masuk dengan sistem 2 shift atau 3 shift serta protokol kesehatan yang ketat (sanksi bagi pelanggaran protokol kesehatan). Jika Pemilu saja tetap bisa dilaksanakan, padahal urgensinya lebih penting pendidikan sebab pendidikan adalah investasi SDM Indonesia di masa depan. Seharusnya dengan  protokol kesehatan yang ketat, pendidikan tatap muka harusnya juga dapat dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. 


2. Masyarakat tetap dapat kegiatan atau kerja dengan WAJIB melakukan protokol kesehatan disertai SANKSI tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Dengan masyarakat tetap diizinakan berkegiatan/bekerja dengan WAJIB melakukan protokol kesehatan, anggaran COVID untuk bansos dan penanganan COVID dapat dikurangi sehingga dapat meminimalisir nominal hutang luar negeri yang menjadi beban Indonesia. Dan anggaran itu bisa dialihfungsikan untuk membantu korban bencana alam, pembangunan infrastruktur dan pembangunan perekonomian Indonesia.


3. Berikan sanksi tegas pada setiap yang mengadakan acara yang mengundang kerumunan seperti pesta pernikahan,  pesta khitanan, hiburan, dll yang mengundang kerumunan masa (keramaian banyak orang sehingga jaga jarak atau kontak fisik tidak dapat dihindari). Dan bagi pejabat, public figure, atau influencer yang melanggar aturan tersebut harus dikenai sanksi COPOT JABATAN/ PECAT DARI PEKERJAAN agar jera serta bagi masyarakat awam yang melakukan pelanggaran tersebut diberikan DENDA yang CUKUP BESAR sehingga acara kerumunan dapat dihindari. Pesta boleh dilakukan kalau tidak pandemi. Demi keselamatan bersama, menghindari kerumunan, segala yang mengundang kerumunan ditiadakan. 

 

4. Hilangkan berita COVID-19 dari media yang menakut-nakuti masyarakat sehingga membuat panik dan imun mereka turun. Show up beritau keberhasilan pihak medis menangani corona, kesembuahan menghadapi corona, dan berita positif-positif yang membuat imun bagus.

Tidak ada komentar :