MARWAH CINTA HALIMAH
Cinta adalah fitrah dimana fitrah itu adalah suci. Maka sudah sepantasnya aku menjaganya dari cinta yang tidak diridhoi Allah swt. Cinta antara 2 lawan jenis tidaklah halal kecuali ditempuh dengan pernikahan.
Ya aku adalah perempuan yang memiliki 2 sisi. Dilain sisi aku sangat lembut dan penyayang dengan anak kecil, orangtua, yatim piyatu, dhuafa, dan fakir miskin. Tapi aku juga memiliki sikap tegas layaknya ratu Sima yang tanpa ampun menolak ketidakadilan, menolak kejahatan, menolak kemaksiatan. Ya Halimah adalah sosok pemberani bertanya terutama soal fiqih dan hukum. Fiqih adalah pelajaran yang paling aku suka sejak aku di madrasah.
Terhadap sesuatu yang aku suka, aku menjalaninya dengan penuh cinta. Terhadap sesuatu yang tak aku suka, aku meninggalkannya. Aku tidak suka sesuatu yang berpura-pura, aku menyukai segala sesuatu yang apa adanya, sederhana, hidup penuh syukur. Aku pun tidak segan berprotes bila melihat kekeliruan dan kemaksiatan atau sesuatu yang tak aku suka namun aku dipaksa suka. Ya, rasa beraniku tiada lain karena meneladani Sayyidah Aisyah RA yang pemberani dan Sayyidah Astma binti Yazid yang pemberani lagi kritis.
Cita-citaku adalah menjadi zaujati solekhah dan umi solekhah, dzuriyahku ngalim dan soleh solekhah, wafatku khusnul khotimah. Soal pasangan hidup, aku tidak suka dijodohkan, aku lebih suka pilihan sendiri. Tidak masalah dijodohkan tapi yang menentukan iya atau tidaknya tetaplah diriku. Mengapa? Karena menikah berarti membangun keluarga. Aku menghabiskan hidup dengan siapa sepanjang hayatku. Salah pilih pendamping hidup, sengsara seumur hidup. Alhamdulillah orangtuaku mengerti kemauanku khusus masalah cinta dan aku diberikan kebebasan dengan syarat asal NU, ilmu agama bagus, akhlak bagus, tanggungjawab, sayang aku, sudah. Selebihnya aku sendiri yang menentukan.
Alhamdulillah ala kuli hal. Aku pun terang terangan menjawab pinangan lelaki saat ia mengutarakan hendak menikahiku. Bila aku memandangnya meskipun awalnya tidak cinta tapi menemukan kenyamanan, ya aku terima. Kalau belum menemukan kenyamanan, maka aku pun menolaknya dengan lembut. Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak membuatku nyaman tatkala aku memandang wajahnya, mendengar katanya, melihat sikapnya. Kenyamanan, akhlak dan ilmu adalah pertimbanganku.
Bagiku, bila tidak nyaman. Menolak lebih terhormat daripada PHP (Pemberi Harapan Palsu) atau menggantungkan perasaan. Bila aku tegas menolaknya saat tidak nyaman, maka dia akan move on dan mencari yang lain. Semoga mendapatkan yang lebih baik dariku. Tapi kalau menggantungkan perasaan, sama halnya aku menyiksa batinnya dengan memberikan perhatian harapan namun tidak mau dimilikinya. Memang ditolak itu sakit di awal, tapi selebihnya baik daripada digantung, digantung itu seolah baik diawali namun buruk di akhir. Meskipun demikian, kalau aku tidak nyaman, menolak pun kujaga sopan santunnya.
"Mohon maaf aku tidak mencintaimu. Semoga engkau mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku. Semoga Allah anugerahkan kebahagiaan untukmu dari orang lain berlipat lipat menggantikanku," itu yang sering kusampaikan.
Mengapa aku kalau tidak suka berani menolak tegas?. Inilah alasanku:
- Aku sudah bernadzar bahwa aku akan taat suamiku. Dan aku pun sudah bersiap total dari ilmu, akhlak, dan segalanya. Janjiku pada Rabbku tak mungkin kulanggar in syaAllah. Bila aku tidak nyaman, ibarat kata baru mandang sepeten. Kupaksa nikah, yang kukawatirkan, aku tidak menjadi zaujati solekhah tapi menjadi istri durhaka yang pembangkang, selalu protes, dan kalau dipandang mlengos. Sungguh sayang persiapanku, bila aku tidak jadi istri yang taat. Jadi aku santai, selama masa penantian sampai Allah pertemukan dengan yang tepat, aku akan memperbaiki diriku sampai suatu saat Allah hadirkan lelaki yang tepat dan bisa membuatku nyaman. Lalu aku siap mengabdi untuknya layaknya zaujati Khodijah untuk rosulullah yang siap berkorban harta, nyawa, pikiran untuk berjuang di jalan Allah dibawah bimbingan suami. Kalau aku sudah nyaman dan cinta, aku pun taat dengan sepenuhnya taat. In syaAllah layaknya Sayyidah Fatimah ra.
- Aku tidak suka plin plan dan menggantungkan perasaan. Bila aku tidak suka, maka dengan tegas dan sopan aku pun akan menolak dengan terang terangan. Dengan aku bersikap tegas, artinya tidak menggantungkan perasaan. Menolak lebih terhormat daripada menggantungkan perasaan. Ketika ia ditolak, ia akan move on dan mencari yang lain. Dan aku pun mendoakan semoga mendapatkan yang lebih baik dariku. Namun bila menggantungkan perasaan, dia akan lebih sakit lagi tatkala tahu kalau aku tidak cinta, hanya mempermainkan perasaan saja. Jadi wanita itu harus tegas, IYA atau tidak. Sayyidah Khodijah pun tegas, sebelum menikah dengan rosulullah, banyak lelaki yang meminangnya. Namun karena tidak menemukan kenyamanan, beliau pun tegas menolak. Selama penolakan sopan, tidak menghina fisik. Menurutku it's okay sih, toh nggak ada janji kan sebelumnya.
- Menikah dengan yang tidak dicintai itu penyiksaan batin. Padahal tugas istri adalah melayani suami dzahir batin. Masak iya melayani dzahir aja, batin nggak. Bisa dilaknat Allah swt dan para malaikat karena surga istri dibawah ridho suami. Aku taku dan aku tidak mau dilaknat Allah swt dan para malaikat. Kalau tidak cinta dan khawatir tidak bisa taat alias membangkang, ya tolak saja. Kalau sudah nikah, bagaimanapun kondisinya istri wajib taat suami.
Oh ya nadzarku luar biasa, sudah aku persiapkan hal terkait duniaku dan akheratku. Ketika aku menerima lelaki itu atas dasar cinta, maka akan kuterima semua kekurangan dan kelebihannya. Kekurangannya akan kulengkapi dengan kelebihanku. Karena cinta adalah saling menyempurnakan kekurangan masing masing pasangan. Aku tipikal on time, rajin, dan kalau janji in syaAllah menepati. Alhamdulillah hampir setiap janjiku terpenuhi semua kecuali aku sakit atau dhorurot ditunda dan segera kuganti Dilain waktu. Aku pun pernah hujan hujanan demi menepati janji. Janji lebih baik kutepati di dunia dengan orang yang bersangkutan daripada aku harus ditagih di akherat berhadapan dengan Tuhanku. Aku jauh lebih takut bila yang menagih Tuhanku.
Untukmu yang namanya Allah tuliskan di Lauh Mahfuz sebagai jodohku dunia akherat, sebagai suami yang menjadi imam hidupku. In syaAllah aku tidak risau akan dirimu, aku mantab akan engkau. Engkau akan Allah kirimkan di saat yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Tugasku selama penantian sampai aku menemukan lelaki yang tepat adalah memperbaiki akhlak, menambah ilmu sebagai wawasan (baik ilmu agama, sains, sosial, dan lainnya yang bermanfaat), menambah manfaat untuk ummat dan berkarya serta berprestasi.
Aku yakin akan pesan guruku, bila aku menginginkan jodohku baik. Maka aku dululah yang perlu memperbaiki diri. Terlebih aku adalah wanita, wanita menjadi madrosah utama anak dalam keluarga.
Aku ingin menjadi layaknya zaujati Khodijah yang siap berjuang menemani suami dari nol. Menemaninya dalam suka dan dukanya. Mengorbankan jiwa, raga, dan nyawaku untuk mendukung suamiku kelak berjuang di jalan Allah swt.
Aku ingin putra putriku menjadi penulis kitab atau buku. Maka dari sekarang aku menjadi penulis. Buku yang sudah kuterbitkan 5, buku dibawah bimbingan ku alhamdulillah 2, jadi total ada 7 buku yang sudah terbit. Dan yang on progress nulis in syaAllah 2. Mengapa aku suka menulis karena semua ulama, baik imam ghozali, imam nawawi, imam Malik, imam hanafi, imam syafi'i adalah penulis kitab. Dengan menulis berarti berbagi ilmu yang bisa ditularkan dari generasi ke generasi diniafkan lilahi ta'ala berjuang menghilangkan kebodohan untuk kemajuan islam.
Aku menginginkan putra putriku kelak cerdas dan berjiwa sosial tinggi. Maka dari sekarang aku harus memberinya teladan. Anak kan niru ibunya, sejak beberapa tahun silam aku terjun mengajar anak jalanan, mengajar anak disabilitas, menyambangi panti jompo, berinteraksi di RSJ, mengajar yatim, dan lain sebagainya. Aku mau putra putriku kelak berjiwa sosial tinggi, dia meneladani Sayyidah Fatimah yang dermawan untuk kebaikan.
Aku ingin putra putriku menjadi sosok yang amanah, menepati janji, penegak keadilan. Maka dari sekarang aku menjadi penegak keadilan. Aku selalu menepati janji atas izin Allah. Aku selalu berdoa:
"Allah jadikanlah aku wanita yang menepati janji dan aku pun akan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menepati janji".
Aku kalau punya janji atau hutang, nggak selang berapa lama pasti kutepati atau lunas. Mengapa? Aku nggak bisa tidur tenang, glebagan kanan ke kiri trus kepikiran kalau tidur, kadang kebawa ke alam mimpi juga. Ya kalau umurku panjang, kalau aku tiba tiba wafat, punya janji yang belum aku tepati, hutang yang belum kubayar, bahaya bisa dipukulin malaikat di alam kubur aku. Jadi harus hati hati.
Demikian pula rizki. Aku bekerja tidak menuntut banyak, terpenting itu halal dan barokah. Penting cukup buat ibadah, bisa sodaqoh keluarga dan membantu orang. Aku sudah bersyukur. Alhamdulillah selalu merasa cukup dan dicukupkan sama Allah.
Banyak tirakat yang kulakukan tiada lain untuk dzuriyahku kelak. Interaksi dengan lelaki pun kujaga. Harta yang masuk ke perutku dan pakaian yang kupakai pun harus kupastikan bahwa sumbernya dari cara yang halal in syaAllah. Aku selalu ingat pesan guruku:
"Akhlak itu nomor satu. Besok setiap amal itu dihisab. Jangan gegabah dengan akhlak dan sikap. Jaga perutmu jangan sampai kemasukan makanan yang haram atau makanan/ minuman yang cara memperolehnya dari uang syubhat/haram. Perut yang kemasukkan barang haram akan rawan maksiyat. Maksiyat menjadikan berat dihisab. Dibakar di neraka itu sakitnya kayak apa. Api di dunia saja panas, padahal sudah dicuci malaikat 70 kali sebelum dibawa ke dunia. Besok kalau dibakar pakai api neraka bagaimana, sementara di akherat itu selamanya. Kebakar sebentar aja di dunia sakitnya minta ampun. Apalagi di neraka"
Pesan itu masih terngiang ngiang di telingaku. Itulah sebabnya aku sangat hati hati. Sebisa mungkin pelan pelan aku mengamalkannya. Aku tidak mau ghosob, aku tidak mau memakan sesuatu yang tidak diberikan aku atau bukan milikku, dll.
Banyak hal pula yang kupersiapkan untuk menjadi zaujati solekhah dan umi solekhah, aku mempelajarinya dari berbagai kitab, salah satunya kitab uqudilujen. Kitab perlu kupelajari karena ilmu adalah bekalku sebagai pedoman yang kuamalkan agar selamat dunia akherat. Aku pun belajar dandan, agar kelak bisa menyenangkan suami bila dipandang manis Hehe.
Menurutku menikah bukan sekedar merubah status dari single menjadi menikah. Tapi lebih pada persiapan menjadi istri dan ibu. Mengetahui hak dan kewajiban istri, mengetahui cara mendidik anak, dan lain sebagainya. Semuanya bukan hal mudah. Butuh persiapan mantal. In syaAllah telah kusiapkan semua.
Aku ingin kelak anak anakku juga cerdas cerdas, multitasking dan multitalent dalam koridor sesuai syari'at sehingga aku perlu memberikannya teladan sedari sekarang. Anak yang berprestasi namun tetap tawadhu', ringan tangan membantu sesama, berpegang teguh syari'at.
Allah...
Aku percaya padamu bahwa Engkau sudah menuliskan pasanganku dan takdir perjalanan hidupku dalam Lauh mahfuds. Tugasku saat ini adalah yakin, mempersiapkan diri, menuntut ilmu, memperbaiki akhlak, berkarya, berprestasi sampai datang apa yang Engkau tetapkan untukku. Aamiin.
Cinta adalah menjaga, maka kujaga kehormatanku sampai nanti kuserahkan pada suamiku. Cinta adalah kehormatan, maka marwah cinta adalah persiapanku untuk menyambutmu. Semoga kelak Allah pertemukan dengan imam hidup yang membimbing ke jannah dalam menggapai ridhoNya.
Semoga kelak Allah izinkan Dewi Nur Halimah binti Masdari bin Ja'far shodiq menjadi zaujati solekhah layaknya zaujati Khodijah dan Zaujati Muthi'ah yang senantiasa menjaga iman, taqwa, ketaatan pada suami, memegang syari'at, taat Allah dan rosulullah, penyayang dan lembut. Semoga kelak Allah izinkan Dewi Nur Halimah binti Masdari bin Ja'far shodiq menjadi umi solekhah yang cerdas layaknya Sayyidah Fatimah dalam mendidik Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Lahul Fatekhah. Aamiin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar