HALIMAH BINTI MASDARI

Sabtu, 03 Januari 2015

KETIKA AIDA BERDALIH


KETIKA AIDA BERDALIH DENGAN INDAHNYA                 

Inilah sebuar cerita tentang kisah cinta seorang wanita yang introvert. Dia lebih memilih memendam perasaanya dibandingkan mengungkapkan perasaannya. Dua bersahabat itu bernama Fatimah dan Asriana. Mereka sama-sama pemalu masalah cinta, dan lebih memilih menyembunyikan rasa cintanya. Fatimah mencintai Habib dan Asriana mencintai Hendra. Amalia adalah gadis yang jua mencintai Hendra. Bertolak dengan Asriana...Amalia sosok gads yang pemberani, dan frontal bahakan tak punya malu. Bagaimana tidak, didepan umum dalam suatu acara, sempatnya ia menggandeng tangan Hendra layaknya lem dan perangko. Hendra juga sama saja, bukankah rasa cintanya terpaut pada Asrina melainkan mudah tergoyah oleh Amalia.
Pemandangan itu, serontak membuat Asriana kesal. Bagaimana tidak?...bagaikan melihat adegan korea yang romantis. Gregetan rasanya melihat Amalia. “Kau ini plin-plan Hendra.., denganku kau teramat baik, bahkan dari tingkah lakumu semua menggambarkan rasa cinta, kau tak mengerti perasaanku. Kau mencintaiku, tapi kau menyakitiku, entah itu caramu untuk melihat kecemburuanku atau bagaimana, seharusnya kau memberi kepastian dan tak mengambanga pada dua wanita. Kemarin sikapmu teramat manis, bahkan dari sekian banyak orang, aku yang selalu bersamamu, kau bahkan mau menceritakan rahasiamu denganku, mengapa kau tak mengerti perasaanku”.
Tak jauh berbeda dengan Asriana, kisah cinta Fatimahpun sama. Ia sosok yang religius maka tak heran yang ia kagumi pun religius. Hatinya tersontak bagaikan gunung api yag hendak meledak...ditahannya emosi itu. Masih terngiang ditelinganya tentang petuah abah “ Nduk, orang yang kuat bukanlah orang yang kaya, bukan orang yang berotot ataupun lainnya melainkan mereka yang mampu menahan emosinya”. Perlahan demi perlahan air mata itu membanjiri pipinya saat mengetahui Habib mendaki gunung berdua dengan Vani. Tak hanya itu ia juga sering melihat Habib sering tertawa mesra dengan wanita, bercanda tawa mesra sambl merayu dan menggoda dengan wanita. Sungguh hatinya terasa teriris...Bagaimana tidak, orang yang dicintainya diam-diam ternyata suka menggoda wanita. Inilah doanya dalam pinta dan tangisnya...
Duhai kekasih
Duhai Rabb...
Kutahu, kau lebih tahu yang terbaik untukku
Tuhan...
Bukankah dalam sejarah Nabi maupun Ulama ataupun Lelaki soleh terdahulu
Tiada ia melakukan perayuan atau menggoda bahkan bercanda mesra dengan wanita
Bahkan melihat wanitapun tertunduk malu, karena begitu teguh menjaga pandangannya
Mengapa dia??
Mengapa dia??
Menatap wanita tiada rasa sungkannya
Apakah kecantikan telah menggoyahkan imannya
Ataukah kemewahan dunia telah menyilaukan matanya
Mengapa dia...dia yang kau  perlihatkan padaku saat awal bertemu
Sebagai sosok yang mengenal agama
Sebagai sosok yang paham agama
Tertawa dengan lepasnya
Bukankah tiada dalilmu yang mengatakan
“Bahwa tertawa adalah ibadah...melainkan senyum adalah ibadah”
Mengapa ia terbiasa bercanda dan merayu wanita
Duhai Rabbku???
Jika ia baik mengapa yang terlihat buruk
Jika menjaga pandangan mata kau wajibkan
Mengapa ia kau biarkan melepaskannya
Tuhan...padamu aku mengadu
Tentang secuil perasaan hati
Momentum saat melihat kejadian itu
Hatiku serasa pecah berkeping-keping
Agama bukanlah simbol nak...
Bukan pada pakaian, bukan pada jubah yang kau kenakan
Agama adalah pegangan
Dimana disinilah persatuan
Antara ilmu, akhlak, dan amalan menyatu berpadu menjadi satu
Ilmu bukanlah peralihan yang waktunya temporer atau sejenak
Ilmu butuh proses, butuh peresapan dan pemahaman
Akhlak adalah kebiasaan yang tertanam sejak dini
Yang kau lihat bukan dia...bukan dia
Bukankah tak ada perintah “tirulah dia” dalam Al Kitab yang kau percaya
Tirulah dia...tirulah dia, suri tauladan yang mulia
Beliaulah yang patut kau contoh...Baginda Sayyidina Muhammad
Jika ia keliru, mungkin saja khilaf...doakan ia nak, doakanlah
Agar hatinya kembali terbuka
Teringan akan ayat-ayat dan perintah syariat yang sepatutnya
Maafkanlah...
Bukankah dia bukan milikmu, dia milik Sang Kholiq...
Yakinalah...
Apapun yang Tuhan berikan adalah yang terbaik untukmu
Bersyukurlah dalam sesulit keadaan dan sesedih situasi
Tersenyumlah bukankah malam kan berganti siang
Kesedihanmu in syaallah Allah gantikan dengan kebahagiaan.
Ridhokan dia...lepaskan dia...
Tuhan berbisik...
“Biarlah Aku yang mengatur, aku lebih tahu darimu”
Dalam lautan air mata
Hati ini begitu teguh, bukan kata manusia yang kuikuti
Rhido Tuhanku jauh lebih berarti
Bukan hujatan yang aku khawatirkan
Tapi murka Tuhanku yang aku takuti
            Kembali Fatimah terdiam, hatinya terpaku membuku, isak tangisnya mengikuti rona wajahnya, maka Sang adik Aina-pun mendekat.
“Duhai kakaku tercinta, gerangan apa yang membuat matamu sayup nan hatimu bersedih?”
“Hati ini perih kala melihat dia merayu banyak wanita dan bercanda mesra pada wanita”
“Kau tahu saudariku inilah pesannya:
Kala cinta telah membabi buta
Tak sadar sang tuan dimabuk asmara
Jernih jiwa, akal sehatnya, hilang entah kemana
Terkadang cinta telah memperbudak dirimu
Bukankah cinta Tuhanmu jauh lebih tinggi kedudukannya
Dari mencintai seorang dia yang kau puja-puja
Kembalilah duhai akal sehatmu
Lupakan saja dia, ikhlaskan dengan wanita pujaannya
Cinta Tuhamu jauh lebih bermana
Kasih Tuhanmu jau lebih berarti
Tinggalkan cinta-cinta yang tak ada duanya
Pergilah dengan cinta yang sejatnya
Jernihkan pikirmu, niatkan langkahmu
Hanya beribadah, mengabdi padaNya”.
“Kau tahu duhai saudariku...mencintai Tuhan jauh lebih bermakna daripada hanya sekedar mencintai dia yang melukaimu. Kau tahu duhai saudaraiku...bukankah mencinta ada dasarnya,atas dasar tampankah, atas dasar kayakah,  atas dasar nasab, atau atas dasar agama engkau mencintai dia,” lanjut Aina.
“Aku mencintainya karena agama...pertama bertemu ia pelihatkan dirinya sebagai sosok yang alim, mengerti agama dan paham agama. Jika Tuhan memerintahkan untuk mencintai-nya, mengapaIa jua menciptakan fitrah cinta duhai saudariku?”, tanya Fatimah.
“Tuhan memberimu fitrah cinta kepada manusia karena Tuhan begitu baiknya. Memberimu bahagia dengan perintah menyempurnakan agamanya. Ia bukanlah yang egois dan senantasa otoriter memintamu mencintaiNya saja, melainkan ia memerintahkan untuk mencintaiNya datas segalanya dan kau boleh mencintai yang lain selama itu berada dibawahNya. Bayangkan saudariku...jika Tuhan Maha Indah, mengapa engkau mencintai yang keindahannya berada di bawahnya,” jawab Aina. “Oh ya...katamu, engkau mencintainya karena agama. Bagaimana ia agamanya bagus jika ia tak mampu menjaga pandangannya. Jangan salah menilai saudariku...kata guruku “terkadang di akhir zaman, seorang berpakaian besar, berbusana muslim...berbicara agama langsung dikiranya sebagai ustads dan ustadzah. Padahal sejatinya memahami agama bukanlah persoalan mudah...untuk belajar nahwu, sorof, dan tafsirnya beserta ilmu yang lainnya butuh pemahaman bertahun-tahun. Tak hanya singkat, kau tahu salah kharokat maknanya bisa berubah besar...yang seharusnya menyembah Tuhan bisa menjadi menyembah matahari hanya karena kurang tasdid. Kau jangan melihat karena penampilannya...berpakaian besar memang hukumnya baik dan wajib, wanita siapapun wajib demikian untuk menjaga kehormatannya. Agama bukan simbol melainkan suatu pegangan dan keyakinan. Ilmu tanpa guru...jika hanya berguru pada buku, bagaimana pertanggung jawabnnya di akhrat. Ya... aku tahu, semua terjadi atas izin Allah...orang baik belum tentu masuk surga dan orang buruk belum tentu masuk neraka, semua suka-suka Allah. Tetapi bukankah kita hidup ada aturannya. Kau tahu aturannya syari’at. Ibarat kata...jika kau sekolah, bukankah kau harus patuh pada aturan sekolah. Demikian halnya ketika kau meyakini agama, maka kau harus patuh pada syari’at agama. Kau tahu...duhai saudariku, untuk belajar membaca al fathehah saja yang benar mahroj-nya, kami perlu belajar bertahun-tahun. Bagaiaman yang belajar sebentar bisa mengajar?...mengajar itu butuh pegangan, bagaimana pertanggungjawabanmu terhadap Tuhanmu, ketika kau diprotes “Bagaimana kau mengajarkan pada banyak orang, mengajarkan pada kesalahan...bukan hanya pada satu kepala tapi berpuluh-puluh kepala hingga beratus-ratus kepala”. Menyampaikan ilmu memang wajib, ketika kita sudah tahu ilmunya dengan benar bukan asal-asalan. Bergurulah sampai kau benar-benar bisa, keika kau bisa ajarkanlah sebagai dakwah. Jangan kau mengajarkan sementara kau belum tahu ilmunya dengan benar,” papar Aida panjang lebar.
‘Terimakasih saudariku, kita adalah sahabat, saling menyirami dan saling menguatkan masalah agama. Sakitmu adalah sakitku jua dan sakitku adalah sakitmu jua. Benar katamu, kita tak pantas menilai seseorang dari luarnya...bukankah kacang terkadang kulitnya bagus, namun isinya kopong, terkadang kulitnya buruk, isinya bagus. Demian pula manusia, kita tak bisa menilai dari tampilan luarnya, untuk mengetahui jatidirinya, perlu menyelam mengarungi kehidupannya. Bukan kata orang yang didengar melainkan kebenaran yang dicari. Kata orang belum tentu benar adanya, perlu diselidiki agar tak terjadi fitnah. Kau benar saudariku...dalam sejarahpun, tiada nabi ataupun ulama yang tergoyah oleh wanita, is elalu menjaga pandangannya. Pemuda yang baik, yang taat perintah Tuhan dan rosulnya. Mak untuk memantaskan diri, bukankah kita juga memperbaiki akhlak kita dan memperluas wawasan kita tentang ilmu duniawi dan ukhrawi. Yakinlah apapun yang Tuhan berikan pasti yang terbaik, tiada satupun yang sia-sia melainkan terkandung hikmah yang besar di dalamnya,” ucap Fatimah dengan lembut sembari tersenyum mengusap air mata dipipinya.

*****SEMOGA BERMANFAAT*****    


1 komentar :

Iimaja mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.