SEBERAPA PEDULIKAH PEMERINTAH DAN
MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN KAUM PENYANDANG CACAT?
Difabel?...apa sich yang terbayang
di benak kalian ketika mendengar kata “Difabel”.
Difabel atau dikenal “Different Abled People” adalah sebutan bagi para penyandang cacat. Menurut Pakar John C. Maxwell, difabel adalah mempunyai kelainan
fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara layak atau normal. Sedangkan
menurut WHO, difabel adalah
suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan
struktur atau fungsi anatomis. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa
penyandang cacat atau difabel adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam
beraktivitas baik secara fisik, mental, maupun psikologis yang diakibatkan oleh
kecelakaan ataupun cacat bawaan sejak lahir.
Lalu, seberapa
banyakkah jumlah penyandang cacat di Indonesia?. Jumlah penyandang cacat di
Indonesia tergolong cukup banyak meskipun jika dibandingkan, jumlah orang normal
jauh lebih banyak dibandingkan jumlah orang cacat. Jumlah difabel di Indonesia
pada tahun 2007 diprediksi sekitar 7,8 juta jiwa. Sebuah angka yang sebenarnya relatif
kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah sekitar
220 juta jiwa (Suharto, 2010 dalam Rahayu dan Dewi, 2015) .
Sementara, berdasarkan Data PBB mengungkapkan 10 % dari total populasi penduduk
dunia atau sekitar 650 juta adalah penyandang cacat. Laporan yang disampaikan
Bank Dunia mengungkapkan sekitar 20 % dari penyandang cacat diseluruh dunia
datang dari kelas ekonomi lemah. Kondisi sosial penyandang cacat pada umumnya
dalam keadaan rentan baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan maupun kemasyarakatan.
Secara ekstrem bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarga
yang cacat terutama di pedesaaan. Disisi lain masih ada masyarakat yang
memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang
cacat. Walaupun demikian selayaknya semangat pelayanan tidak dipengaruhi jumlah
besar atau kecilnya pengguna layanan.
Tabel 1. Prosentase Cacat berdasarkan Jenis Cacat
yang Diderita.
Jenis Kecacatan
|
Jumlah ( %)
|
Mata/ Netra
|
15,93 %
|
Rungu/ Tuli
|
10,52 %
|
Wicara/ Bisu
|
7,12 %
|
Bisu/ Tuli
|
3,46 %
|
Tubuh
|
33,75 %
|
Mental/ Grahita
|
13,68%
|
Fisik dan Mental/ Ganda
|
7,03 %
|
Jiwa
|
8,52 %
|
Jumlah Total
|
100 %
|
(Sumber: BPS, Susenas 2011 ).
Bagaimanakah pandangan
masyarakat terhadap keberadaan kaum penyandang cacat?. Kaum difabel atau
penyandang cacat tak jarang keberadaannya dipandang sebelah mata oleh
masyarakat. Menjadi difabel ditengah masyarakat yang menganut paham
‘normalisme’ atau paham pemuja kenormalan, dimana semua sarana umum yang ada
didesain khusus untuk ‘orang normal’ tanpa adanya fasilitas bagi difabel adalah
hal yang sangat sulit. Dipandang kasihan atau tidak dianggap dalam
bermasyarakat adalah sesuatu yang acap kali kita lihat dilingkungan difabel. Meskipun
demikian, tidak semua orang melakukan diskriminasi terhadap keberadaan kaum
penyandang cacat walaupun beberapa ada yang acuh dan menolak keberadaan kaum difabel.
Ada orang yang tergerak hatinya untuk memperjuangkan hak-hak kaum penyandang
cacat agar memiliki kesetaraan hak dengan orang normal. Hal tersebut dikuatkan
secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 4/1997 diikuti terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat.
Diskriminasi terhadap Penyandang Cacat (https://www.youtube.com/watch?v=XRaAH-fOxFQ).
Penyandang cacatpun
berhak memiliki kesetaraan hak yang sama dengan orang normal seperti
mendapatkan pelayanan sosial berupa kebutuhan penyandang cacat sebagai
individu, kebutuhan penyandang cacat sebagai makhluk sosial, kebutuhan
penyandang cacat dalam keluarga, kebutuhan penyandang cacat dalam
bermasyarakat, kebutuhan pelayanan umum/ aksesabilitas, kebutuhan akan akses
pendidikan dan kebutuhan akan akses pekerjaan. Tercipta sebagai penyandang
cacat? Siapa sich yang mau?. Namun, apalah adaya kehendak Tuhan siapa yang bisa
menolak, cukup disyukuri dan menggali potensi yang ada pada diri dibalik
keterbatasan yang ada. Bagi anda, khususnya anda yang tercipta normal tanpa
keterbatasan fisik, mental, maupun psikologis, sudah selayaknya anda bersyukur,
karunia Tuhan yang manakah yang kalian dustakan. Salah satu cara anda bersukur
yaitu dengan menerima keberadaan kaum penyandang cacat dengan baik,
memperlakukan mereka dengan baik dan tidak mencemoh kekurangan atau
keterbatasan yang mereka miliki.
Pemberian Kaki Palsu terhadap Penyandang Cacat Kaki (Nasional.tempo.co.id). |
Aksesabilitas
fasilitas umum merupakan kebutuhan utama penyandang cacat untuk
mengaktualisasikan diri penuh dalam bermasarakat. Sebagian besar fasilitas umum
yang dibangun di negeri ini kurang aksesibel bagi saudara – saudara kita yang
difabel. Transportasi publik seperti bis kota, kereta api dan bangunan untuk
kepentingan umum seperti mall, terminal, bandara, tempat ibadah, universitas,
dan bangunan lain sangat sedikit yang dapat diakses oleh para difabel. Selain
itu media informasi seperti televisi dan media informasi lain tidak dapat
diakses oleh para difabel yang memiliki kesulitan mendengar dan melihat. Ketiadaan
fasilitas umum yang aksesibel bagi para difabel inilah yang menyebabkan adanya
jurang diskriminasi bagi kamu difabel dalam bermasyarakat. Sudah selayaknya
pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus terutama bagi penyandang cacat
dengan meningkatkan anggaran yang dikhususkan untuk pemenuhan hak-hak kaum
difabel dalam menikmati pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan, pelayanan
transportasi umum, pelayanan pendidikan, dan pelayanan fasilitas umum lainnya
yang layak untuk kaum difabel.
Penyandang Cacat Susah Payah Naiki Tangga Stasiun Kereta (Mirror.co. uk). |
Terkait dengan akses
kebutuhan terhadap pekerjaan, terdapat eksklusifitas bagi penyandang difabel
dalam mendapatkan pekerjaan. Sebagai contoh terjadinya jurang diskriminasi
dalam berpolitik pada KH. Abdurahman Wahid, presiden RI ke-4 yang diturunkan
dari jabatannya karena beliau penyandang cacat. Hal ini tentu meremehkan
kemampuan kaum difabel yang sebenarnyapun jua kompeten dalam hal tersebut.
Selain itu, dalam lowongan kerjapun jua banyak yang mensyaratkan bahwa pelamar
harus dalam kondisi sehat atau tidak cacat. Hal ini tentu tidak memberikan
ruang bagi penyandang cacat dalam mengakses pekerjaan. Dalam rangka mencapai
kesejahteraan dalam memperoleh pekerjaan yang layak, pemerintah perlu
memberikan akses yang sama bagi kaum difabel. Pemerintah alangkah baiknya
menyediakan kegiatan pemberdayaan tenaga kerja penca (difabel) dengan
menyalurkan para penyandang cacat yang telah diberikan keterampilan khusus dalam
mencari kerja. Hal tersebut sesuai Undang – undang dan Peraturan Pemerintah,
termasuk Perda No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas yang menyebutkan bahwa perusahaan yang mempunyai 100
pekerja, maka harus memasukkan 1 ( satu ) kaum difabel untuk dipekerjakan pada
perusahaan tersebut. Namun perusahaan juga mempunyai kriteria dalam memasukkan
kaum difabel tersebut dan ini bersifat tidak memaksa. Dinas Sosial memberikan
penghargaan kepada perusahaan yang menempatkan kaum difabel di perusahaannya
dalam bentuk pemberian gaji sebesar 25% dari gaji yang diberikan oleh
perusahaan tersebut selama 1 (satu) tahun dan memberikan jaminan Jamsostek.
Berdasarkan uraian di
atas, maka perlu adanya peran pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan
kesejahteraan bagi penyandang cacat dalam kesetaraan hak. Kepedulian masyarakat
dan pemerintah terhadap kaum difabel ini diharapkan dapat meningkatkan rasa
percaya diri bagi penyandang cacat agar bisa berpartisipasi dengan baik dalam
bermasyarakat. Difabel juga adalah bagian masyarakat yang berhak akan pelayanan
publik yang memadai. Kebutuhan khusus bagi difabel yang perlu diperhatikan adalah
aksesibilitas yakni lingkungan yang mudah diakses untuk memperlancar dan
memudahkan mobilitas karena keterbatasan fisiknya. Selain lingkungan yang akses
penyandang cacat juga memerlukan alat bantu mobilitas sesuai dengan kecacatannya
guna meminimalisir keterbatasan dalam mobilitas. Dengan diiketahuinya kebutuhan
penyandang cacat secara jelas maka dapat dijadikan acuan dalam pelayanan dan rehabilitasi
sehingga tujuan rehabilitasi sosial dapat tercapai yaitu penyandang cacat dapat
melaksanakan fungsi sosial secara wajar dan mandiri sesuai dengan kondisinya.
Referensi:
Badan Pusat Statistik.
2011. SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional). Jakarta: BPS.
Peraturan Daerah Istimewa
Yogyakarta No 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas.
Rahayu, S., dan Dewi, U.
2015. Pelayanan Publik bagi Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas di
Kota Yogyakarta. Yogyakarta:
UNY.
Undang-Undang. 1997. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.