Setiap Hari adalah Hari Valentin
Siang itu sangat cerah, Hadi, Rani, Siti, dan Halisa berjalan menyusuri pasar. Oh ya hari ini adalah hari dimana
kalayak muda ramai merayakan hari valentin.
”Sit,
hari valentine loh…mau coklat nggak???...hehe,” kata Hadi sembari cengingiran.
“Ehem-ehem…cieh,”
suara Rani menyambar percakapan Hadi.
“Apaan
sih Ran…ngiri aja deh. Mau nggak Sit?,” jawab Hadi ketus.
“Nggak
usah deh akhi…walentin kan haram, ngasih coklat juga haram”.
Hadipun
tertunduk diam. Rani si kocak, ceplas-ceplospun turut andil bicara.
“Sit…kalau
begitu aku lak haram…heheh..sekujur tubuhku kan coklat, kulitku kan coklat
sawo-sawo sepet gimana gitu…heeee,” ucap Rani.
“Haaa…sawo-sawo
sepet…huahaa,” ceplos Hadi.
“Apaan
si Loh Di…rese aja, main nyambar-nyambar aja,’ protes Rani.
Si
Siti cukup tersenyum, maka si Halisapun turut bicara.
“Sudah-sudah
nggak boleh ribut. Setiap hari itu valentin, bukankah kalian tiap hari berkasih
sayang dengan keluarga kalian, dengan ayah, ibu, saudara kalian?”.
Semuanya
terdiam dan cukup menganggukkan kepala sebagai pertanda bahwa mereka
mengiyakan.
“Ngasih
coklat itu boleh, semua tergantung niat kalian. Kalau niatnya ngasih coklat
buat sedekah, ngasih bunga buat sedekah daripada layu atau daripada nggak suka
atau daripada punya banyak….ya itu bagus. Atau mungkin ngasih makanan buat
sedekah…ya boleh-boleh saja kan untuk kebaikan meskipun itu di hari valentine
atau tidak. Nah coba pikir deh, kalian (Siti, Hadi, Rani) suka coklat nggak
misalkan tidak valentine?,’ tanya Halisa sembari memandangi satu persatu
temannya.
“Suka
bangetlah…coklat kan menenangkan,” sahut Rani.
‘Suka…apalagi
kalau lagi bete,” tambah Siti.
“Suka
banget…nikmat…yummy,” kata Hadi.
“Nah
tuh boleh, kenapa makanan yang halal kalian haramin. Niatin saja kalau ngasih
untuk sedekah. Heee…oh ya seandainyapun kalian tidak suka atau tidak merayakan
valentine, tolong jangan menghina atau menghujat keburukan valentine.
Bukankah kita juga tak mau dihina, ya jangan menghina atau meremehkanlah…kan
saling menghargai. Nggak suka ya nggak usah ngerayakan tetapi nggak usah
menghujat,” lanjut Halisa.
“Iya
Bu ustadzah…hehe,’ kata Rani cengengesan.
“Aaamiiin…,”
kata Hadi dan Siti kompak barengan.
Halisa
cukup tersenyum dan ia melanjutkan penjelasannya.
“Oh
ya kita hidup kan harus saling menghargai. Terpenting kita tidak turut
merayakan…selama mereka tidak mengganggu kita, mengapa kita mengganggu mereka.
Oh ya…dalam islam kan ada hari lailatul qodar, nah misalkan ada seorang atau
beberapa orang non muslim berkata padamu…”tolak lailatul qodar, I am non islam, NO LAILATUL
QODAR”…nah bagaimana perasaanmu saat mendengar itu?,’ tanya Halisa.
“Ya,
sakit hati bangetlah aku. Nggak ngrayain nggak papa, tapi ya jangan ngehina,”
jawab Siti.
“Aku
juga…hehe,’ sahut Rani.
“Dasar
pengikut....ngekor..wewewe…hahah,” Ledek Hadi pada Rani.
“Biarin…kayak
kamu nggak aja…hehe…lanjutin Halisa, lalu kita harus gimana dong?,” kata Rani.
“Kalau
kalian sakit diperlakukan demikian, mengapa memperlakukan demikian
bersorai-sorai “I
AM MUSLIM, NO VALENTIN”. Perasaan mereka juga sama seperti
perasaanmu ketika hari besarmu dilecehkan atau direndahkan. Tidak merayakan boleh,
tetapi jangan menghujat…Kau
tahu, mereka melakukan itupun bukan kebetulan melainkan ada yang mengatur.
Apakah seorang menginginkan kafir?...jawabannya tentu tidak. Tidak ada
seorangpun yang menginginkan keburukan. Semua itu terjadipun atas izin Allah.
Kau tahu…siapakah yang berhak menyesatkan hambanya atau menunjukkan hambanya
pada jalan yang lurus. Allah bukan?,” papar Halisa.
“Iya
yang berhak menyesatkan dan memberi hidayah adalah Allah,” jawab Hadi.
“Sekarang
aku tanya lagi…bagaimana jika dalam sebuah drama perannya protagonis semua?”,
lanjut Halisa.
“Jelas
hambarlah…ceritanya flat…nggak greget. Kalau semuanya baik, mana ada konflik,
ya nggak serulah…padahal seru-serunya cerita kan pas konflik lalu ada resolusi…hehe,”
Jawab Siti.
“Lah
yang bagus gimana?,” tanya Halisa kembali.
“Ya..yang
ada protagonis, antagonis dan tritagonisnya. Jadi ceritanya seru…ada yang
jahat, ada yang baik, ada yang nengahin…nanti ada konflik, klimaks, trus
resolusinya…hehe,” sahut Rani.
“Siapa
yang membuat tokoh itu harus melakonkan protagonis, antagonis, dan tritagonis?,”
tanya Halisa kembali.
“Ya
Sutradaralah..haha…sutradara yang ngatur supaya ada yang berperan sebagai
antagonis, protagonis dan tritagonis biar cerita itu hidup nggak datar
gitu-gitu aja,” jawab Hadi.
“Nah…kalian
tahu jawabannya. Demikian pula kehidupan sesuangguhnya, Allahlah Sutradara Alam
Semesta. Ia yang mengatur baik buruknya seseorang, agar hidup inipun tidak
datar. Allah pulalah yang menyesatkan dan memberikan hidayah pada hambanya,
semua terserah Allah. Maka dari itu kita harus saling menghargai, yang baik
tidak boleh mencaci yang buruk, karena belum tentu buruk, selamanya akan buruk.
Karena kita tiada tahu, siapa tahu sebelum menjelang ajalnya ia sempat
bertaubatan nasuha. Wallahu a’lam. Semua terserah Tuhan. Demikian pula yang
baik belum tentu baik…banyak yang pagi beriman, sore kafir. Pagi kafir sore
beriman atau bisa juga istiqomah kafir terus ataupun istiqomah beriman terus.
Wallahu a’lam, semoga kita termasuk orang yang mendapatkan hidayah dan
pertolongan Allah,” papar Halisa.
“Terimakasih
Halisa…its good reminding to me,” kata Hadi.
“Aku
juga…makasih Halisa,” sahut Rani.
“Thanks
Halisa…melalui dirimu aku tersadar. Tuhan mengingatkanku bahwa kita tak boleh
merasa lebih baik dari orang lain dan mencaci orang lain. Okelah kalau begitu mana coklat yang mau
kamu kasih Hadi…hehee,” kata Siti.
“Huh..sekarang
mau tadi nolak,’ celoteh Hadi.
“Mau
dong, ngapain rizki ditolak…buat ngganjal perut kan bisa…haaa,” kata Siti.
“Aku
juga mau,” kata Rani.
“Oke
deh…kalau begitu aku beli coklat 4 aja sekalian buat kita berempat,” ucap Hadi.
“Thanks
Hadi,” kata Halisa, Siti dan Rani kompak barengan.
*****
SEMOGA
BERMANFAAT
Tidak ada komentar :
Posting Komentar