WAHAI SUAMI, DUKUNG MENTAL ISTRI TETAP SEHAT!
*****
Oleh: Dewi Nur Halimah binti Masdari
Kanti Utami (sumber gambar : www.aceh.tribunews.com) |
Wahai para suami...
Kamu tak merawat istrimu dari kecil hingga dewasa, yang membesarkan dan merawatnya adalah orangtuanya. Namun saat ia dewasa, kamu mencintainya, kamu memintanya dari orangtuanya. Saat menjadi istrimu, dia rela meninggalkan keluarga yang merawat dan membesarkannya demi mengabdi dan berbakti denganmu.
Ia mengurus rumah tanggamu, melayanimu, juga mengurus anakmu. Bahkan ketika anak masih bayi atau batita (bawah tiga tahun), tak jarang istrimu jarang tidur demi menjaga anakmu yang kadang nangis, rewel semalaman.
Banyak sekali para suami yang nggak peka. Kalian perlu belajar ini.
Dalam mengurus rumah tangga, apalagi jika tidak memiliki PRT istrimu melakukan banyak hal (menyapu, mengepel, mencuci baju, cuci piring, masak, beres beres rumah dll). Namun sering kali lelaki tak melihat ini dan menganggap istrinya tak kerja. Mereka kerja, hanya saja tidak menghasilkan uang seperti dirimu.
Belum jika kebutuhan keluarga semakin besar. Istri tak jarang ikut terjun membantu suami mencari nafkah. Bahkan banyak juga para suami pengangguran, istrinya ganti peran menjadi tulang punggung keluarga.
Ketika istrimu mencari nafkah maka bebannya semakin berat, selain bekerja mencari nafkah, ia mengurus rumah tangga, mengurus anak, dan melayanimu. Semakin banyak tanggungannya.
Wahai suami...
Para istri juga manusia, punya lelah dan letih. Ketika istrimu mengeluh kecapean, butuh perhatian. Jangan kau abaikan, bantulah ringankan pekerjaannya. Seperti jangan sampai yang jadi pencari nafkah itu istrimu, ini kuwajibanmu. Kewajiban ini bisa diambil alih kalau suami sakit parah/ cacat fisik yang menghalanginya tidak bisa kerja kecuali kerja online sambil duduk. Kalau kamu sehat, maka yang berkewajiban mencari nafkah adalah suami. Para suami harusnya malu, marwahnya hilang kalau istrinya mencari nafkah. Sudah gitu, tidak bersyukur malah istri disiksa, abai pula.
Jadilah suami yang baik. Saat engkau melihat istrimu mengeluh kecapean, kuatkan mentalnya, peluklah, bantu pekerjaan rumah tangga yang dihandlenya. Misal istri repot ngurus bayi, suami bantuin cuci piring. Atau istri lagi nyuci, sementara suami tidak kerja (lagi istirahat santai), cobalah peka. Istri nyuci, suami bantuin jemur. Saling pengertian itu penting untuk menjaga mental istrimu tetap sehat.
Wahai suami...
Kamu perlu belajar dari kisah nyata seorang ibu yang tega membunuh anak-anaknya, tidak lain karena mereka (para istri) depresi berat serta kurangnya support dari suami. Kebanyakan dipicu oleh permasalahan ekonomi dan kurangnya kasih sayang perhatian sang suami.
KASUS 1
Anik Qoriah (sumber gambar: www.liputan6.com). |
Pada tahun 2006 silam, seorang ibu tiga anak yang bernama Anik Qoriah Sriwijaya, yang merupakan lulusan ITB tega membunuh anaknya.
Anik mengontrak rumah bersama suami (Iman Abdullah), dan 3 anak, Abdullah Faras Elmaky alias Faras (6 tahun), Nazhif Aulia Rahmatullah alias Najib (3 tahun), dan Muhammad Umar Nasrullah (9 bulan) di Jalan Margahayu Barat Margacinta Kota Bandung. Keluarga ini terlihat hidup damai, tak pernah ada masalah berarti. Anik merupakan ibu rumah tangga, sedangkan sang suami bekerja di sebuah yayasan.
Minggu pertama bulan Juni, kejadian menggemparkan terjadi. Beralasan ingin menenangkan diri, Anik meminta suaminya menginap di kantor. Malam itu, ia membekap satu per satu anaknya hingga kehabisan nafas dan TEWAS. Anik mengaku tak memiliki motif khusus. Juga tak memiliki kelainan jiwa. Ia hanya merasa harus menyelamatkan anak-anaknya dari kehidupan. Anik terlalu takut tidak bisa membahagiakan anak-anaknya di masa depan. Ia merasa menjadi ibu yang gagal. Ia merasa bersalah dan menganggap dirinya tidak memiliki kemampuan apa-apa (untuk menghidupi anak-anak). Berdasarkan penyelidikan polisi, perempuan yang biasa hidup berkecukupan itu mengalami paranoia.
KASUS 2
Dedeh Nur Fatimah (sumber gambar: www.news.detik.com) |
Dedeh Nur Fatimah (38 tahun), ibu 3 anak asal Kampung Cijengjing RT 5 RW 22 Desa Kertamulya Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat tega menenggelamkan anaknya ke toren (penampung) air pada Selasa, 11 Maret 2007. Satu anaknya tewas, dua lainnya selamat. Usai beraksi, Dedeh menyerahkan diri ke polisi.
Polisi sempat menduga aksi tersebut disebabkan rasa frustasi terkait faktor ekonomi. Namun suami Dedeh (Kasito) membantahnya. Utang Rp 20 juta ke bank dibayar rutin. Selama ini, keluarganya juga tidak pernah masalah.
Dedeh mengaku tidak menyesal. Ia justru menyesal karena 2 anak lainnya tidak ikut meninggal. Dedeh nekat membunuh anaknya karena ia tidak mau membebani anaknya.
KASUS 3
Kanti Utami (sumber gambar : www.aceh.tribunews.com) |
Kanti Utami (35 tahun), seorang ibu muda yang berprofesi sebagai MUA. Ia merupakan warga Desa Tonjong, Brebes, ditangkap menggemparkan tanah air karena tega menggorok anaknya.
Minggu, 20 Maret 2022 ia melakukan penggorokan terhadap 3 anaknya. Satu anak tewas, dua lainnya selamat.
Berdasarkan motif pengakuannya, ia merasa bahwa ia tidak gila. Ia hanya ingin menyelamatkan anak-anaknya biar tidak hidup susah seperti dirinya sehingga anak-anaknya harus mati agar tidak hidup sedih seperti dirinya. Ia juga mengaku selama ini kurang kasih sayang. Dia mengaku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan ekonomi yang pas pasan. Apalagi, suaminya sering menganggur (pengangguran, tidak kerja).
MARI MERENUNG...
Kenapa seorang ibu yang notabennya lulusan universitas ternama, berpendidikan tega membunuh anaknya? Kenapa seorang ibu tega membunuh anaknya sendiri, sementara di luaran sana masih banyak ibu yang pengen punya anak tetapi belum dikaruniai anak?
Mungkin SEBAGIAN masyarakat menghujat
"KURANG IMAN, MAKANYA TEGA BUNUH ANAK"
"IBU DZAJAL, NGGAK PUNYA HATI"
"NGGAK INGAT TUHAN"
"IBU DURHAKA"
"DLL"
Baiklah...
Semoga para penghujat tidak merasakan depresi berat sebagaimana yang ibu-ibu itu rasakan. Perlu engkau ketahui, tekanan batin atau trauma berat atau depresi berat itu bisa menyerang siapapun tanpa pandang pendidikan, orang ngerti agama tidak, maupun usia. Semua bisa terserang. Jika kamu saat ini tidak mengalami tekanan batin berat sehingga masih waras, semoga engkau yang menghujat tidak merasakan seperti itu.
Bisa jadi ibuk ibuk itu depresi berat karena beberapa faktor. Coba dalami penyebabnya. Ada karena kekhawatiran berlebih pada masa depan anak, nggak mau anaknya hidup susah dan sedih kelak, dan bisikan-bisikan untuk membunuh. Sementara saat mereka butuh dukungan mental, orang terdekatnya yang diharapkan bisa mendukung mentalnya justru nggak ngedukung. Seharusnya suami mendukung kesehatan mental sang istri. Kasih sayang suami itu penting, perhatian suami, kepekaan dan kepedulian suami itu penting di samping mencukupi kebutuhan dzohir (uang, sandang, papan, pangan).
Perhatikan kasus yang terakhir, Bu Kanti Utami. Dia padahal berkarir sebagai MUA. Kenapa bisa seperti itu?. Karena tekanan berat yang dialami. Wabah Corona selama sekitar 2 tahun sejak 2020 banyak membuat pekerja MUA kelimpungan apalagi saat hajatan pernikahan dilarang sebab mengundang kerumunan. Artinya pemasukan minus, sementara kebutuhan tiap hari ada untuk makan dan biaya sekolah anak.
Bayangkan, jika sebelum Corona ia bisa merangkap jabatan sebagai ibu rumah tangga dan tulang punggung. Gimana saat corona sementara suaminya pengangguran dan juga kurang kasih sayang?
Ia harus merangkap banyak peran. Menjadi tulang punggung keluarga yang mencukupi kebutuhan keluarga dan anak anak, menjadi seorang istri yang melayani suami, mengurus anak, mengatur rumah tangga, dll. Jika tanpa dukungan suami yang sadar kewajiban (kerja halal untuk menafkahi anak istri), sikap abai suami yang kurang perhatian akan keletihan istri maka jadilah istri bertahun tahun memendam luka berat letih yang bertumpuk tumpuk hingga kehilangan kendali kontrol emosi.
Siapa yang rugi kalau seorang istri tega membunuh anaknya karena mengidap skyzofrenia (bisikan bisikan untuk membunuh anak karena merasa gagal menjadi ibu), anxiety disorder (gangguan mental cemas berlebihan seperti yang dialami bu Kanti yakni khawatir masa depan anaknya, jangan sampai nanti anaknya hidup sedih dan susah jadi lebih baik mati daripada hidup), baby blues (kehilangan kontrol emosi paska melahirkan karena tekanan nyinyiran tetangga, keluarga, pasangan paska melahirkan yang membuatnya depresi berat sebab tanpa diimbangi mental yang siap menerimanya seperti dianggap bukan ibu normal karena melahirkan caesar, tidak bisa merumat anak dll cocotnya tonggo, lambe nyinyir kerabat), atau paranoia (gangguan mental berupa pikiran ketidakpercayaan atau kecurigaan kepada orang lain secara tidak realistis atau merasa dianiaya padahal tidak dianiaya seperti yang dialami Bu Anik Qiriyah Sriwijaya)?. Yang paling dirugikan adalah anak dan suami juga. Anak kehilangan haknya untuk memperoleh kehidupan, dan seorang suami akan kehilangan keturunan biologisnya. Maka dari itu wahai para suami, berikan perhatian dan kasih sayang yang cukup pada istrimu. Jangan sungkan untuk membantu istri ketika istri terlihat kepayahan atau kesusahan serabutan banyak kerjaan. Cukupi kebutuhan dzohir istrimu. Penuhi kebutuhan batin istrimu dan perlakukanlah dengan baik. Siapa yang mendukung mental istrimu jika bukan kamu selaku pasangannya. Jika kamu benar-benar mencintainya, maka jagalah kesehatan mentalnya juga di samping kesehatan raganya. Surga istri adalah ridho suami, dan surga suami adalah memuliakan istrinya.
Salam,
Dewi Nur Halimah
(Pegiat HAM dan Literasi Kabupaten Blora)