HALIMAH BINTI MASDARI

Minggu, 05 Januari 2020

SEPUCUK CINTA UNTUK EMAK

SEPUCUK CINTA UNTUK EMAK
*****
Oleh: Dewi Nur Halimah


Ibuku... 
Beliau adalah anugerah terindah yang kumiliki. Perasaan cinta itu kian dalam tatkala aku bermain dan silaturahmi dengan yatim piatu. Para yatim piatu sangat merindukan ibu bapaknya, tatkala melihat anak yang dimanja, disayang orangtuanya. Hati mereka perih, tak jarang juga menangis. Lalu aku, aku masih memiliki orangtua, aku masih bisa menemuinya, maka akan kumuliakan mereka.

Imam Bashri berkata:
بكى الإمام البصري في جنازة أمه ،
فقيل له : يا إمام ما يبكيك ؟
قال : لا أبكي لموتها 
أبكي لأنه قد أغلق باب من أبواب الجنة !
كذلك تقول الملائكه لابن المتوفيه : ماتت التي كنا نكرمك من اجلها...
اللهم ارحم والدينا كما ربيانا صغارا

Imam Hasan Al-Basri suatu saat didapati menangis dihadapan jenazah ibu beliau.
Seseorang bertanya kepada beliau:
"Wahai Imam, apa yang membuat engkau menangis?" 
Beliau menjawab:
"Bukanlah aku menangis karena wafatnya ibuku semata, tetapi aku menangis karena telah ditutup satu pintu dari pintu-pintu syurga, sebagaimana berkata para Malaikat kepada anak yang ditinggalkan:
Telah wafat ibumu, yang dulunya kami para Malaikat memuliakan kamu sekalian karena sebab dia ibumu". 

Dawuh Imam Bashri sangat menyentuh qolbuku. Ridho ibuku bersama ridho kedua ibuku, wabil khusus emakku (ibuku). Terkadang ketika emak tidur, aku memandangi wajahnya. Ada cinta, ada sedih yang bertahta di hatiku. Sebisa mungkin aku membahagiakan beliau semampuku. Hampir setiap 2 minggu, aku selalu membelikan sembako emak dari hasil jerih payahku kerja. Emak tak meminta, sengaja aku belikan satu kardus besar karena aku tahu belanjaan semua habis. Aku tak suka janji memberi, aku selalu diam diam belanja, tiba tiba barang dan sembako kuberikan beliau. Kulihat wajah beliau bahagia sekali. Dan selalu kuingat doa beliau adalah "Alhamdulillah, barokallah. Semoga jadi bos nduk, kamu penyayang sama keluarga, kucing, adekmu". 

Aku senyum lalu pergi. Aku bukan tipikal anak yang PD bicara langsung. Biasanya untuk mengungkapkan isi hatiku panjang lebar, lewat surat atau diary. Iya aku wanita diary. Aku sangat PD public speaking saat diskusi di forum musyawarah, jadi pembicara ilmu dll. Tapi soal mengungkapkan perasaan, aku canggung jadi aku pilih surat. Beda menyampaikan motivasi/ ilmu dengan menyampaikan perasaan. Ada malu, canggung, takut, kawatir. Nggak bisa diungkapkan. Kalau surat kan enak, kita tak perlu bertatap muka. 

Hari ini kulihat termos emak pecah. Emak sudah kubelikan sembako. Maka diam diam aku punya rencana saat pulang ngelesin untuk membelikan emak hadiah termos dan beli alat alat rumah tangga sederhana. Benar saja, begitu kuberikan. Wajah sumringah terlukis di wajahnya. Entahlah, aku orangnya suka diam - diam kalau memberi. Aku tidak mau bicara kecuali sudah kulakukan. Aku takut ingkar, bukan hanya mengecewakan tapi tanggung jawab di akherat berat. Iya, janji adalah hutang. Jadi lebih baik bukti yang bicara. 

Terkadang saat merenung air mataku menetes. Saat ini usiaku 25 tahun, sudah waktunya aku menikah. Usia 25-27 adalah usia matang menikah. Semoga saja jodohku 2020 yang baik ilmunya, cerdas lagi penyayang padaku, keluargaku dan berakhlakul karimah. Rasanya sedih, suatu saat aku harus ninggalin keluarga dan ikut suami. Bagaimanapun kelak bila sudah menikah, ridho Allah bersama ridho suami. Maka aku tidak mau sembarang asal nikah, sebab suamiku adalah ladang surgaku. Selama ini aku sering bahkan hampir selalu membelanjakan emak sembako, sering ngasih hadiah, uang ke adek, hadiah ke bapak. Besok kalau aku sudah menikah, belum tentu bisa sesering ini aku memberi mereka. Semoga suamiku kelak adalah sosok yang dermawan. Aku memuliakan orangtuanya dan ia memuliakan orangtuaku. Semoga ia tak pelit ke orangtuaku dan tidak pelit diajak berbagi rizki. Mendukung bakat minatku, proyek sosialku, dan membimbingku menuju surganya Allah. 

Kebahagiaanku tak bisa kuungkapkan saat aku melihat emak bahagia menerima hadiah dariku, sembako dariku, adek seneng kukirim biaya sekolahnya, bapak senyum, dan anak anak senyum renyah. Akan ada rindu besar saat nanti surgaku berpindah dari bersamaan ridho orangtua menjadi bersamaan ridho suami. Waktu tenggang sebelum menikah adalah waktu yang benar-benar kumanfaatkan untuk memuliakan dan membahagiakan orangtuaku. Hehe, aku suka tiba tiba memberikan kejutan. Sudah kurencanakan tapi tidak kuceritakan siapapun. Kalau sudah terjadi, bukti akan bicara dengan sendirinya. 

Aku pun saat ini belajar banyak hal, belajar resep masak, cara masak, belajar dandan natural, belajar prakarya dll. Aku harus siap dua duanya, saat suamiku mengizinkanku menjadi wanita karir kelak, in syaAllah aku siap. Seandainya suamiku tidak mengizinkanku menjadi wanita karir, fokus jadi ibu rumah tangga dan fokus ngedidik anak in syaAllah siap. Kan kerja nggak harus keluar rumah, justru bagus buat perempuan. Aku sudah belajar bagaimana bisnis dari rumah, bisnis bimbel, bisnis jasa, bisnis bros, prakarya, dll kan bisa. Bagaimanapun semua harus disiapkan dzahir batin. Bukan soal materi saja dan duniawi, tapi Batiniyah lebih penting. Dan kuusahakan balance antara dzohiriyah dan Batiniyah. 

Bagaimana memuliakan suami dan mendidik anak benar benar ala ummahatul mukminin telah aku pelajari. Semoga atas rahmat Allah, diizinkan menjadi umi solekhah dan zaujati solekhah. Ya, cita citaku sejak kecil adalah memiliki dzuriyah yang cerdas, prestatif, berakhlakul karimah (soleh solekhah). Maka aku siapkan diriku baik baik, yakni belajar sungguh-sungguh. Abah guru selalu bilang, kalau kamu pengen anak anakmu cerdas. Kamu harus cerdas, in syaAllah jodohmu juga cerdas. Memiliki dzuriyah yang cerdas berakhlakul karimah adalah impianku. Pengen punya anak penulis kitab, penulis buku, ulama sekaligus entrepreneur yang berjiwa sosial yang meneladani Sayyidah Khodijah ra dan Sayyidina Utsman bin Affan. Kata abah guru, tirakatnya harus besar. Kelak aku in syaAllah qona'ah sama pemberian suamiku asal dia tanggungjawab. Aku tidak menuntut nafkah harta yang banyak, tapi aku menuntut kehalalan rizki yang digunakan untuk menafkahiku dan anak anakku. Sebab abah guru pernah ngendikan, anak yang dinafkahi dengan harta yang cara memperolehnya syubhat atau haram, nggak akan cerdas dan nggak akan soleh solekhah. Soalnya ilmu adalah Nur, Nur hanya bisa masuk pada jiwa yang terang yakni bukan perut yang memasukkan barang haram. 

Aku akan berusaha semaksimal mungkin semampuku untuk menjadi zaujati muthi'ah untuk suamiku. Menjadi zaujati Fatimah yang cerdas mendidik anak anakku untuk ilmu duniawi dan ukhrowinya. Menjadi zaujati Khodijah yang rela berkorban dan cinta rabb, nabi, dan suaminya. Semoga bisa maksimal membahagiakan orangtua sampai saatnya tiba aku dihalalkan lelaki yang mencintaiku juga aku cintai. Semoga ia yang baik agama, akhlaknya sehingga atas izin rabbku bisa menjadi pembimbing dunia dan akheratku. Aamiin


Tidak ada komentar :