SAWANG SINAWANG, APA YANG TAMPAK INDAH TIDAK SEMUANYA INDAH
Catatan: Dewi Nur Halimah
Lumayan banyak orang menilai aku itu enak hidupnya. Sudah cantik, tinggi, mandiri, punya segudang prestasi. Itu hanya yang tampak dhohir di permukaan, manusia itu sawang sinawang. Kamu tidak tahu beban mental yang kualami. Aku mengalaminya, mulai dari bapak kandung yang suka kekerasan verbal dan fisik ke aku, adek yang selalu dibela meski salah, suami yang sempat tergoda ajnabiyah dan main perempuan, mertua yang pelit dan minim empati (julid). Kalau kamu membaca tulisan tulisanku, akan tahu seberapa dalam lukaku dari suami, mertua, bapak, adek.
Sejak kecil aku hidup dalam kemiskinan makanya aku nekad harga mati harus berprestasi karena prestasi dan pendidikan adalah pemutus mata rantai kemiskinan. Saat masih balita, tengah malah bapakku, emakku, aku diusir dari rumah mbahku (Almarhum Mbah Jafar dan Almarhumah Mbah Mu'anah, mereka adalah orangtua bapakku alias Mbah dari bapak), tanpa iba karena cucunya masih kecil. Baju dibuangin di halaman, dagangan garam bapak di taruh di halaman disuruh bawa pergi. Mbah Nik yang nolong, nggak tega ikutan dilabrak, nggak boleh ada yang nolong aku dan emakku.
Dari kecil hidupku sudah keras ...
Dulu sebelum diusir dari rumah mbahku, emakku bagaikan babu. Hamil aku 9 bulan disuruh gendong gabah 50 kg jalan kaki melewati Kedung (setara bukit kecil) terpeleset dan glundung ke sungai Kedung. Dulu 1994 belum ada jembatan. Itu saat hamil aku. Dhe parni juga ngasih minuman merica saat emakku hamil aku, tujuannya apa buat gugurin bayi lah kan merica panas. Tapi karena emakku polos ya mau mau aja. Alhamdulillah kandungan masih kuat sampai aku lahir.
Aku pernah BAB (Buang Air Besar/Eek) waktu balita, mau dicebokin ke kamar mandi rumah Simbah nggak boleh. Akhirnya dikasih air sama Mbah Nik, samping rumah Simbah. Mbah Nik dilabrak orangtua bapak, entah hatinya seperti iblis apa gimana sama cucu sendiri sejahat itu. Bukan hanya itu, Wallahi ini jujur dan aku sangat benci, luka itu masih menganga sampai sekarang. Kejadian sejak aku usia 2 tahun sampai 30 tahun aku masih ingat detail kronologi, daya ingatku kuat. Makanya aku mengontrol diri supaya nggak dendam, dengan menjauh dari orang orang yang pernah menyakitiku.
Bukan hanya itu, tiap tahun selama hidup. Tiap kirimdungo (adat Jawa masak masak Ruwahan) atau saat banca'an, emak bantu bantu simbahku disuruh suruh kayak babu sementara anak yang lain dipuja puja. Semua cucunya dikasih makan enak dulu seperti anak lek imroatun: dek lis, Anam, nadhir (yang waktu itu sudah lahir), anak lek nur (Misbah, mudah), anak lek Sri (konik, ana) itu dikasih makan semua sama Sempol, daging sementara aku nonton paling belakang diiming imingi. Kalau dikasih ya ceker atau suwiwi itupun belakang. Dan mataku berkaca kaca. Aku ini cucunya kenapa diberlakukan beda.
Aku kabur dari rumah Simbah pulang ke rumah. Nangis di belakang rumah sambil bersumpah: " demi Allah mbahku dzolim, sampai mbahku wafat, aku tidak akan dolan". Bapakku dengar dan aku dimarahi. Aku membela diri karena faktanya benar aku didzolimi, tiap tahun tiap banca'an dan kirimdungo aku selalu diiming iming, kalau aku tidak mau ketemu mbahku ya gpp, orang pelit sama aku juga jahat ke aku. . Akhirnya sumpah kucabut, karena dimarahin bapak. Sejahat-jahatnya dia tetap mbahmu, maafkan. Iya ibunya dia, makanya dibela meskipun bosok sementara aku darah dagingnya selalu disuruh ngalah, belum dikasari bapak sendiri. Sampai mbahku meninggal dunia, semasa hidupnya tidak ada kata maaf padaku secara terang-terangan bahwa beliau pernah menyakitiku ini, ini, dan itu yang pernah dilakukan. Maaf glondongan itu pun pantesan kayak pengumuman, tolong si fulanah dimaafkan semasa hidupnya. Sampai sekarang, aku belum bisa memaafkan. Karena aku disiksa luar biasa, bapakku juga tidak membelaku dia diam saja. Di rumah pun aku selalu dipilih kasih.
Mbahku juga pernah ke Jakarta, dia pulang bawa oleh oleh roti banyak. Aku nggak dikasih justru diiming iming, bahkan pernah Yuni (anak tetangga) dikasih roti suruh makan di depanku buat iming iming aku. The fucked of this. Aku menyelidiki makanya tahu. Jujur hatiku sakit banget. Adek adek bapakku, kakak kakak bapakku juga sama jahatnya. Dulu saat kami miskin banget, sangat miskin. Bu Dhe kah (gedhebeg) dapat daging sapi kurban tiap tahun saat idul adha, lek Muslih (adek bapak yang sedesa) dan lek duki (adek bapak yang sedesa) dikasih daging semua masing masing 1 kg/2 kg. Cuman bapak yang nggak dikasih karena kere atau miskin. Dan anehnya bapak, ketika aku benci keluarga dia malah dia memarahiku, memukulku. Lah jelas jelas jahat, dibenci ya wajar.
Lek duki aja nyembelih kambing ada 10 kali, daging nggak nyiprat, aku nggak disuruh ke rumahnya (Aqiqah konik, Aqiqah ana, Aqiqah ulum 2 kambing, Aqiqah Ulfa 1 kambing, reuni 2 kali keluarga besar dua tahun dari keluarga Bu lek dan keluarga pak lek, KKN Ana nyembelih kambing di masjid) lah dan 2 acara lagi aku lupa). Makan makan aja ponakan nggak dikasih, boroh boroh diundang. Sedesa KKN Ana sewa tratak nyembelih kambing, sedesa diundang semua kecuali aku, bapakku, emakku padahal aku sepupu, bapakku saudara kandung bapaknya dan Bu dhenya. Bukan hanya itu, tiap lebaran pasti waktu kecil pada dikasih sangu, siapa yang nggak pernah dikasih?. Hanya aku. Aku adalah ponakan yang tersisihkan. Wallahi aku bicara fakta bahkan saat masih kecil, saat SMA, kuliah. Adekku dikasih, semua ponakan dikasih, anak tetangga dikasih. Aku tidak dikasih karena katanya aku mandiri biasa juara bisa cari uang sendiri. Sama sama kecilnya, tapi beda perlakuannya.
Lek Nur juga pernah nyiksa aku, saat 3 tahun, aku masih ingat di emper (halaman) rumah Mbah, dipojokan dekat rumah Mbah Nik. Kursi kecil ditaruh di atas kepalaku yang kecil, lalu diduduki pantatnya dan aku nangis delak delak (nangis histeris). Tetanggaku juga sama, Nanik waktu kecil suka iming iming aku. Semua teman seusiaku yang dekat rumah dipanggil dikasih balon kecuali aku dan aku diiming iming. Makanya sekarang aku jadi wanita mandiri. Kehidupanku sejak kecil penuh luka.
Itu tekanan dari luar....
Sekarang tekanan dari dalam. Bapakku suka melakukan kekerasan verbal dan fisik ke aku hanya karena kesalahan kecil (dipukul, ditampar, ditendang). Sementara adekku salah pun tidak akan diperlakukan bengis seperti aku. Sudah biasa aku menahan luka, kumodif diriku menjadi perempuan kuat. Aku suka nangis sendirian saat di masjid, saat di bawah pohon. Dimana tidak dilihat bapakku, bapaku benci aku nangis katanya perempuan lemah. Anehnya kalau adekku nangis tidak ditampar, tidak diludahi, tidak dimarahi seperti aku, justru iba. Emang aku harus kuat. Masjid masjid, bawah pohon adalah tempat saat aku nangis ketika suasana sepi.
Saat menikah pun ujian sama...
Sekitar 17 kali suamiku bohong. 5 kali kholwat sama ajnabiyah (perempuan lawan jenis) dan membohongiku dan ketahuan. 4 kali membohongiku soal keuangan dan lainnya, 8 kali tertutup tidak transparan kalau telpon keluarganya nunggu saat aku kerja, padahal kuota aku yang mengisikan tapi kuota itu dipakai untuk melukaiku mulai dari main perempuan (tidak zina farji, kholwat dan menjurus ke perselingkuhan karena diawali dengan banyak kebohongan. Bermain perempuan lewat bohongi istri dengan chat dan VC perempuan lain saat istri hamil 5 bulan), tidak terbuka, keuangan tidak jujur. Alhamdulillah sekarang taubat. Kurang sayang apa aku mas, Nerima kamu dari nol belum kerja kubantu modal buat jualan. Aku belanja tiap hari nyari sendiri. Mas juga kubelikan baju sendal sarung celana dll buat Gonta ganti ada 10 lebih. Kuota kuisikan, kog sampai hati bohongi istri. Sesakit itu.
Mertuaku juga pelit, tidak ada kepedulian. Selama hamil, tidak pernah aku dichat atau ditelpon nomorku tanya kabarku langsung padahal punya kontakku. Suamiku belum bisa nafkahi aku, tapi dituntut nabung buat bantu adeknya kalau nikahan buat serahan, apa pantes wong nafkahi istrinya aja belum bisa. Selama suamiku belum bisa nafkahi aku, tidak pernah mertuaku tanya anaknya keuangan dan membantunya, belanjaku dibantu emakku patungan padahal kewajiban nafkah itu kewajiban suami dan jika tak mampu sementara orangtuanya ada ya wajib membantu anak lelakinya menafkahi istrinya. Faktanya tidak, semua emakku. Banca'an 4 bulan dan 9 bulan emakku, 7 bulan aku shodaqoh yatim. Aku minta suamiku bilang ortunya buat banca'an 7 bulan cucunya, blas tidak ada.
Dibalik prestasi seabrek yang kualami, tak seindah apa yang kalian lihat, kehidupanku ujian mentalnya besar cuman aku berusaha tegar dan enjoy menjalaninya walau aku nyeseg. Karena tekanan mental itu bukan dari luar saja tapi juga dari dalam. Aku tegar karena aku punya Allah. Aku tegar karena aku yakin, semua ada hikmahnya. Fokusku sekarang ke diriku sendiri agar hidupku bermanfaat untuk lingkungan dalam menegakkan HAM, mengkampanyekan peduli lingkungan tidak buang sampah sembarangan, peduli binatang liar. Mereka sahabatku, kegiatan sosial hiburanku. Biasanya kalau aku stress, aku larinya ke rumah sakit, melihat orang orang sakit kritis para penderita kanker, diabetes dll. Biar aku bersyukur bahwa ujianku tak seberat mereka. Kalau ada uang, aku ke yatim piatu, itu rutin dari 2013 sampai sekarang. Kalau nggak TF ya langsung. Sesuai penghasilanku kalau pas penghasilanku cuman 30 RB ya aku ngasih 10 RB. Pas penghasilanku 100 RB ya aku ngasih 20 RB an. Pas 200-300 RB aku ngasih 50 RB, pas jutaan menang lomba biasanya 500-600 RB. Entahlah hiburanku ya itu. Terlalu banyak tekanan, tapi saat aku menyemangati anak yatim piatu, mengajar anak jalanan, menyemangati anak autis dan anak anak berkebutuhan khusus sebagai volunteer organisasi sosial sekaligus ketuanya, hatiku adem. Di sana aku menemukan kedamaian di balik diskriminasi, bullying, dan kekerasan yang aku terima maupun penghianatan demi penghianatan yang aku alami.
Jika orang orang self awarding-nya mungkin shoping, aku larinya tiap sedih atau tiap bahagia ada Rizki ke tempat tempat sosial. Ini sudah sejak 2013. Kadang ke panti jompo juga, motoran sendiri. Kadang ya sama teman. Tuhanku, izinkan aku kelak mati dalam kondisi tetap iman, Islam, Husnul khotimah dan terimalah nadzarku agar anakku kuhadiahkan untuk Islam meneladani Sayyidina Solahudin Al Ayubi dan Muhammad Fatih sebagai penerus kalimat tauhid. Kuatkan imanku dibalik cobaanku, tegarkan bahuku di balik tekanan yang menghimpitku. Aku punya engkau Allah, Tuhanku yang penyayang ke aku.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar