Tak Ada Siapapun untuk Berkeluh Kesah, Rabbku Tempat Kembali
*****
Catatan Dewi Nur Halimah
Bersyukurlah kamu, jika orangtuamu welcome akan keluh kesahmu. Saat kamu sedih, orangtuamu bisa jadi sahabatmu. Aku tak merasakan itu. Jika aku menangis, bapak marah dan wajahku langsung diludahi penuh tanpa iba. Kata bapak:
"Anak pertama harus kuat, tidak boleh cengeng. Bikin sepet dilihat kalau anak pertama cengeng."
Makanya sehancur apapun perasaanku, aku berusaha tidak menangis di depan bapakku daripada diludahi.
Pun saat aku curhat ke ibuku, posisi aku sebagai korban bullying. Bukan aku ditenangin, dikuatin mentalku. Justru ibuku berkata:
"Jangan ghibah kejelekan orang. Bisa ndak diam, cerita yang bagus bagus saja."
Padahal aku dibully temanku selama 3 tahun, mau cerita ibu sudah diskakmat itu. Sehancur itu perasaanku. Padahal tiap ibu didzolimi orang, aku selalu pasang badan membela. Senyeseg itu ternyata.
Kadang kalau lihat adek enak, dia nangis tidak dimarahi bapak, tidak diludahi justru dihibur, iba dan belas kasihan. Sementara denganku, nangis justru dimarahi, diludahi, belum diamuk. Pun ibu, adek curhat ya didengar. Beda denganku, terlalu berat menjadi anak pertama perempuan. Aku harus super mandiri sejak sekolah. Sejak SMA aku biayai SPP ku sendiri dari menang lomba lomba, dulu sekolah negeri gratis tidak sampai SMA seperti sekarang. Cuman sampai SMP aja. Jadi SMA masih bayar SPP mahal meski sekolah negeri. Kuliah pun sama, dari semester 1 - 8 di UNDIP sampai wisuda semua biaya sendiri. Terasa banget perjuangannya. Aku ditempa oleh kerasnya kehidupan.
Pun jika adek nangis, maka ibuk akan gugup, menghibur, dan menasehati, memeluk. Lain halnya aku, curhat dituduh ghibah. Padahal hukum ghibah haram, tapi ada pengecualian. Ghibahnya orang yang dzolimi menuntut keadilan itu di kitab riyadus solihin diperbolehkan. Mungkin ini cara Allah supaya aku kuat, meskipun nyeseg senyeseg nyesegnya.
Sesakit itu ternyata tidak ada tempat bercerita. Aku coba bercerita sahabat, anggap A. Dia berkata:
"Jangan cerita aku lagi, aku sudah berkeluarga. Kamu nggak tegas, keputusanmu selalu begitu. Diminta cerai nggak mau, diminta ke ustadz salaf juga ndak mau."
Cerita belum sudah diskakmat.
Pun mbak Kom. Dulu saat dia curhat, selalu kusemangati, kumotivasi. Tapi kalau aku curhat justru dijatuhkan mentalku, dipojokkan. Pernah kata kata dia ku SS kutanyakan temanku, temanku kaget. Katanya sahabat, kog jatuhin mental. Sejak kejadian itu kublokir semua akunnya baik FB, WA, Dll. Aku tak mau ambil pusing, tiap dia sedih selalu kusemangati, giliran aku sedih, aku dijatuhin mentalku. Berarti bukan sahabat yang baik. Kalau orang yang berjiwa empati, minimal jika tidak bisa menasehati konsttuktif, cukup dengan mendengar saja tanpa perlu menjustis, memojokkan, menjatuhkan mental.
Teman yang baik mendengarkan, memberi semangat ya Sulasmi dan Indri. Berkali kali saat aku down, saat aku komplikasi sakit. Mereka menyemangatiku.
Padahal banyak temanku, ketika dia sedih kuhibur. Cerita kudengarkan, kukasih solusi kalau minta. Kalau tidak ya aku diam mendengarkan sambil kusemangati untuk bangkit dan sabar.
Kadang chat cuman diread. Pernah chat sahabat, W. Diread aja. Kadang dibalas ya doang.
Aku tipe tertutup soal pribadi, aku transparansi kalau soal hajat orang banyak. Sejak kejadian itu, aku memilih diam. Kalau sedih ya nangis sendiri aja, sujud. Kalau ada Rizki ya nabung, lari ke psikolog lebih enak. Memang berbayar, tapi lebih nyaman. Selain cerita didengar, juga dikasih solusi yang konstruktif.
Kalau cerita sembarang teman aku nggak mau, soalnya kadang mulut ember. Bukan dapat solusi, justru dieber eberin. Aku jg belajar sama pak Satriyo yang nyemangati, nguatin, ngajari ngalah saat posisi aku didzolimi.
Sejak kejadian itu, aku sadar begitu banyak yang datang padaku dan kubantu semua gratis. Faktanya saat aku sedih, no one cares, hanya segelintir saja yang peduli. Bisa dihitung jari.
Bahkan orang orang yang aku bela sampe aku Wira Wiri sidang berkali kali kasus dia tapi gratis. Saat ia harus menjadi saksi di kepolisian dan sidang. Dia tidak datang dan sembunyi, sehingga aku dipetel petelke banyak pihak di sidang, apalagi tanpa saksi. Alhamdulillah buktiku kuat, pertolongan Allah ada. Meski saksi tidak hadir semua, aku menang sidang. Padahal berkas kubiayai, aku akomodasi Wira Wiri Blora Jakarta pakai uang sendiri. Cuman hadir sebagai saksi tidak hadir. Padahal mereka bilang kalau mereka butuh bantuanku, tolong laporkan dan urus ke pihak berwenang. Giliran sidang aku yang dijadikan tumbal. Kasus mereka, aku yg diminta lapor. Mereka jadi saksi tidak hadir. Aku sidang seorang diri dihadapan polres dan lembaga lembaga lain. Diapit puluhan orang. Semua berhianat. Disini bagai taruhan, aku kalah ya siap penjara. Alhamdulillah 3 kali kasus besar menang semua. Tapi saksi berhianat semua. Sesakit itu emang, air susu dibalas air tuba. Aku kalau tulus tulus banget, tapi kalau pengorbananku sebesar itu dibalas penghianatan ya kecewa.
Sejak kejadian itu, aku ikut kursus kursus. Aku mendalami beberapa ilmu kriminologi, belajar psikologi, hukum, dll. Maka kubuka jasa konsultasi berbayar. Alhamdulillah ada konsumen. Dan klien tidak berhianat. Rata rata yang berhianat justru yang gratisan, karena mereka tidak ada perjuangan. Meski berbayar, hargaku murah karena aku juga nggak tega harga mahal seperti saat aku konsultasi. Biar yang punya kasus, kalau konsultasi hukum murah. Waktuku juga dihargai, tidak terbuang sia sia dengan penghianatan atau disepelekan, ada perjuangan juga. Jadi saling mendapatkan poin plus.
Loh kog konsultan berbayar juga ke psikolog atau psikiater saat depresi?. Logikanya begini besti, dokter kan manusia, kalau sakit ia juga berobat ke dokter. Jadi jangan kaget kalaupun dokter, saat ia sakit tidak bisa mengobati dirinya sendiri dan justru ke dokter lain. Ya karena kondisinya lagi lemah, pertanda makhluk yakni fana, bukan kekal. Ya wajar, justru aneh ketika dokter sakit parah lalu diobati sendiri. Karena ya peluangnya tidak mungkin, soalnya dia kondisinya lemah. Seperti itu analoginya besti.
Aku merasakan gimana untuk konsultasi aku harus nabung dulu lama, setelah terkumpul baru konsultasi. Makanya hargaku kubuat terjangkau, biar waktuku dan pikiranku serta tenagaku dihargai, tapi juga terjangkau sehingga tidak memberatkan konsumen. Karena curhat teman, belum tentu dapat solusi. Kadang justru dihakimi, dipojokkan, dijatuhkan mental. Belum resiko dieber eberin. Mending ke konsultan berbayar yang profesional. Lebih aman, direspon baik, rahasia terjaga. Aku merasakan ini. Memang ada perjuangan buat bisa konsultasi, harus nabung dulu. Tapi sebanding dengan kesehatan mental yang kudapat serta tawaran solusi yang kudapatkan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar