HALIMAH BINTI MASDARI

Jumat, 16 Maret 2018

KISAH CINTA SAYYIDAH KHODIJAH RA DENGAN ROSULULLAH SAW


KISAH CINTA SAYYIDAH KHODIJAH RA DENGAN ROSULULLAH SAW
*****
Written by Dewi Nur Halimah, S.Si 
****** 

  
Cinta adalah anugerah yang Allah berikan pada hambaNya. Cinta terindah adalah cinta antara 2 insan (laki-laki dan perempuan) yang membawanya semakin dekat pada illahi. Tiada cinta yang indah melainkan cinta suci nan halal yang diperoleh dengan jalan yang diridhoi Rabb Semesta Alam.
Ya Allah jatuhkanlah hatiku agar mencintai seseorang yang membawaku semakin mencintaiMu. Dekatkanlah hatiku pada hati yang jua mencintaiMu sehingga semakin luas pengetahuanku, semakin kokoh agamaku, dan semakin bertambah cahaya imanku. Ya Allah, biarkanlah cintaku berlabuh pada seorang yang membawaku semakin dekat denganMu. Tatkala aku memandangnya menemukan kesejukan pikirku. Tatkala akau mendengarkan tutur katanya, semakin aku menemukan ketenangan dan bertambah pengetahuanku akan agamaku serta semakin bertambah pula keimananku. Tatkala aku memandang sikapnya, aku teringan akan kematian dan kehidupan kekal abadi di akherat”. Aamiin
(Sajak-Sajak Doa D.N. Halimah, 2018).

Nah, ukhti dan akhi yang mulia, tiada cinta yang mulia melainkan cinta yang diridhoi Allah swt. Cinta yang diridhoi Allah swt akan membawa pada keberkahan hidup di dunia serta kebahagiaan hidup bersama pasangan di dunia dan di akherat. Adapun tauladan cinta sejati adalah kisah cinta sayyidah Khodijah RA dengan Nabi Muhammad SAW. Sungguh kisah cintanya begitu mengharukan dan sangat indah. Perjalanan cintanya penuh dengan pengorbanan, air mata, kebahagiaan, dan keromantisan yang halal. Subhanallah, sungguh indah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dan inilah kisahnya…J
Muhammad bin Abdullah adalah sosok pemuda yang jujur, lemah lembut, adil, dan berakhlak mulia. Muhammad muda ikut ke dalam rombongan niaga Siti Khodijah sebagai pegawai yang menjualkan dagangan Siti Khodijah RA. Sayyidah Khodijah meminta Maesaroh selaku pegawai kepercayaan Siti Khodijah untuk menemani Nabi Muhammad saw berdagang ke negara Syam. Karena terkenal akan kejujurannya, dagangan Nabi Muhammad saw laris bahkan untungnya hingga berlipat-lipat ganda. Sikap Nabi Muhammad tatkala berjualan adalah menceritakan dengan jujur kualitas barang, barang yang baik dikatakan baik, barang yang cacat disampaikan kecacatannya tanpa ditutup-tutupi cacatnya. Dengan demikian pembeli tidak merasa tertipu dan puas akan barang yang dibelinya. Hal inilah yang memikat hati masyarakat untuk membeli dagangannya. Bahkan karena kejujurannya itu, Nabi Muhammad saw dijuluki dengan sebutan Al-Amin.
Semasa melakukan perdagangan dengan Nabi Muhammad saw, Maesaroh mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat ganda. Hal ini lantaran kejujuran dan sikap amanah rosulullah terhadap konsumen yang membeli dagangannya. Bukan hanya itu, Maesaroh juga diperlihatkan akan hal luar biasa selama perjalanannya akan berdagang bersama Nabi Muhammad saw. Bagaimana tidak? Gulungan awan selalu mengiri langkah Nabi Muhammad saw kemanapun beliau melangkah. Gulungan awan tersebut seolah tak ingin Nabi Muhammad saw tersengat panasnya terik sinar matahari.  
Berbagai pengalaman yang menakjubkan yang dialami Maesaroh selama perjalanan bersama Nabi Muhammad saw pun kemudian ia ceritakan kepada Sayyidah Khodijah RA selaku tuannya yang mempercayainya dalam berniaga. Sejak saat itulah, tanda-tanda kemuliaan yang terdapat pada diri Nabi Muhammad hingga gulungan awan mengiringinya itu lantas membuat Sayyidah Khodijah memiliki perasaan kagum tersendiri pada Nabi Muhammad saw. Dari hari ke hari, perasaan kagum yang menyelimuti hati Sayyidah Khodijah pada Nabi Muhammad RA semakin bertambah, terlebih tatkala ia mendapatkan penuturan dari sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Waraqah bin Naufal merupakan sepupu Sayyidah Khadijah yang merupakan pemeluk agama nasrani yang tinggal di Makkah. Waraqah merupakan seorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang kitab suci orang Yahudi dan Nasrani. Waraqah bahkan mampu menulis atau mendokumentasikan kitab injil dalam bahasa Ibrani.
Nama lengkap Waraqah adalah Waraqah bin Naufal bin Assad bin Abd al Uzza bin Qussay Al-Qurashi. Waraqah mengetahui tanda-tanda kenabian Muhammad bin Abdullah dari kitab injil berbahasa arab yang ia baca. Dari pemahamannya terhadap injil, ia meyakini bahwa Muhammad bin Abdullah adalah nabi agung yang ditunggu-tunggu ummat manusia yang akan mengentaskan manusia dari zaman kegelapan (zaman jahiliyah) menuju zaman yang terang benderang penuh dengan cahaya Illahi.
Suatu hari dipagi buta, Sayyidah Khodijah menyempatkan diri berkunjung silaturahim ke rumah Waroqoh bin Naufal. Pada kesempatan tersebut, Waroqoh menuturkan mimpi yang ia alami kepada Sayyidah Khodijah.
Waraqah                      : “Duhai saudariku, tadi malam aku bermimpi yang sangat luar biasa.”
Sayyidah Khodijah     : “Mimpi apa duhai sepupuku?”
Waraqah             : “Aku bermimpi melihat matahari berputar mengelilingi kota Makkah dan kemudian turun ke arah bumi. Matahari itu jatuh tepat di atas rumahmu, Khadijah. Aku melihat betapa agungnya matahari itu hingga membuatku terbangun dan tersadar dari tidurku”.
Sayyidah Khodijah     : “ Lalu apa takwil dari mimpimu itu saudaraku?”
Waraqah              : “Matahari itu melambangkan adanya suatu utusan Allah swt yang terakhir menutup kenabian para nabi. Ia berasal dari kota Makkah. Dan ia akan meminangmu wahai Khadijah. Pemuda tersebut memiliki keagungan dan kemuliaan. Dialah Muhammad bin Abdullah yang kelak akan menjadi utusan Allah swt sebagai Nabi Akhiruz Zaman yang menutup kenabian para nabi”.
            Mendengar penuturan Waraqah bin Naufal yang ahli dalam pemahaman terhadap kitab injil, hati Khadijah bergetar, maka semakin bertambahlah rasa cintanya kepada Nabi Muhammad saw. Pada saat itu Muhammad bin Abdullah (Muhammad muda) belum diangkat menjadi nabi. Oleh karena itu, Waraqoh menuturkan bahwa berdasarkan tanda-tanda yang dimiliki Nabi Muhammad saw menunjukkan bahwa ia kelak akan diangkat sebagai utusan Allah saw. Penjelasan Waraqah telah menguatkan perasaan cinta Sayyidah Khodijah pada diri Nabi Muhammad bin Abdullah, hingga menggerakkan hatinya untuk meminang Muhammad muda agar menjadi suaminya.  
            Suatu hal yang tak wajar untuk pertama kalinya menyalahi tradisi adat di arab yakni seorang wanita meminang seorang laki-laki. Di Makkah umumnya pada saat itu laki-laki lah yang meminang wanita. Namun hal ini berbeda pada diri Sayyidah Khodijah, meskipun pada saat itu banyak lelaki kaya raya, saudagar dan pemuka bangsa Arab yang menaruh hati pada Sayyidah Khodijah, namun pilihan hatinya tetap pada Muhammad bin Abdullah. Sayyidah Khodijah memandang bahwasannya Muhammad muda (Muhammad bin Abdullah) adalah sosok yang memiliki kemuliaan budi pekerti, kebijakan, kejujuran, serta kesolehan yang tidak ia jumpai pada sosok yang lain.  Kehendak Sayyidah Khodijah yang bertentangan dengan tradisi di Arab untuk meminang Muhammad bin Abdullah ini pun awalnya ditentang pihak keluarga, pihak keluarga merasa keberatan bila Sayyidah Khodijah yang meminang Muhammad muda terlebih dahulu. Akan tetapi, gelora cinta yang terus berkobar tak menyurutkan tekad Sayyidah Khodijah untuk meminang sang pujaan hati, Muhammad bin Abdullah.
            Sebagai upaya untuk mewujudkan niatan hatinya, Sayyidah Khodijah meminta bantuan saudarinya yaitu Nafisah binti Munyah untuk mengutarakan maksud hatinya yang hendak meminang Muhammad bin Abdullah sebagai suaminya. Nafisah pun melaksanakan permintaan Khodijah, saudarinya hingga akhirnya ia menjalin kedekatan dengan pihak keluarga Muhammad. Sampai suatu ketika pada suatu kesempatan terjadilah dialog antara Nafisah dan Nabi Muhammad saw.
Nafisah                   : “Wahai Muhammad, gerangan apakah yang membuatmu belum terpikirkan untuk mencari pendamping hidup? Tidakkah engkau menginginkan pendamping hidup?”.
Muhammad          : “Hasrat beristri dan menikah sebenarnya telah ada, namun belum ada kesanggupan bagiku untuk menikah”.
Nafisah                        : “Bagaimana jika ada seseorang yang siap menyediakan nafkah bagimu. Dia adalah sosok wanita yang cantik, berharta, dan berakhlak mulia. Apakah engkau mau menerima pinangannya dan mau menikah dengannya?”.
Muhammad                 : “Mana mungkin ada?”.
Nafisah                        : “Jika ada bagaimana? Apakah engkau mau?”.
Muhammad                 : “Siapakah namanya?”
Nafisah                        : “Khadijah binti Khuwailid
Muhammad                 : “Baiklah, aku bersedia menerima pinangannya dan menikahinya”.
            Tak lama setelah dialog Nafisah yang mengutarakan kehendak maksud Khodijah meminang Muhammad bin Abdullah, Nafisah pulang ke rumah Sayyidah Khodijah. Ia menyampaikan kabar gembira berupa kesediaan Muhammad untuk menerima pinangannya dan menikahinya. Mengetahui kabar gembira yang disampaikan oleh Nafisah, Sayyidah Khodijah lantas meminta pamannya, Umar bin Asad untuk menikahkannya dengan Muhammad bin Abdullah.
            Beginilah cinta suci Sayyidah Khodijah RA, ia mencintai Nabi Muhammad SAW tulus. Ia tak memandang kekayaan lelaki yang dinikahinya. Ya, cinta sejati tak memandang harta melainkan memandang pada akhlak  mulia dan pengetahuan agama. Dan Sayyidah Khodijah menemukan adanya samudra ilmu pengetahuan dan akhlak nan mulia itu terdapat pada diri Nabi Muhammad saw yang waktu itu belum diangkat menjadi nabi. Khodijah lebih memilih Nabi Muhammad saw yang saat itu adalah pemuda miskin, yatim piyatu, hanya seorang pegawainya dibandingkan memilih para saudagar dan pemuka bangsa Arab yang hendak mengawininya. Karena apa? Karena ia melihat adanya kejujuran, kemampuan untuk dipercaya, serta kemuliaan akhlak pada diri Nabi Muhammad saw. Sementara para saudagar kaya raya dan pemuka bangsa Arab yang hendak menikahinya, tiada lain karena adanya faktor kekayaannya (harta Sayyidah Khodijah) yang melimpah. Kecantikan, kekayaan harta (kaya raya) dan kemuliaan Khodijah tersohor di Kota Makkah bahkan hingga ke negeri Syam dan Yaman. Tak heran bila banyak pengusaha yang hendak melamarnya. Namun hati Khodijah meyakini dan teguh bahwa cintanya hanya untuk Nabi Muhammad saw. Cinta sejati tak memandang kecantikan fisik maupun harta karena cinta sejati hanya dapat ditemui pada kemuliaan akhlak dan luasnya pengetahuan agama.
            Adapun selanjutnya, proses pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Siti Khodijah dilaksanakan pada hari Jum’at, yakni bulan sekembalinya Muhammad bin Abdullah dari berniaga di negara Syam. Pada pernikahan Sayyidah Khodijah RA, pamannya Umar bin Asad yang menjadi wali nikahnya. Pada pernikahan Sayyidah Khodijah RA dengan Nabi Muhammad saw, hadir pula sepupunya yakni Waraqah bin Naufal yang menyampaikan khutbah pernikahan dengan fasih dan dilanjut khutbah pernikahan oleh Abu Thalib yang disampaikan dengan lantang sehingga menyita perhatian para hadirin pada acara tersebut.
            Pada acara pernikahan Muhammad dan Sayyidah Khodijah RA, Sayyidah Khodijah RA meminta Waraqah bin Naufal untuk mengumumkan pada para hadirin yang hadir untuk menyaksikan bahwa sejak pernikahan itu, Khadijah menyerahkan jiwa, raga, harta benda, hamba sahaya dan segala yang dimilikinya untuk Muhammad bin Abdullah dan ia berhak untuk membelanjakannya ke manapun yang ia kehendaki. Subhanallah…. J, Maha Suci Allah, sungguh Sayyidah Khodijah adalah sosok yang berhati mulia. Bagaimana tidak, ia merelakan seluruh jiwa, raga, dan harta benda yang dimilikinya untuk perjuangan rosulullah. Bahkan tak hanya itu, ia juga rela mengorbankan harta dan pikirannya untuk perjuangan Rosulullah saw... J Masya Allah …J
            Mendengar apa yang disampaikan Khodijah binti Khuwailid, kemudian Waraqah bin Naufal berdiri diantara sumur Zamzan dan bangunan sebuah makam, lantas dengan suara lantang Waraqah berseru:
“Wahai penduduk tanah Arab, sesungguhnya Khadijah binti Khuwailid menginginkan persaksian kalian semua bahwasannya ia telah menyerahkan kepada Muhammad baik jiwanya, raganya, harta bendanya, hamba sahayanya, dan segala apa yang berada dalam genggaman tangannya. Hal ini diperuntukkan sebagai penghormatan dan pengagungan atas kedudukan Muhammad dan segala bukti atas cintanya yang begitu dalam kepada Muhammad”.
Sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW, Sayyidah Khodijah RA mengirimkan sejumlah uang, unta, domba, pakaian, dan parfum kepada Abu Thalib. Abu Thalib kemudian melangsungkan acara pernikahan keponakannya selama tiga hari yang dihadiri oleh para pemuka dan penduduk tanah Arab. Penduduk Makkah pun bersuka ria penuh kegembiraan dalam menyambut majlis pernikahan dua mempelai yang sangat terpandang.
            Sungguh, begitu dalamnya cinta Khodijah binti Khuwailid kepada baginda Muhammad bin Abdullah. Betapa tidak, ia merelakan segalanya termasuk jiwa, raga, harta, dan segala apa yang dimilikinya untuk suami tercinta. Bagi Sayyidah Khodijah RA, harta tidaklah begitu berarti dalam hidupnya tanpa kehadiran Nabi Muhammad saw sebagai pendamping hidupnya. Sebab, jika cinta Khodijah binti Khuwailid terletak pada hata dan kekuasaan, tentu saja Sayyidah Khodijah RA tidak memilih Nabi Muhammad saw sebagai pendamping hidupnya melainkan saudagar kaya raya atau pemuka bangsa Arab yang memiliki harta berlimpah ruah. Akan tetapi Sayyidah Khodijah pada kenyataaanya leboh memilih Nabi Muhammad saw karena kemuliaan akhlaknya yang akan menjadi imamnya, menuntunnya dari dunia hingga akherat. Dari sini kita dapat mengambil hikmah bahwasannya cinta Sayyidah Khodijah kepada Nabi Muhammad adalah suci tanpa dilandasi hawa nafsu dan keinginan syahwati.            
Beberapa hal yang dapat kita petik hikmahnya dari kisah cinta suci Khadijah binti Khuwailid dengan Rosulullah saw adalah:
  1. Cintailah seseorang karena luasnya pengetahuan (ilmu) dan kemuliaan akhlaknya (kejujuran, kebijaksanaan, kelembutan tutur kata, ketegasan, keadilan dalam memutuskan perkara, dan budi perekerti mulia lainnya).
Lelaki yang berilmu dan berakhlak mulia, apabila ia mencintaimu ia akan memuliakanmu dan membahagiakanmu laksana Pangeran memberlakukan Sang Putri…
Sebaliknya bila lelaki berilmu dan berakhlak mulia itu tak mencintaimu, ia tak akan menyakiti perasaan dan fisikmu. Perkataannya dijaga agar tak menyakiti perasaanmu, sikapnya dipelihara agar senantiasa menyejukkan pikir dan hatimu.
  1. Jadilah pemuda yang jujur, apa adanya, dapat dipercaya (amanah) sebagaimana telah dicontohkan pada diri Rosulullah saw yang jujur hingga dijuluki dengan sebutan Al-Amin.
  2. Surga wanita terletak pada ridho orangtuanya sebelum menikah, sementara surga wanita terletak pada ridho suaminya tatkala sudah menikah. Sebagai wujud cinta dan baktimu pada suamimu, relakanlah dan korbankanlah seluruh jiwa, raga, harta benda yang kau miliki untuk suamimu selama digunakan untuk kebaikan sebagaimana Sayyidah Khodijah RA yang merelakan seluruh jiwa, raganya, hamba sahayanya, dan seluruh harta benda yang dimilikinya untuk Nabi Muhammad saw sebagai wujud begitu dalamnya cintanya pada Nabi Muhammad saw.
  3. Bukti dari cinta suci adalah pernikahan dan bukti bakti istri pada suami adalah ketaatan dan pengorbanan termasuk jua merelakan seluruh jiwa, raga, harta benda bahkan mengorbankan pikiran untuk suami tercinta.                                             
***** SEMOGA BERMANFAAT DAN MENGINSPIRASI *****

Tidak ada komentar :