HALIMAH BINTI MASDARI

Jumat, 20 Februari 2015

RIDHO ALLAH BERSAMA RIDHO ORANGTUA

RIDHO ALLAH BERSAMA RIDHO ORANGTUA
             
*****TENTANG CINTA*****
            Inilah tentang kisahku, kisah cinta yang tiada berujung hingga saat ini. Bagiku suatu kisah yang menyakitkan adalah suatu pembelajaran yang berharga untuk proses selanjutnya. Pertama adalah kisah dimana cinta pertamaku, ya saat itu aku masih kelas 1 SMP dan cinta itu berlanjut hingga aku kelas 2 SMA (5 tahun). Si B (nama inisial orang yang aku suka) ini anaknya kalem, lembut, santun, dan terpandai di sekolahku. Mungkin inikah yang namanya cinta pertama atau cinta monyet atau apa aku tak mengerti. Aku mencintainya dari kejauhan tanpa ia tahu. Sebenarnya kami saling mencintai, tetapi aku tak berani pacaran. Karena aku masih terngiang pesan Bapakku:
“Nduk, Bapak boten ridho nek pean pacaran. Mbok yah o, mesakke Bapakmu, neg sampean pacaran iku maksiyat. Lah sampean putrine Bapak, neg pean maksiyat (pacaran) besog neg alam kubur bapak juga ikut disiksa malaikat. Mbok yaho wedi marang siksane Gusti. Seng taat Marang perintahe Allah. Allah boten sare nduk”.
Meskipun aku mencintai, namun aku tiada berani kalaupun diajak pacaran. Karena aku masih ingat wejangan Bapak, mesakke Bapak. Kalau aku pacaran, Bapak turut disiksa malaikat.
Maka aku pertegas dan aku mengatakan padanya:
“Aku tidak berani pacaran. Bapakku ndak meridhoi, sebab ridho Allah bersama ridho kedua orangtua. Toh…hakekatnya cinta tiada harus berpacaran, nanti kalau jodoh pasti Allah pertemukan kembali di percintaan yang halal”.
Ku kira ia, ia setia menunguku dan tak berpacaran hingga suatu saat nanti kita menikah. Ternyata bullsyit, dia tidak sabar menunggu dan yang lebih menyakitkan ia berpacaran dengan sahabat karibku sendiri (backstreet). Dibilang syok…ia aku syok, suatu penghianatan dari kawan karib sendiri. Ah sudahlah, mungkin ini bukan jalanku. Karena apapun yang Tuhan berikan adalah yang terbaik. Mungkin ia bukan yang terbaik untukku, 5 tahun berakhir penghianatan…mungkin ia lebh pantas mendapatkan yang lebih baik dariku dan aku lebih pantas mendapatkan yang lebih baik darinya. Perjalanan move on 5 tahun, bukanlah hal yang mudah…dibilang sering menangis dan menyebut namanya dalam setiap doa, tentu iya. Tiada rasa benci meski sangat tersakiti dan dikhianati sahabat sendiri…hanya aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri.
Kisah cinta kedua berlanjut, karena aku tiada bisa move on, sahabat-sahabatku yang lain turut bersedih. Maka dikenalkanlah aku dengan teman-teman ia, tetap saja hatiku tiada bisa berpaling…entah inikah cinta Laila dan Qois. Kalau Qois, ah bukan, dia saja tak sabar menungguku dan memilih berpacaran dengan wanita lain.
Suatu saat, aku dikenalkan dengan si AF, kakak sepupu dari sahabatku. Begitu mengenalku ia sangat mencintaiku, aku sendiri tak tahu kog bisa ia mencintaiku. Dibilang cantik, aku ngerasa pas-pasan, dibilang kaya aku dari keluarga lower class. Entahlah, ia sanggup menerima segala kekuranganku. Dibilang nervous, saat itu nervous banget karena memang aku sama dia perbedaanya seperti langit dan bumi. Dia putih, tinggi, mancung…sedangkan aku tinggi, hitam manis, lugu. Dia dari upper class, sedang aku dari lower class. Entahlah tapi ia mengenalku baik, bahkan ia sudah mengenal sosok keprinadianku entah dari tanya-tanya temanku atau bagaimana aku tak mengerti. Aku kenal dia tapi setiap didekati aku tidak mau, yups sekedar say hello dan hi ala kadarnya dan seperlunya saja. Meski ia mencintaiku, kami tiada pernah ketemu kecuali saat pertama bertemu dan diperkenalkan….itupun perkenalan di tempat ramai, dan ada teman-temanku. Aku sama dia berjarak 1-2 m, kalau kami bicara agak jauh. Apalagi waktu itu masih polos-polos dan lugunya, tiap deket ikhwan dredeg.
Terakhir, ia mengajakku ke rumahnya saat acara sedekah bumi. Ia hendak mengenalkanku kepada orangtuanya. Tetapi Bapakku tiada meridhoiku, maka dengan segenap rasa hormat aku menolaknya:
“Maaf kak, Bapak tak meridhoiku ke rumahmu. Karena tak etis wanita bermain ke rumah ikhwan. Apalagi kita bukan makhram. Ridho Allah bersama ridho orangtua, maka maafkan aku tidak bisa datang ke rumahmu”.
Ya, aku tahu ia sangat kecewa. Tetapi tetaplah aku berpegang pada taat kepada kedua orangtuaku. Aku ketemu dia cuman sekali. Karena dia kecewa tidak bisa memperkenalkan aku ke keduaorangtuanya. Maka iapun memutus tali silaturahmi denganku tanpa suatu komunikasi kembali seperti dulu. Ya…tidak apa, mungkin ini jalan yang Tuhan berikan sebagai ujian apakah aku tetap taat orangtuaku ataukah tidak.
Cinta ketiga berawal karena hobi yang sama dan kita sering bertemu di ajang lomba. Sebut saja namanya S. Ia handsome, putih, baik, anaknya cerdas dan lincah. Hobi kita sama, ia sering mengikuti lomba dan akupun sama. Ia mahir bertilawah, berpidato dan nasyid, akupun sama. Ia sosok yang cerdas dalam bidang duniawi dan ukhrawinya. Kami sama-sama ada rasa, dan saling mengagumi atas prestasi masing-masing. Seiring dengan berjalannya waktu, rasa itupun tumbuh menjadi rasa cinta, namun cinta dalam diam. Kami tiada pernah berjumpa kecuali saat even-even lomba dan seminar. Kendati demikian, meski aku suka, akupun tak mau jika bertemu tanpa suatu tujuan yang jelas seperti lomba, belajar, ngaji bareng atau refreshing. Kalau sekedar main atau ngeceng, entahlah aku tidak menyukai yang demikian. Justru cinta yang jarang bertemu, itu semakin besar rasa rindunya. Semakin besar menahan rasa rindu, maka cinta itu akan semakin besar. Hakekat cinta yang sejati ia akan menjaganya. Berarti ia tidak mau berduaan, tidak mau berpacaran, tidak mau menyentuh atau melakukukan apapun kecuali ia sudah halal baginya. Karena cinta berarti menjaga. Ketika seseorang mengatakan cinta lalu memaksamu berpacaran berarti ia tak mencintaimu melainkan hanya nafsu.
Suatu hal yang luar biasa, ia mengatakan tak berpacaran dan mencintaiku. Akupun sama. Dalam fikirku, jika kita berjodoh, nantilah Allah yang mempertemukan tanpa perlu berpacaran. Cinta akan sabar menungu sampai di batas waktu, waktu yang halal (pernikahan) untuk cinta itu tumbuh dengan indah. Ternyata suatu bullsyit….disinilah aku mengerti ternyata dia shoot at my friend tanpa sepengetahuanku. Dibilang kaget, yups kaget.
“Bukankah katanya dia tak mau berpacaran, pacaran banyak mudhorotnya, banyak dosanya. Lah kog dia berpacaran, astagfirullah hal adzim”
Dibilang kecewa, tentu aku kecewa. Maka tiada sesuatu yang perlu disesali, karena mereka adalah jalan Allah untuk menguji kesabaranku, mereka adalah jalan Allah seberapa jauh aku berbhakti padanya, dan mereka adalah jalan Allah sebagaimana aku teguh terhadap pendirianku untuk selalu taat pada perintahNya dan perintah kedua orangtuaku. Terimakasih Ya Rabb engkau telah menjagaku dari berpacaran.
Prinsipku sendiri aku tiada mau berpacaran, meskipun aku jua mencintai seseorang dari kejauhan. Mencintai adalah hal wajar. Karena manusia tercipta dengan fitrah yang namanya cinta. Cinta itu suci yang artinya menjaga, ketika anda mencintai seseorang berarti anda akan berusaha menjaga perasaannya, tiada menyentuhnya kecuali ketika halal waktunya, kalaupun berkata sekedar yang penting saja. Hal yang menjadi pertimbanganku sehingga aku selalu mengurungkan niatku berpacaran adalah:              
  1. Berpacaran adalah maksiyat. Berarti kalau aku bermaksiyat, maka aku mendurhakai Allah, padahal aku sangat mencintai Allah.
  2. Mesakke Bapakku. Bagaimana tidak???...jika aku berpacaran, maka di alam kubur nanti Bapak juga turut disiksa malaikat.
  3. Allah berhak memanggilku kapan saja. Jika Allah memanggilku saat berpacaran, lalu bagaimana nasibku…meninggal dalam kondisi durhaka terhadap Allah SWT. Maka aku berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari berpacaran. Kalau sekedar suka ya wajar, orang aku juga manusia biasa.
  4. Allah tiada pernah tidur, sudah seharusnya aku malu kalau aku pacaran Allah melihatku, sedang diriku dalam bermaksiyat padanya. Maka dari itu, aku menghindari pacaran.
  5. Kalau aku berpacaran berarti aku mendurhakai kedua orangtuaku. Karena Bapak dan Emakku melarangku berpacaran. Padahal ridho Allah bersama ridho orangtua. Maka bagiku lebih baik memilih tidak berpacaran, meskipun godaan berpacaran teramat besar, teramat saat yang shoot at me adalah orang yang jua aku cintai.
Cinta keempat adalah saat aku dibangku perkuliahan, tepatnya saat semester 3. Seorang bernama IP, dengan segudang prestasi mencintaiku. Aku sendiri masih tak percaya, terlebih banyak wanita yang mengadu padaku ia pernah dipermainkan sama si IP. Tapi entahlah, begitu aku menolaknya ada rasa tak tega ketika ia memintaku untuk diberi kesempatan dan ia berjanji akan bertaubat dan menjadi manusia yang lebih baik lagi akhlaknya.  Pertama saat ia shoot at me, aku menolaknya karena seseorang memberitahuku ia mempunyai pacar. Yang bikin kaget.
“Lah kog punya pacar…nembak aku, perasaannya dimana…lah terus pacarnya gimana?”      
Secinta apapun dengannya tetap aku tolak, mana mungkin aku tega menyakiti perasaan cewknya. Aku juga seorang wanita, tentulah tak tega menyakiti hati wanita, mending tak bersama dia daripada jua menyakiti perasaan wanita lainnya. Namun dia, tiada menyerah…dia masih menyatakan bahwa ia sudah putus dengan pacarnya sambil membawa bukti bahwa ia sudah putus.
Kemudian ia memintaku untuk memberinya kesempatan, kali ini ia tak memintaku sebagai pacar tetapi lebih berkomitmen untuk memantaskan menjadi calon imam hidupku. Karena kelihatannya serius, toh ia berjanji perlahan akan merubah sikapnya, ia akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun aku masih belum berani. Saat itu yang kukatakan:
“Kak, sehebat apapun engkau. Engkau jua terlahir dari rahim seorang wanita. Apa engkau tega menyakiti perasaan wanita, sementara ibumu jua seorang wanita. Bagaimana perasaanmu jika ibumu disakiti lelaki, apa kau tega. Hormati wanita, sebagaimana sebab hebatnya seorang lelakipun tiada lepas dari peran wanita”.
Entahlah, kataku mak jleb atau bagaimana…aku sendiri tak mengerti, aku hanya mengungkapkan berdasarkan hati nuraniku. Yang aku tahu ia masih memintaku untuk diberi kesempatan sembari meyakinkanku akan memantaskan diri menjadi calon imam dll. Ia berjanji bahwa kita akan saling memotivasi, saling bersama menjadi satu kita juara. Sementara sambil berproses, kita sahabatan dulu karena aku tak berani pacaran. Entah ada badai apa, aku tak mengerti….aku tanya ia pelan-pelan tanpa emosi memintanya agar ia jangan berlaku kasar,…perlahan-lahan kasar itu dihilangi. Setiap orang berhak berubah baik kog. Tetapi apa yang ia lakukan tiadalah etis, dia mengatakan bahasa yang teramat keras…semacam misuh….sambil mengancam. Oh my God, mengapa cinta harus dengan ancaman?...kalau tidak diterima akan mengahiri hidupnya, ketika diterima berlaku kasar. Bahkan hujatannya luar biasa, bahasa bukan manusia diungkapakan…apakah pantas bahasa makhluk lain digunakan manusia. Apakah pantas seorang intelektual yang notabenya berpendidikan tinggi berkata kasar seperti mengumpat.
Ia meninggalkanku, tanpa mengakhiri komitmenya dan berganti wanita entah ke berapa banyaknya. Itu terserah dia. Mungkin saja tak betah jua tak tahu, karena aku tiada pernah mau diajak berduaan. Suka boleh tanpa ketemuan membahas yang tak penting kecuali sekedar belajar. Romantis memang dianjurkan tetapi bagi mereka yang sudah halal (suami-istri), tetapi sangat dilarang bagi yang bukan makhram bukan mukhrim berkhalwat. Entahlah…sikapnya yang luar biasa kasar membuatku shock dan down..tepat saat UAS semester 3, karena perlakuan kasar itu nilaiku hancur dan mlorot drastis. Aku sangat shock dengan ancaman itu…tetapi memaafkan adalah jalan yang lebih baik.
Tiada aku membencinya, melainkan dalam setiap tangisku ketika mengingatnya, semoga pintu hidayah selalu diberikan padanya dan untukku pula. Dia, mas IP adalah jalan bagi Allah untuk menguji kesabaranku, untuk menguji ketegaranku, untuk menguji kesetiaanku. Bagaimana aku masih berpegang teguh pada wejangan orangtua, alhamdulillah atas perlakuannya yang super kasar menjadikanku tidak jadi berpacaran sehingga aku tetap bisa taat terhadap wejangan orangtua. Dengan perlakuannya yang kasar, menjadikanku taat pada Allah. Allah mengingatkanku untuk tidak berpacaran dengan perlakuannya yang kasar. Allhamdulillah, dengan jalan ia kasar menjadikanku tetap setia pada pesan kedua orangtuaku. Terimakasih telah melatihku sabar, kuat dan tegar.
Bagiku keempat kejadian tersebut adalah pelajaran yang sangat luar biasa, ujian untuk melatihku apakah aku tetap setia pada wejangan keduaorangtuaku ataukah tidak. In syaallah sampai kapanpun aku tiada tergoyah untuk berpacaran, cukup berpasrah. Yang menjadi fokusku adalah meraih mimpi dan mewujudkannya menjadi nyata, lalu membahagiakan orang-orang yang aku sayangi terutama ibu, adek kandungku, dan Bapak beserta daftar orang-orang yang aku cintai lainnya. Alhamdulillah..semoga dari segala kejadian,melatihku untuk berfikir dewasa dan rasa sakit yang kurasakan semakin mendekatkanku padaNya. Karena apapun yang terjadi tiada yang sia-sia melainkan untuk diambil hikmahnya.
In syaallah fokus pada karir dan memperjuangkan mereka-mereka orang-orang yang aku cintai itu jauh lebih baik. Masalah jodoh, wallahu a’lam, jika suatu saat nanti ada yang mengatakan cinta padaku tiadalah aku mudah percaya. Kecuali ketika ia berani mengatakan itu pada kedua orangtuaku, menghitbahku dan menikahiku, barulah aku percaya. Jika memang aku jua mencintainya, akupun akan menerimanya apa adanya terpenting ia mencintaiku apa adanya, ia berakhlakul karimah, dan bisa membimbingku. Entahlah..masalah jodoh adalah urusan belakang, siapapun yang Allah takdirkan nanti denganku, in syaallah aku akan mengabdi padanya sepenuh jiwaku padanya sebagaimana Sayyidah Khodijah mengabdi pada Rosulullah sebagaimana rasa taatku pada Tuhanku. Jika memang sekarang aku jutek, memang seharusnya aku jutek…karena romantis hanya untuk orang yang halal menenerimanya, yakni suami kita nanti untuk kaum hawa. Namun terpenting adalah sekarang bagaimana aku berfokus pada karir dan membahagiakan orang-orang ang aku sayang, keluarga, kaum dhuafa, fakir miskin, dan saudara-saudaraku yang super tegar di panti (mereka tanpa ayah dan ibu). Tetapi hati mereka begitu kuat menerjang kehidupan. Kepahitan yang kualami adalah ujian bagaimana untuk aku mengambil hikmah dan berhusnudzan atas setiap takdir yang Allah berikan….:)
Tuhan…
Apapun yang terjadi tiada yang kebetulan
Melainkan semua berjalan atas izin dan takdirMu
Jadikanlah rasa syukurku dalam setiap takdir baik
Jadikanlah rasa sabar teman takdir burukku
Ajarkan aku arti ikhlas meski hati ini sering meronta
Ajarkanlah arti sabar menghadapi setiap ujian darimu
Ajarkanlah bagaimana aku bersikap dewasa
Sungguh…
Aku meminta kuat kau beri masalah
Agar aku belajar sabar
Aku ingin setia dan taat
Kau uji dengan godaan
Agar aku tetap berpegang teguh pada keyakinanku
Jadikanlah setiap sedih dan laraku
Sebagai jalan semakin dekat denganMu
Jadikanlah setiap senang dan bahagiaku
Sebagai rasa taatku terhadapMu
Jadikanlah setiap langkah kakiku  
Berjalan pada jalan yang kau ridhoi
Terimalah taubatku atas segala dosa dan kesalahanku
Ingatkan aku agar aku senantiasa kembali ke jalanMu
Ajarkan aku arti berlapag dana
Menerima segala qodho’ qodarMu dengan hati yang ikhlas
Tanamkan hati yang selalu berkhusnudzan   
Dalam setiap peristiwa di hidupku
Segala puji syukur bagiMu
Rabb…Tuhan Semesta Alam           
Penguasa Alam Raya
Yang mengasihi segala makhluknya
Yang adil lagi bijaksana
Allahu Ar-Rahman
*****
Ini adalah sebagian kenangan yang memotivasiku untuk bangkit, supplemen meraih mimpi, vitamin untuk melangkah dan membahagiakan orang-orang yang aku sayang atas izin Tuhanku. Terimakasih kata-kata pedasnya, ini adalah hadiah terindah...:)...All praises to Allah telah mengujiku menjadi sabar melalui hal ini...:)
Rhido kedua orangtua sangatlah penting, hal ini terbukti dimana ketika hampir pacaran gagal terus, alhamdulillah Allah masih menjagaku dari pacaran. Duhai Rabb...jika hatiku lemah dan tergoyah hendak bermaksiyat terhadapMu, maka tegurlah aku...bimbing aku menuju jalanMu, ajarkan aku berkhusnudzan dalam menerima setiap takdirmu...:)



Tidak ada komentar :