HALIMAH BINTI MASDARI

Jumat, 01 September 2017

TAFSIR AL-QUR'AN QS.AL-ANBIYA 41-45 (BESERTA PENJELASANNYA)

TAFSIR QUR’AN
*****
QS. AL-ANBIYA 41-50
***** 
KETIKA KESOMBONGAN BERTASBIH, KEHANCURAN MENANTI                 
*****

Duhai kaum muslimin muslimat yang dirahmati Allah SWT…J                    
Salah satu penyakit hati adalah sombong. Duhai insan yang mulia, sebagai makhluk sudah selayaknya kita bersikap rendah hati (tawadhu’) dan janganlah engkau bersikap sombong, sebab sombong adalah pakaian Tuhan (hanya Allahlah yang berhak sombong). Janganlah engkau berlaku sombong dan mencaci maki makhluk Allah yang lain, sebab Allah tidaklah mencintai hamba yang sombong. Perlu engkau ketahui bahwasannya sombong akan mendatangkan kebencian dan perseteruan. Bahkan dengan adanya sikap sombong yang diiringi dengan sikap ujub (membanggakan diri), dapat menjadikan Allah murka sehingga menimpakan ahzab kehancuran/ malapetaka pada kaum yang sombong. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Anbiya ayat 41:
وَلَقَدِ ٱسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِٱلَّذِينَ سَخِرُوا۟ مِنْهُم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa orang rasul sebelum kamu, maka turunlah (kepada orang yang mencemohkan rasul-rasul itu) azab yang selalu mereka perolok-olokkan. (Al-Anbiya 21:41)
Berdasarkan ayat tersebut (QS. Al-Anbiya ayat 41) menunjukkan bahwasannya beberapa rosul sebelum Nabi Muhammad SAW telah diperolok-olokkan oleh kaumnya ketika berdakwah mengajak pada yang haq (kebenaran) dan meninggalkan yang batil (kemaksiyatan). Mereka menantang Nabi agar Allah segera mendatangkan ahzabnya karena mereka tidak percaya akan adanya ahzab Allah SWT yang disampaikan oleh para nabi. Karena kesombongan kaum yang durhaka pada nabi-nabi terdahulu, maka Allah timpakan ahzab atas mereka.                              
Sebagaimana kaum Madyan (kaum Nabi Syu’aib AS) yang mendapatkan ahzab karena tidak jujur dalam berniaga, mereka berasumsi bahwa mengurangi timbangan adalah bentuk kelihaian dan kepandaian dalam berdagang. Nabi Syu’aib AS mengingatkan mereka agar senantiasa jujur dan adil dalam melakukan timbangan, tetapi mereka menentang Nabi Syu’aib AS. Maka Allah SWT turunkan ahzab pada kaum Madyan berupa petir (suara) yang menggelegar dan merekapun (kaum Madyan) binasa dengan bergelimpangan dalam rumahnya. Contoh lain adalah kaum Nabi Nuh AS yang dibinasakan oleh Allah SWT karena kedurhakaannya pada Allah dan Nabi Nuh AS. Saat Nabi Nuh AS mengajak kaumnya untuk menyembah Allah SWT dan tidak menyembah berhala, pemuda-pemuda kaum kafir menentang Nabi Nuh AS dan memperolok-olokkan Nabi Nuh AS. Maka Allah SWT turunkan Ahzab berupa banjir bandang yang melampaui gunung hingga kaum kafir nabi Nuh AS binasa semua termasuk Kan’an (putra Nabi Nuh) jua binasa karena kedurhakaannya pada Allah SWT dan ayahnya (Nabi Nuh AS).
Selain itu, jua bisa kita tengok pada kaum Saba’ yaitu kaumnya Nabi Sulaiman AS. Kaum Saba’ terkenal dengan kelihaiannya dalam bidang penghijauan termasuk mereka sudah menerapkan sistem irigasi untuk pertaniannya, kawasannya subur dan penduduknya makmur. Namun ada hal buruk dari mereka, kaum Saba’ menyembah matahari selain Allah, sebelum mengikuti Nabi Sulaiman AS. Pada kaum Saba’ yang dzalim (kafir), Allah timpakan bencana berupa banjir arim atau “Sail Al Arim” yang menghancurkan lahan pertanian kaum Saba’ (yang merupakan sumber pendapatan kaum Saba’) dan jua runtuhnya bendungan untuk irigasi mereka, sehingga lahan pertanian mereka menjadi gersang dan tandus sebab berupa padang pasir.
Di samping itu, Allah SWT jua menurunkan ahzab pada kaum Aad. Kaum Aad adalah kaum Nabi Hud AS. Kaum Aad tersohor dengan kemampuan mereka dalam berteknologi di bidang arsitektur dan teknik sipil. Mereka (kaum Aad) membangun gedung-gedung besar bertingkat yang menjulang tinggi sebagai pertanda kelihaian dan kecerdasan mereka dalam berteknologi. Sayangnya kecerdasan dan keistimewaan yang mereka (kaum Aad) miliki menjadikan mereka berlaku sombong, bengis, dan dzalim, sehingga mereka mengingkari seruan dakwah Nabi Hud AS. Karena kedurhakaannya pada Allah SWT dan Nabi Hud AS, Allah SWT turunkan ahzab (siksa) pada kaum Aad berupa angin kencang (angin putting beliung) yang dingin dan sangat dahsyat selama 7 (tujuh) malam dan 8 (delapan) hari sehingga memporak-porandakan kaum Aad yang ingkar hingga mereka binasa dengan terkubur dalam pasir setebal sekitar 12 meter dari tanah.
Selain itu, renungkanlah ahzab Allah SWT yang ditimpakan pada kaum Tsamut. Kaum Tsamut adalah kaum Nabi Shaleh AS. Kaum Tsamut mengingkari ajakan Nabi Shaleh AS yang mengajaknya untuk hanya menyembah Allah SWT dan meninggalkan maksiyat. Namun kaum Tsamut menentang Nabi Shaleh AS dan memperolok-olokkannya serta menganggapnya gila. Maka atas kedurhakaan mereka (kaum Tsamut itu), Allah binasakan semua kaum Tsamut hingga tak ada yang tersiksa kecuali Nabi Shaleh AS beserta orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Ahzab yang Allah SWT berikan pada kaum Tsamut berupa petir dan halilintar yang menyambar semua kaum Tsamut yang durhaka. Namun ada keanehan yang luar biasa yang menunjukkan “Kekuasaan Allah SWT” yakni Allah SWT membinasakan semua kaum Tsamut yang durhaka dengan bencana, namun Allah SWT membiarkan bangunan-bangunan yang mereka bangun tetap kokoh berdiri tidak hancur bersama kaum Tsamut. Maha Suci Allah, sungguh Dialah Allah yang Maha Menyelamatkan pada siapa saja yang Dia (Allah) kehendaki dan membinasakan pada siapa saja yang Dia (Allah) kehendaki.
Demikian pula dengan kaum kafir Makkah yang memperolok-olok Nabi Muhammad SAW, maka Allah timpakan ahzab pada mereka sebagaimana Allah menimpakan ahzab pada kaum nabi-nabi terdahulu yang durhaka (kaum Aad, kaum saba, kaum madyan, kaum Nabi Nuh, kaum nabi Luth, dan kaum nabi yang lain yang durhaka). Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mentaati segala yang Allah SWT perintahkan dan menjauhi larangan yang Allah SWT perintahkan. Sungguh, ahzab Allah SWT teramat pedih, semoga Allah memberikan hidayah dan pertolongannya pada kita sehingga kita termasuk golongan orang yang selamat. Aamiin.
قُلْ مَن يَكْلَؤُكُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ مِنَ ٱلرَّحْمَٰنِ ۗ بَلْ هُمْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِم مُّعْرِضُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang dapat memelihara kamu di waktu malam dan siang hari dari (azab Allah) Yang Maha Pemurah?" Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari mengingati Tuhan mereka. (Al-Anbiya 21:42)
Ayat tersebut (QS. Al-Anbiya 42) menjelaskan bahwasannya tiada yang dapat menyelamatkan seorang makhluk dari ahzab yang Allah SWT turunkan kecuali hanya Allah. Sesungguhnya Allah SWT menurunkan ahzab pada orang-orang yang dzalim, sombong, lagi bertingkah maksiyat. Maka jangan sekali-kali engkau menyembah pada selain Allah SWT seperti menyembah berhala. Bahkan ketika ahzab Allah diturunkan, berhala yang disembah manusia yang inkar pun turut hancur pada bencana Allah. Hal ini membuktikan bahwa berhala tidak dapat menyelamatkan manusia. Terlebih berhala (seperti patung) yang diciptakan oleh manusia. Mana mungkin Tuhan diciptakan oleh manusia? Seorang yang berfikir (menggunakan akalnya) pasti akan merenung bahwasannya “Tuhan itu yang menciptakan bukan yang diciptakan”, sehingga ia tidak mau menyembah berhala yang notabennya dibuat oleh manusia (makhluk). Maha Suci Allah, Dialah Dzat yang Maha Menciptakan, Maha Menghidupkan lagi Maha Mematikan.                 

أَمْ لَهُمْ ءَالِهَةٌ تَمْنَعُهُم مِّن دُونِنَا ۚ لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَ أَنفُسِهِمْ وَلَا هُم مِّنَّا يُصْحَبُونَ
Atau adakah mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara mereka dari (azab) Kami. Tuhan-tuhan itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami itu? (Al-Anbiya 21:43)
Berdasarkan QS. Al Anbiya ayat 43 menunjukkan bahwa Tuhan-Tuhan yang disembah selain Allah (seperti berhala, patung) itu tidak dapat menolong manusia yang menyembahnya dari ahzab (bencana) yang Allah SWT timpakan pada mereka atas kedurhakaannya. Duhai insan yang sempurna, diciptakan dengan akal. Gunakanlah akalmu untuk merenung, mana mungkin Tuhan jua hancur saat bencana ada? Bukankah Tuhan seharusnya yang bisa menyelamatkan hambanya dari bencana?. Sungguh suatu kebodohan yang teramat nyata bila engkau menyembah berhala. Sebab saat banjir bandang, patung pun turut hancur. Saat Angin topan, patung pun turut hancur. Saat malapetaka datang, tidak sedikitpun berhala dapat menyelamatkanmu. Maha Suci Allah, Dialah Rabb Semesta Alam. Tiada Tuhan kecuali Allah, Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.

بَلْ مَتَّعْنَا هَٰٓؤُلَآءِ وَءَابَآءَهُمْ حَتَّىٰ طَالَ عَلَيْهِمُ ٱلْعُمُرُ ۗ أَفَلَا يَرَوْنَ أَنَّا نَأْتِى ٱلْأَرْضَ نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَآ ۚ أَفَهُمُ ٱلْغَٰلِبُونَ
Sebenarnya Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan (hidup di dunia) hingga panjanglah umur mereka. Maka apakah mereka tidak melihat bahwasanya Kami mendatangi negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka apakah mereka yang menang? (Al-Anbiya 21:44)
Ayat QS. Al Anbiya ayat 44 menunjukkan bahwasannya dengan kemurahanNya, Allah SWT memberikan anugerahnya berupa kenikmatan dunia dan umur panjang pada bapak-bapak mereka dan mereka, namun sayangnya mereka (yang dianugerahkan kenikmatan dunia) lalai akan kenikmatan yang Allah berikan dan mereka mengingkarinya serta durhaka pada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Negeri yang mayoritas pendudukkanya kafir itu dianugerahi tanah yang luas, namun karena kedurhakaannya, Allah kurangi luas negerinya melalui penaklukan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Sohabat. Lalu apakah mereka mengira bahwa mereka akan menang?. Tidak, kemenangan Allah anugerahkan pada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan kaum muslimin yang beriman. Demikianlah cara Allah SWT mengurangi luas tanah yang dimiliki kaum kafir, yakni melalui penaklukan atas orang-orang muslim.

قُلْ إِنَّمَآ أُنذِرُكُم بِٱلْوَحْىِ ۚ وَلَا يَسْمَعُ ٱلصُّمُّ ٱلدُّعَآءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ
Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (Al-Anbiya 21:45)  
Ayat tersebut (QS. Al Anbiya 45) mengkaji bahwasannya Nabi Muhammad SAW adalah seorang utusan yang tugasnya menyampaikan wahyu yang ia terima untuk disampaikan pada ummatnya. Wahyu itu dari Allah SWT, bukan dari diri Nabi Muhammad SAW. Dikarenakan kaum kafir Makah tidak mengindahkan seruan ajakan dari Nabi Muhammad SAW, maka mereka disamakan dengan orang-orang yang tuli (orang yang tidak mendengarkan peringatan-peringatan yang Rosulullah SAW sampaikan).
*****
Kaum muslimin-muslimat yang dirahmati Allah SWT…J
Berdasarkan penjelasan tafsir QS. Al Anbiya ayat 41-45 di atas memberikan hikmah pada kita agar kita senantiasa bersikap rendah hati, tidak menyombongkan diri dan senantiasa taat pada perintah Allah SAW serta menjauhi segala larangan Allah SWT. Janganlah kita mendurhakai peringatan yang disampaikan oleh utusan Allah (Nabi Muhammad SAW) sehingga mendatangkan murkanya Allah SWT yang mengakibatkan Allah SWT menurunkan ahzabnya (siksanya) pada kaum yang durhaka. Begitu banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kisah-kisah ummat terdahulu yang binasa karena mendurhakai para utusan Allah SWT seperti kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Luth, kaum Madyan, dan kaum nabi lainnya yang mendurhakai Nabi. Sungguh, janganlah kita berlaku sombong, sebab tatkala kesombongan bertasbih maka kehancuranpun menanti. Allah tidak menyukai hamba yang sombong. Dan janganlah kita berpura-pura tuli (tidak mengindahkan ajakan/ seruan para Rosul).  
*****
UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagai rasa takdim penulis, penulis ucapkan terimakasih pada Abah KH. Muharor Ali selaku pengasuh PP. Khozinatul Ulum sekaligus guru yang mengampu dalam kajian kitab Tafsir Qur’an. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmadNya kepada beliau, memberikan nikmat panjang umur, melimpahkan rizkinya, dan memuliakannya sebagai golongan orang-orang beruntung. Semoga Allah swt senantiasa memuliakan para guru penulis, memberikan rahmad dan kasihNya sebab melalui perantara gurulah seorang murid dapat memahami suatu ilmu hingga dapat mengamalkannya. Mohon doanya semoga penulis senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya, dapat bermanfaat di sepanjang hayatnya, dan dapat memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan semoga akhir hayat kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.                  
   Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare. Semoga dengan membagikan tulisan ini dapat menjadi amal jariyah penulis jua guru penulis serta orang yang membagikan tulisan ini. Mohon doanya semoga penulis mendapatkan ilmu yang berkah dan senantiasa bermanfaat, serta menjadi santri yang berhasil dalam menimba ilmu serta tawadhu’. Tulisan ini tidaklah sempurna, sebab penulispun jua manusia yang tak luput dari dosa. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulis pertimbangkan pada penulisan selanjutnya. Saran dan kritik: WA 085725784395/ email. halimahundip@gmail.com. Semoga bermanfaat.  
Tiada yang lebih utama dari sebuah ilmu yakni ilmu yang diamalkan dan dibagikan pada kaum muslimin lainnya. Maka atas setiap ilmu yang kau dapatkan, ajarkan pula pada yang lainnya sebagai jalan dakwahmu akan kebaikan sembari engkau amalkan.   

REFERENSI:   
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahali. Tafsir Qur’anul Adhim. Bab 2. Lil Imam Abi Abdullah bin Hazem. Surat Al Anbiya ayat 41-45. Halaman 31.                                    

   













Kamis, 24 Agustus 2017

KEUTAMAAN MEMBACA AYAT KURSI PART III

KEUTAMAAN MEMBACA AYAT KURSI
*****
PART III
*****
Diambil dari Kajian Kitab Khozinatul Asror Hal 127-128
*****



            Keutamaan selanjutnya apabila engkau membaca ayat kursi adalah:
1.      Ayat kursi merupakan lebih mulia-mulianya ayat di dalam Al Qur’an.
2.      Apabila engkau membaca ayat kursi, maka engkau akan turut serta mendapatkan keagungan dari ayat kursi.
3.      Barangsiapa menjaga keistiqomahan membaca ayat kursi sebanyak 50 kali atau 170 kali, maka orang yang membaca tersebut akan mendapatkan 2 kemuliaan yakni kemuliaan di sisi Allah swt dan kemuliaan di sisi manusia.
4.  Barangsiapa membaca ayat kursi, maka ia dapat lebih unggul daripada yang lainnya atas berkahnya ayat kursi.
5.      Barangsiapa membaca ayat kursi, maka ia akan mendapatkan keluhuran dan kedudukan diantara kaum baik diantara kaum laki-laki maupun kaum perempuan.
6.      Puncak tertinggi ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi.
7.    Barangsiapa membaca ayat kursi, maka Allah swt akan memudahkan segala urusannya baik urusannya ketika di dunia maupun di akherat.
8.      Barangsiapa membaca ayat kursi sebanyak 50 kali atau 170 kali secara istiqomah setiap hari, maka Allah swt akan membukakan 8 pintu surga dan engkau boleh memasuki pintu surga manapun yang engkau kehendaki.
9.   Barangsiapa membaca ayat kursi, maka ia akan mendapatkan keberkahan dari membaca ayat kursi sehingga ia merasa kecukupan.
*****
Duhai kaum muslimin yang dirahmati Alah swt…J
            Sebelum penulis memaparkan tentang keutamaan membaca ayat kursi, izinkanlah penulis menuangkan beberapa pesan pada sekalian pembaca yang budiman. Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT, sebelum engkau mengamalkan segala sesuatu, yang pertama engkau lakukan adalah meluruskan niat “lilahi ta’ala” yakni meluruskan niat semata-mata hanya untuk mencari ridho Allah SWT. Sebagaimana ketika engkau lapar, maka engkau lantas memakan nasi dan engkaupun kenyang. Perlu engkau ketahui bahwasannya yang membuatmu merasa kenyang adalah Tuhan (Rabb Semesta Alam), sedangkan nasi yang engkau makan adalah perantara yang menjadikanmu kenyang. Sebagaimana engkau ketika bepergian ke suatu tempat menggunakan motor. Yang menjadikanmu sampai ke tempat tujuan dengan selamat pada hakekatnya adalah Allah SWT, sedangkan motormu adalah alatnya. Demikian pula ayat kursi, ayat kursi adalah alat sedangkan yang memberimu keberkahan, kemuliaan, dan kedudukan adalah Allah SWT.
Jadi sekali lagi, membaca ayat kursi hanyalah perantara, jangan sampai engkau salah pemahaman bahwa “ayat kursilah yang membuatmu memperoleh kedudukan dan keluhuran”. Demi Rabb Semesta Alam, sesungguhnya Allah-lah yang memberikan kedudukan dan keluhuran pada hambanya, membaca ayat kursi hanyalah perantaranya. Maka dari itu, luruskanlah niat, sebab ternilainya semua amal berawal dari niatnya. Niatkan segala sesuatu untuk semata-mata mencari ridho Allah swt dan untuk menghilangi kebodohan, dengan menghilangi kebodohan maka akan membawa kemajuan pada islam.
Baiklah, karena sedari awal sudah penulis jelaskan tentang pentingnya meluruskan niat. Oleh karena itu, dengan memuji Rabb Semesra Alam, tiada Tuhan yang berhak di sembah kecuali hanya Dia, perkenankanlah penulis untuk mengulas kajian selanjutnya pada kitab Khozinatul Asror. Sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya di artikel “Keutamaan Membaca Ayat Kursi”, sesungguhnya ayat kursi memiliki beberapa keutamaan. Melanjutkan halaman kemarin, yakni kajian dari kitab Khozinatul Asror halaman 127-128. Ayat kursi merupakan pimpinan ayat dalam ayat suci Al-Qur’an. Pada Bab ini akan dijelaskan bahwasanya keutaman membaca ayat kursi adalah memperoleh kedudukan, keluhuran, dibukakan 8 pintu surga dan memperoleh keberkahan.  
Kaum muslimin-muslimat yang dirahmati Allah swt, mengapa engkau sangat dianjurkan untuk membaca ayat kursi?. Itu tiada lain karena  ayat kursi merupakan lebih mulia-mulianya ayat di dalam Al Qur’an. Bila engkau membaca sesuatu yang mulia, maka engkaupun akan turut serta merasakan kemuliaan dari yang engkau baca. Hal ini tak jauh berbeda bila engkau diundang untuk menemani kiahimu ke acara/ hajatan, sehingga  engkau berbaur dengan orang-orang besar nan ngalim. Maka engkaupun turut merasakan kenikmatan hidangan yang disuguhkan untuk kiahimu, saat kiahimu menyantap makanan yang disuguhkan, kaupun jua sama (menyantap makanan yang disuguhkan). Inilah namanya barokahnya memuliakan yang mulia, sehingga engkau turut merasakan kenikmatan itu.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nasir dan Ibnu Abbas RA bahwa Rosulullah SAW berkata “Lebih mulia-mulianya surat di dalam Al Qur’an adalah surat Al Baqoroh. Dan lebih mulia-mulianya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi, sebagaimana termaktub dalam kitab Duril Mansur”.
Abu Dar Al Ghifari RA berkata “Wahai Rosulullah, ayat manakah di dalam al qur’an yang lebih mulia?”. Rosulullah saw menjawab, “Lebih mulia-mulianya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi. Beberapa langit, bumi, dan kursi bagaikan lingkaran yang dilemparkan ke bumi. Dan apabila langit dan bumi itu ditimbang menggunakan neraca dengan ayat kursi, maka ayat kursi lebih berat (dari langit dan bumi) sebagaimana tertera dalam kitab Taisir”.
Ibnu Abbas RA berkata bahwa lebih mulia-mulianya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi sebagaimana termaktub dalam kitab Tafsir Kurtubi.
Duhai insan yang dimuliakan Allah swt, apabila engkau berdzikir dan mengerti keagungan ayat kursi, maka engkaupun akan turut serta mendapatkan keagungan dan kemuliaan sebagaimana mulia dan agungnya ayat kursi yang engkau baca. Tiada perkara yang lebih mulia dan agung dari memuji Rabb Yang Maha Luhur yakni dengan membaca ayat kursi dalam berdzikir. Hal ini disebabkan karena ayat kursi merupakan lebih mulia-mulianya ayat dan lebih agung-agungnya ayat di dalam Al Qur’an sebagaimana termaktub dalam kitab Tafsir Kudsi.
Barangsiapa menjaga keistiqomahan dalam membaca ayat kursi setiap hari sebanyak 50 kali (sebagaimana jumlah kalimah dalam ayat kursi ada 50 kalimat) atau sebanyak 170 kali (sebagaimana jumlah huruf dalam ayat kursi ada 170 huruf), niscaya orang tersebut akan mendapatkan 2 kemuliaan yakni kemuliaan di sisi Allah swy dan kemuliaan di sisi manusia”.
Sesungguhnya keutamaan lain dari membaca ayat kursi yaitu menjadikan orang yang membaca ayat kursi memiliki keunggulan lebih daripada yang lainnya dengan ia menjadi tuan (sayyidat) atau pemimpin sebagaimana termaktub dalam kitab Khowas. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Khoso’isil Qudsi bahwa puncaknya ayat-ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi. Barangsiapa menjaga keistiqomahan dalam membaca ayat kursi sebanyak 50 kali (sebagaimana jumlah kalimah dalam ayat kursi ada 50 kalimat) atau sebanyak 170 kali (sebagaimana jumlah huruf dalam ayat kursi ada 170 huruf), maka orang tersebut akan mendapatkan kedudukan dan keluhuran dan memiliki puncak jabatan (pemimpin) diantara kaum laki-laki dan perempuan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Khoso’is.
Diriwayatkan oleh Ma’kul bin Yasuri bahwa Rosulullah SAW berkata “Al Baqoroh adalah puncaknya surat di dalam Al Qur’an dan ayat kursi adalah puncak tertinggi dari ayat ayat di dalam Al Qur’an”.
Ibnu Sahal dan lainnya dari hadits Sahal bin Sa’ad RA bahwa Rosulullah SAW berkata “Setiap sesuatu memiliki puncak dan puncak dari Al Qur’an adalah surat Al Baqoroh sebagaimana termaktub dalam kitab Itqon”.
Barangsiapa menjaga keistiqomahan dalam membaca ayat kursi, maka Allah swt akan membukakan pintu segala urusannya baik di dunia dan di akherat sebagaimana Allah memenangkan kekasihNya (Rosulullah SAW) dalam perang badar.
Rosulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah swt menciptakan mutiara yang putih dan menciptakan minyak anbar dari mutiara putih, dan menuliskan ayat kursi pada minyak anbar tersebut, dan Allah menciptakan (semua itu) dengan keluhuran dan keagunganNya. Barangsiapa mempelajari (membaca) ayat kursi dan memuliakan ayat kursi secara hak, maka Allah akan membukakan 8 ( delapan) pintu surga dan engkau boleh memasuki pintu manapun yang engkau kehendaki sebagaimana tertera dalam kitab Tafsir Mujirul Ulum”.
Rosulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah swt menciptakan mutiara yang putih dan menciptakan minyak anbar dari mutiara putih, dan menuliskan ayat kursi pada minyak anbar tersebut dengan 2 asma Allah (Ya Hayyu dan Ya Qoyum) dengan keluhuran. Barangsiapa membaca ayat kursi setiap bakda solat, maka akan dibukakan 8 pintu surga dan engkau boleh memasuki pintu manapun yang engkau kehendaki sebagaimana tertera dalam kitab Samsul Ma’arif”.
Barangsiapa menjaga keistiqomahan dalam membaca ayat kursi setiap hari sebanyak 50 kali (sebagaimana jumlah kalimat dalam ayat kursi yakni ada 50 kalimat) atau sebanyak 170 kali (sebagaimana jumlah huruf dalam ayat kursi ada 170 huruf), maka Allah swt akan membukakan pintu rizki, pintu kebagusan, dan pintu kebaikan sebagaimana Allah swt membukakan 8 pintu surga pada orang yang membaca ayat kursi sebagaimana termaktub dalam kitab Tafsir Ayat Kursi.
Diriwayatkan oleh Imam Hasan dan Sam’un dari Aisyah RA bahwasannya ada seorang laki-laki yang datang ke Rosulullah SAW lantas mengadukan permasalahan rumah tangganya yang jauh dari keberkahan (selalu merasa kurang). Rosulullah SAW bertanya: “Apakah kamu membaca ayat kursi?”. Laki-laki tersebut menjawab, “Tidak”. Lalu Rosulullah SAW berakata: “Apabila engkau tidak membaca ayt kursi sebelum makan makanan dan lauk pauk, maka Allah SWT tidak memberikan keberkahan pada makanan dan lauk pauk tersebut sehingga engkau tidak merasa cukup (kenyang). Allah swt memberikan keberkahan pada tiap barang (termasuk makanan dan lauk pauk) yang dibacakan ayat kursi sehingga dengannya engkau merasakan keberkahan dan berkembang/ pertambahan nikmat, sebagaimana termaktub dalam kitab Duril Mansur”.
Ahli Khowas (orang yang dikaruniai keistimewaan) berkata “Hasil ayng berkah dan berkembang itu tiada lain karena engkau membacakan ayat kursi pada makanan tersebut (walau sedikit) atau gandum atau jagung atau beras atau selain makanan tersebut”.
Berdasarkan hadits-hadits di atas yang tertera dalam kitab Khozinatul Asror, dapat diketahui bahwasannya sungguh mulia keutamaan dari membaca Ayat Kursi. Maka hendaklah bagi kaum muslimin terlebih yang sudah mengetahui keutamaan membaca ayat kursi, untuk senantiasa mengamalkan membaca ayat kursi dengan niatan yang lurus bahwasannya segala sesuatu terjadi atas kehendak Alllah SWT melalui perantara salah satunya dengan membaca ayat kursi secara istiqomah setiap hari sebanyak 50 kali atau 170 kali. Semoga dengan menjaga keistiqomahan dalam mengamalkan membaca ayat kursi, Allah swt senantiasa memberikan kemudahan dalam segala urusan kita, keberkahan, kedudukan serta kemuliaan baik kemuliaan di hadapan Allah maupun kemuliaan di hadapan manusia. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.


*****
UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagai rasa takdim penulis, penulis ucapkan terimakasih pada Abah KH. Muharor Ali selaku pengasuh PP. Khozinatul Ulum sekaligus guru yang mengampu dalam kajian kitab Khozinatul Asror. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmadNya kepada beliau, memberikan nikmat panjang umur, melimpahkan rizkinya, dan memuliakannya sebagai golongan orang-orang beruntung. Semoga Allah swt senantiasa memuliakan para guru penulis, memberikan rahmad dan kasihNya sebab melalui perantara gurulah seorang murid dapat memahami suatu ilmu hingga dapat mengamalkannya. Mohon doanya semoga penulis senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya, dapat bermanfaat di sepanjang hayatnya, dan dapat memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan semoga akhir hayat kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.
   Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare. Semoga dengan membagikan tulisan ini dapat menjadi amal jariyah penulis jua guru penulis serta orang yang membagikan tulisan ini. Mohon doanya semoga penulis mendapatkan ilmu yang berkah dan senantiasa bermanfaat, serta menjadi santri yang berhasil dalam menimba ilmu serta tawadhu’. Tulisan ini tidaklah sempurna, sebab penulispun jua manusia yang tak luput dari dosa. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulis pertimbangkan pada penulisan selanjutnya. Saran dan kritik: WA 085725784395/ email. halimahundip@gmail.com. Semoga bermanfaat.  
Tiada yang lebih utama dari sebuah ilmu yakni ilmu yang diamalkan dan dibagikan pada kaum muslimin lainnya. Maka atas setiap ilmu yang kau dapatkan, ajarkan pula pada yang lainnya sebagai jalan dakwahmu akan kebaikan sembari engkau amalkan.   

REFERENSI:     
Syeh Muhammad Haqi An Nadzili. Kitab Khozinatul Asror. Bab Sebab Turunnya Ayat Kursi. Halaman 127-128.                
 


Senin, 21 Agustus 2017

FIQIH SHALAT JUM'AT

            SHALAT JUM’AT          
 *****
           Diambil dari Kajian Kitab Fathul Mu'in
***** 
 
 
          Orang yang pertama kali melakukan/ mendirikan solat jum’at adalah As’ad bin Zuharah. Pertama kali ia melakukan shalat Jum’at di sebuah kampung berdekatan dengan Madinah. Solat Jum’at pertama kali dilakukan pada zaman sebelum hijrah Nabi. Dinamakan solat jum’at karena banyak orang berkumpul untuk melakukan solat pada hari Jum’at. Selain itu, pada hari Jum’at merupakan waktu ketika Nabi Adam AS dan Siti Hawa bertemu pada hari Jum’at, tepatnya di kota Muzdalifah. Muzdalifah di sebut juga dengan Jam’an.
            Yang diwajibkan melakukan solat  Jum’at adalah:
1.      Mukallaf
2.      Laki-laki
3.      Baligh
4.      Berakal Sehat/ waras
5.      Tepat pada waktunya solat Jum’at (waktu dhuhur).
Syarat shah Sholat Jum’at:
1.      Solat Jum’at harus dilakukan secara berjama’ah pada roka’at pertama.
2.      Dikerjakan minimal oleh 40 orang (minimal 1 imam dan 39 makmum), dimana semua orang  (minimal 40 orang) tersebut telah memenuhi persyaratan wajib shalat Jum’at, sekalipun sedang menderita sakit.
3.      Di selenggarakan pada tempat yang masuk wilayah balad (daerah) itu, sekalipun sebuah padang masuk di wilayahnya, dan hendaklah tempat tersebut tidak sejauh diperbolehkannya sholat qosor (kurang lebih 86 km), sekalipun tidak masih bersambungan dengan bangunan.
4.      Di selenggarakan pada waktu dhuhur.
5.      Shalat Jum’at diselenggarkan sesudah dua khutbah, yang keduanya di khutbahkan setelah matahari memasuki langit belahan barat.
Rukun-rukun Khutbah Jum’at:
1.      Puji-pujian terhadap Allah swt.
2.      Sholawat kepada Nabi Muhammad saw
3.      Wasiyat dengan taqwa kepada Allah swt.
4.      Membaca ayat Al Qur’an yang memberi kefahaman pada salah satu dua khutbah.
5.      Do’a ukhrawiy untuk sekalian mukminin.
Syarat-syarat dua khutbah:
1.      Terdengar oleh minimal 40 orang (maksudnya minimal terdengar oleh minimal 39 orang jama’ah selain Khotib).
2.      Dua khutbah harus menggunakan bahasa arab (mengikuti jejak ulama shalaf dan khalaf).
3.      Khotib yang kuasa berdiri harus dengan berdiri.
4.      Suci dari hadats besar dan kecil, juga pakaian, badan dan tempatnya, serta suci dari najis yang tidak dima’fuw.
5.      Menutup aurot.
6.      Duduk diantara dua khutbah dengan tumakninah.
7.      Muwalah di antara dua khutbah.
Sunah-sunah Sholat Jum’at:
1.      Mandi sebelum berangkat sholat jum’at.
2.      Sunah berangkat pagi-pagi ke tempat sholat selain sang Khotib.
3.      Sunah berhias diri dengan pakaian yang bagus. Disunahkan memakai pakaian warna putih.
4.      Sunah memakai serban.
5.      Sunah memakai harum-haruman (minyak wangi non alkohol).
6.      Sunah Inshot (diam dengan penuh perhatian) pada khutbah.
Sunah-sunah di hari Jum’at:
1.      Membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at atau pada malam harinya.
2.      Banyak-banyak membaca sholawat Nabi saw, baik di siang hari atau di malam jum’atnya.
3.      Banyak-banyak berdoa di hari Jum’at sebab hari Jum’at (sayyidul ayam) adalah hari yang ijabah doa untuk dikabulkan.       

PERTANYAAN DAN JAWABAN SEPUTAR SOLAT JUM’AT:
*****  
1.      Bagaimanakah hukumnya bila beberapa mahasiswa (katakanlah misah 4 mahasiswa) sedang seminar atau lomba di Luar Negeri, sedang negara tersebut adalah negara minoritas islam sehingga menjumpai masjidpun jarang dan menjumpai orang muslim pun sulit. Bagaimana bila mereka mendirikan solat jum’at sendiri walaupun kurang dari 40 orang, mengingat solat Jum’at hukumnya wajib bagi laki-laki mukallaf yang sudah baligh?
Jawaban:
Menurut mahdzab Syafi’I solat Jum’at yang mereka kerjakan tidak memenuhi syarat syahnya mendirikan sholat Jum’at sehingga tidak syah sholat jum’atnya. Karena syarat minimal mendirikan solat jum’at adalah minimal 40 orang penduduk asli (bermukim tetap) dalam suatu wilayah/ balad. Namun, menurut pendapat Abu Hanifah RA, menurut beliau sholat Jum’at shah diselenggarakan hanya 4 orang, sekalipun mereka semua hamba sahaya atau orang-orang musafir. Jadi sapat disimpulkan, bila keempat mahasiswa tersebut mengikuti mahdzab Syafi’I, maka tidak syah sholat jum’atnya, tetapi apabila mengikuti pendapat Abu Hanifah RA tetap shah sholatnya. (Sumber: Fathul Mu’in, Bab Jum’at).                     
2.      Bagaimanakah  bila sholat Jum’at, imam sholat/ khotib nya tuli? Apakah solatnya shah?
Jawab:
Shah, karena shalat Jum’at meskipun imamnya tuli, ia masih bisa memahami apa yang ia sampaikan/ katakan sendiri, yang penting 39 jama’ah (makmumnya) tetap bisa mendengar apa yang beliau sampaikan terutama saat khutbah.     
3.      Bagaimanakah bila sholat Jum’at di kampus, semua jama’ahnya yang mayoritas mahasiswa imigran, bukan bermukim tetap di suatu kampung/ tempat sedangkan mahasiswa yang berasal dari wilayah setempat kurang dari 40 orang? Apakah sholat jum’atnya shah?
Jawab:
 Menurut mahdzab Imam Syafi’I, sholat jum’ahnya (shalat mereka) tetap shah TETAPI syarat mendirikannya sholat jum’at tidak shah. Karena sarat wajib mendirikan sholat jum’at minimal ada 40 orang muqim mutawathin (penduduk asli/ yang bermukim tetap) di suatu wilayah. Mahasiswa imigran termasuk ke dalam muqim ghoiru mutawathin (bukan penduduk setempat) karena setelah mereka lulus/ wisuda kembali ke daerah asalnya masing-masing.
4.      Bagaimanakah bila seseorang tidak melakukan sholat Jum’at karena sakit (sudah sakit keras sejak dari rumah, misal: diabetes, patah tulang sehingga di kursi roda, struk, dan penyakit kronis lainnya)? Dan bagaimanakah bila seorang laki-laki mukallaf berbadan sehat, lantas berangkat shalat Jum’at namun begitu tiba di masjid lalu sakit, apakah ia tetap wajib melakukan sholat Jum’at?
Jawab:
Menurut perspektif yang dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in bahwasannya orang sakit (misal: diabetes, patah tulang sehingga di kursi roda, struk, dan penyakit kronis lainnya) yang menyebabkannya tidak bisa datang ke tempat diselenggarakannya sholat Jum’at stelah matahari memasuki belahan langit barat, tidak wajib melakukan shalat Jum’at. BERBEDA dengan orang yang dari rumah sehat, lantas berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at, ternyata sampai masjid sakit, ia tetap wajib melakukan sholat Jum’at.
5.      Bagaimankah bila dalam suatu desa, jumlah laki-lakinya yang baligh, mukallaf, berakal kurang dari 40 orang. Bagaiamanakah cara mendirikan sholat Jum’atnya bila kurang dari 40 orang yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at?
Jawaban:
Sholat jum’at tetap wajib didirikan oleh laki-laki yang mukallaf, baligh, berakal sehat meskipun di tempatnya kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at. Caranya, orang tersebut (yang jumlahnya kurang dari 40 orang) mendatangi tempat yang panggilan jum’ah (adzan sholat jum’atnya) masih dapat di dengar dan turut bergabung sholat jum’at di tempat tersebut.   
6.      Bagaimanakah hukumnya bila sholat Jum’at dipenuhi dengan budak dan anak-anak yang belum baligh sementara jumlah orang mukallaf yang sudah baligh dan berakal sehat kurang dari 40 orang? Apakah sholat mereka shah dan apakah syarat mendirikan sholat  Jum’ahnya juga shah?
Jawaban:
Sholat Jum’ahnya tidak shah dengan dipenuhinya budak dan anak-anak yang belum baligh. Karena syarat mendirikan sholat jum’at itu minimal ada 40 orang yang mukallah, baligh, berakal sehat, dan bermukim tetap sedangkan anak-anak belum baligh. Jadi belum memenuhi syarat. Namun shalat mereka (budak dan anak-anak) tetap shah. Hanya alangkah baiknya mereka (budak dan anak-anak) menunda takbirotul ikrom sampai sesudah takbirnya 40 orang yang shah Jum’ahnya dengan kepenuhan mereka.         
7.      Bagaimanakah hukumnya bila shalat jum’at dilakukan secara munfarid?
Jawaban:
Sholat Jum’at yang sudah cukup bilangannya TIDAK SHAH apabila dikerjakan secara munfarid (sendiri-sendiri = tidak berjama’ah). Terlebih salah satu syarat utama shahnya shalat Jum’at adalah Shalat Jum’ah harus dengan berjama’ah pada rokaat pertama.   
8.      Bagaimanakah bila sholat Jum’at, pada rokaat pertama dilakukan secara berjama’ah lalu pada rokaat kedua sang imam sedang hadats yang menyebabkan rokaat kedua dilakukan secara munfarid (meneruskan sholat sendiri-sendiri secara munfarid), apakah sholat Jum’ahnya tetap shah ataukah batal?
Jawaban:
Sholat Jum’at TETAP SHAH karena yang disyaratkan wajib dilakukan berjama’ah adalah rokaat pertama, sedangkan pada rokaat kedua tidak harus disyaratkan harus berjama’ah. Maka misalkan pada roka’at pertama imam sholat berjama’ah dengan makmum 40 orang, lalu imam hadats, kemudian mereka meneruskan sendiri-sendiri secara munfarid, atau pada roka’at kedua makmum mufaroqoh dengan imam dan meneruskan sendiri-sendiri secara munfarid, sholat jum’ahnya TETAP SHAH.
9.      Bagaimanakah bila pada sholat Jum’at, yang jumlahnya memenuhi syarat mendirikan sholat jum’at ada 40 orang, lantas salah satu dinataranya hadast sebelum sampai semuanya salam, apakah sholat Jum’at nya SHAH?
Jawaban:
Shalat Jum’ahnya batal semua sebab 40 orang itu (khotib dan minimal 39 orang yang memenuhi syarat sholat jum’at) harus tetap ada sampai mereka semuanya bersalam. Sehingga, misalkan apabila Jum’ahan itu hanya diikuti persis 40 orang, kemudian salah seorang diantaranya berhadats sebelum salam sekalipun orang-orang selain dia sudah bersalam, maka batallah sholat Jum’at mereka semua.
10.  Bagaimanakah bila dalam sholat Jum’at yang jumlahnya ada 40 orang yang memenuhi syarat sholat jum’at (mukallaf, baligh, berakal sehat) namun ada satu atau lebih orang yang taqshir/ malas belajar sehingga bacaannya tidak fasih? Apakah sholat jum’ahnya shah?
Jawaban:
Apabila sholat Jum’at yang diselenggarakan hanya genap 40 orang saja yang memenuhi syarat sholat jum’at (mukallaf, baligh, berakal sehat) dan diantara 40 orang tersebut ternyata ada yang taqshir/ malas belajar membaca sehingga bacaaanya tidak fasih, maka sholat Jum’at mereka TIDAK SHAH sebab batal satu berarti bilangan 40 menjadi kurang. Nah maka dari itu, apabila jumlah 40 itu tidak ada taqshir/ malas maka Jum’ah mereka tetap SHAH.        
11.  Bagaimanakah bila khutbah tidak didengar oleh 40 orang (minimal 39 selain khotib)?
Jawaban:
Apabila khutbah tidak didengar oleh 40 orang (khotib dan 39 selain khotib), maka khutbah dianggap belum dikerjakan sebab rukun khutbah harus didengar minimal oleh 40 orang yang memenuhi syarat Jum;at.
12.  Apabila seorang laki-laki mukallaf, baligh, berakal sehat memiliki 2 rumah di dua balad yang berbeda? Bagaimanakah sebaiknya ia memilih untuk mendirikan sholat Jum’at?
Jawaban:
Maka hendaknya laki-laki tersebut yang memiliki dua rumah/ lebih di dua tempat yang berbeda memilih mendirikan shalat Jum’at di tempat yang ia diami bersama keluarganya. Kalau sama-sama ditempatinya, misal di A rumah istri pertama dan di B rumah istri kedua dan seterusnya, maka ia boleh mendirikan sholat pada tempat dimana ia berada pada waktu sholat Jum’at diselenggarakan.
13.  Bagaimanakah hukumnya bila suatu desa berpenduduk mencapai 40 orang yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at (mukallaf, baligh, berakal sehat, bermukim tetap), namun ada seorang atau 2 orang atau lebih justru melakukan sholat jum’at di kota sehingga bilangan 40 itu menjadi berkurang dan tidak dapat  mendirikan sholat jum’at di baladnya sendiri?
Jawaban:
Apabila di suatu desa berpenduduk mencapai genap 40 orang, amka wajib menyelenggarakan sholat Jum’at di desanya sendiri. Menurut pendapat Mu’tamad, HARAM hukumnya jika meniadakan sholat jum’at di desanya dan pergi melakukannya ke lain balad, yang sekalipun mereka masih dapat mendengar panggilan Jum’ahnya dari desa sendiri.    
Ibnu Rif’ah dan lainnya berkata: Sebenarnya ketika 40 orang penduduk suatu desa itu mendengar panggilan sholat Jum’at (Adzan Jum’at) dari kota, mereka boleh memilih menunaikan sholat Jum’at di kota atau menunaikan sholat Jum’at di kampung sendiri. Namun apabila mereka memilih pergi ke kota, mereka tidak dapat menyempurnakan bilangan shahnya shalat Jum’at, sebab berkedudukan sebagai musafir. Dan dengan perginya ia ke kota menjadikannya bilangan 40 di desanya yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at menjadi berkurang dan tidak shah. Sebagai akibatnya, karena kurang dari 40 sebab sholat Jum’atnya beberapa orang yang ke kota, maka penduduk yang memenuhi syarat sholat jum’at wajib menunaikan sholat Jum’at di desa sebelah yang panggilan sholat Jum’atnya dapat mereka dengar.   
14.  Bagaimanakah hendaknya bila dalam suatu tempat diselenggarakan beberapa sholat Jum’at?
Jawaban:
Hendaknya sholat jum’at tidak didahului atau dibarengi takbirotul ikromnya oleh sholat Jum’at lain yang diselenggarakan pada tempat itu.  
15.  Bagaimanakah cara melakukan sholat Jum’at?
Jawaban:
Shalat Jum’at diselenggarakan sesudah dua khutbah yang keduanya dikhutbahkan setelah matahari memasuki langit belahan barat.
16.  Bagaimanakah hukumnya bila suatu desa yang berpenduduk tetap memiliki 40 penduduk yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at (laki-laki, mukallaf, baligh, berakal sehat), namun hanya menunaikan sholat dhuhur dan tidak menunaikan sholat Jum’at. Apakah sholat dhuhurnya SHAH?
Jawaban:
Hukumnya adalah seluruh penduduk desa tersebut dosa karena meninggalkan kewajiban sholat Jum’at. Apabila penduduk suatu desa tidak mengerjakan sholat Jum’at dan hanya mengerjakan sholat dhuhur, maka shalatnya TIDAK SHAH selagi waktu masih mencukupi untuk mengerjakan yang wajib pada dua khutbah dengan shalatnya. Meskipun telah diketahui bahwasannya kebiasaan warga di desa tersebut tidak pernah menyelenggarakan sholat Jum’at.
17.  Bagaimanakah bila dalam khutbah menyebutkan doa`untuk mendoakan para wali, sohabat, muslimin dan muslimat?
Jawaban:
Sunnah mendoakan para wali dan sohabat, termasuk jua mendoakan wali-wali muslimin, angkatan bersenjata muslimin, dengan dimohonkan kemenangan, kemaslahatan, kemenangan, dan berlaku adil.
18.  Bagaimanakah hukumnya bila dalam Jum’atan ada 40 orang persis yang memenuhi syarat didirikannya jum’atan (yakni laki-laki, mukallaf, baligh, dan berakal sehat), namun ada satu makmum yang tuli sehingga yang mampu mendengar hanya 39 (imam dan 38 makmum)?
Jawaban:
Sholat jum’at TIDAK SHAH karena yang mampu mendengar apa yang disampaikan Khotib tidak ada 40 orang. Salah stu syarat shahnya Jum’atan adalah suara Khotib mampu didengar minimal 40 orang yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at termasuk khotib juga (minimal khotib dan 39 jama’ah selain Khotib).
19.  Apakah boleh khutbah disampaikan menggunakan bahasa daerah setempat (bukan menggunakan bahasa arab)?
Jawaban:
Khutbah harus disampaikan menggunakan bahasa arab. NAMUN apabila khotib tidak sempat mempelajari bahasa arabsampai sebelum waktu mendesak, karena dhorurot maka boleh berkhutbah menggunakan bahasa daerah setempat. Kalau ada waktu yang memungkinkannya sempat untuk  belajar, maka hukumnya fardhu kifayah untuk mempelajarinya terlebih dahulu khutbah bahasa arab.
20.  Mengapa khutbah Jum’at diharuskan menggunakan bahasa arab (kecuali dhirurot, khotib tidak sempat mempelajarinya maka diperbolehkan menggunakan bahasa setempat). Padahal kan bila menggunakan bahasa arab, tidak semua jama’ah Jum’at mampu memahami apa yang disampaikan khotib?
Jawaban:
Karena meskipun menggunakan bahasa arab (walaupun jama’ah sholat Jum’at tidak tahu artinya apa yang disampaikan khotib), tetapi jama’ah tahu bahwa apa yang disampaikan oleh khotib adalah nasehat yang berisi wasiyat untuk taqwa pada Allah SWT. (Berdasarkan penjelasan Al Qodli pada kitab Fathul Mu’in).    
21.  Bagaimanakah cara mandi yang sesuai anjuran sunah Jum’ah?
Jawaban:  
Sunah mandi sholat jum’ah yaitu:
a.       Mandi dapat dilakukan sejak mulai terbit fajar hari Jum’ah
b.      Apabila orang yang berpuasa kawatir degan mandi dapat membatalkan puasanya sebab masuknya air ke telinga atau lubang anggota tubuh, maka alangkah baiknyatidak usah mandi Jum’ah.
c.       Mandi yang paling utama adalah mandi yang dikerjakan mendekati waktu berangkat sholat Jum’at.
d.      Kalau sekiranya mandinya antri, dan kawatir telat berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at. Lebih baik mandinya saat fajar atau persiapan sebelum waktu sholat Jum’at dimulai.          
22.  Bagaimanakah sunah cara bepergian ke masjid atau ke tempat diselenggarakannya sholat Jum’at?
Jawaban:
Saat hendak berangkat ke tempat sholat Jum’at, alangkah baiknya disunahkan untuk memilih jalan yang jurusannya lebih jauh, kemudian saat pulang melewati jalan yang lebih dekat. MAKRUH hukumnya waktu pergi sholat Jum’at dengan berlari dan juga ibadah-ibadah yang lainnya, KECUALI jika waktu mendesak dimana bila tidak berlari menyebabkan akan tertinggal ibadah yang hendak dilakukan.
23.  Bagaimanakah sunahnya berhias diri sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at?
Jawaban:
Sunah berhias diris sebelum sholat Jum’at yaitu:
a.       Memakai pakaian yang paling bagus, diutamakan yang berwarna putih.
b.      Makruh memakai pakaian yang dicelupkan sesudah ditenun, sekalipun bukan warna merah.
c.       HARAM (bagi laki-laki) berhias diri menggunakan pakaian sutera sekalipun dengan sutera quss (sutera yang berwarna kelabu).
24.  Bagaimanakah cara memakai sorban bagi lelaki yang hendak jum’atan sesuai sunnah Jum’ah?
Jawaban:
Menurut Ibnul Hajj Al Maliki menjelaskan hendaknya saat memakai sorban dilakukan sambil berdiri dan memakai celana sambil duduk. Menurut Asy-Syaikhon, bagi orang yang memakai sorban, boleh melengkapinya dengan adzbah (sepotong kain yang ditempelkan pada ujung sorban) dan boleh pula tidak. Melengkapinya atau tidak sama-sama tidak makruh.
25.  Mengapa memakai santal hanya sebelah hukumnya makruh?
Jawaban:
Karena dikawatirkan kaki sebelah yang tidak memakai sandal, saat menginjak tanah terkena najis sehingga kondisi badan pun menjadi najis yang mengakibatkan tidak sah sholat karena kondisi badan tidak suci dari najis.
26.  Bagaimanakah cara memotong kuku yang sesuai anjuran sunah jum’ah?
Jawaban:
Sunah memotong kuku di kedua tangan kaki adalah:
a.       Pemotongan kuku sebaiknya dilakukan pada hari Kamis atau pagi hari Jum’atnya.
b.      Cara memotong kuku hitam tangan adalah dimulai dari telunjuk kanan sampai kelingkingnya, kemudian ibu jarinya, lalu kelingking kiri sampai ibu jarinya.
c.       Cara memotong kuku hitam kaki adalah dimulai dari kelingking kanan kaki hingga kelingking kiri kaki dengan urut.
d.      Sebaiknya setelah kuku dipotong, segera dicuci hingga bersih.
27.  Bagaimanakah cara memotong kumis yang sesuai anjuran sunnah Jum’ah?
Jawaban:
Sunnah memotong kumis dilakukan dengan mencukur kumis sampai kelihatan warna merah di bibirnya, serta menghilangkan bau busuk dan membersihkan kotoran di badannya.
28.  Bagaimanakah hukumnya mencabut bulu hidung?
Jawaban:
Hukum mencabut bulu hidung adalah MAKRUH karena dapat mengganggu kesehatan sebab bulu hidung berfungsi menyaring kotoran yang masuk ke paru-paru.
*****
UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagai rasa takdim penulis, penulis ucapkan terimakasih pada Abah KH. Muharor Ali selaku pengasuh PP. Khozinatul Ulum. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmadNya kepada beliau, memberikan nikmat panjang umur, melimpahkan rizkinya, dan memuliakannya sebagai golongan orang-orang beruntung. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Pak Ustads Sutaji selaki ustadz yang mengampu pelajaran FATHUL Mu’in sehingga menginspirasi penulis untuk menulis artikel ini.  Semoga Allah swt senantiasa memuliakan para guru penulis, memberikan rahmad dan kasihNya sebab melalui perantara gurulah seorang murid dapat memahami suatu ilmu hingga dapat mengamalkannya. Mohon doanya semoga penulis senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya, dapat bermanfaat di sepanjang hayatnya, dan dapat memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan semoga akhir hayat kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.
   Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare. Semoga dengan membagikan tulisan ini dapat menjadi amal jariyah penulis jua guru penulis serta orang yang membagikan tulisan ini. Mohon doanya semoga penulis mendapatkan ilmu yang berkah dan senantiasa bermanfaat, serta menjadi santri yang berhasil dalam menimba ilmu serta tawadhu’. Tulisan ini tidaklah sempurna, sebab penulispun jua manusia yang tak luput dari dosa. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulis pertimbangkan pada penulisan selanjutnya. Saran dan kritik: WA 085725784395/ email. halimahundip@gmail.com. Semoga bermanfaat.  
Tiada yang lebih utama dari sebuah ilmu yakni ilmu yang diamalkan dan dibagikan pada kaum muslimin lainnya. Maka atas setiap ilmu yang kau dapatkan, ajarkan pula pada yang lainnya sebagai jalan dakwahmu akan kebaikan sembari engkau amalkan.    

REFERENSI: 
Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Mulibari. Fathul Mu’in. Semarang: Pustaka Al Alawiyah. Halaman 39-43.