AKU TAHU MAKA AKU TIDAK MAU
*****
Oleh: Dewi Nur Halimah, S. Si
Hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalanan yang terekam dalam sejarah kehidupan. Well, ngomong ngomong soal hidup, tak lepas dari permasalahan keadilan sosial. Tahukah kamu tentang kisah Abu Nawas RA yang tersohor sebagai ulama karismatik yang cerdas lagi lucu. Idenya selalu gila dan membuat orang tak henti-hentinya tertawa mengagumi kecerdasannya.
Yups, kisah Abu Nawas sangatlah banyak. Tak akan sanggup Halimah untuk menulis semuanya karena keterbatasan Halimah. Baiklah, akan Halimah ceritakan kisah Abu Nawas pura pura gila tatkala dipilih akan dijadikan seorang Hakim menggantikan sang ayah (Ayah Abu Nawas).
Lalu apa hubungannya dengan pura-pura gila sama pemilihan Hakim? Yups, ada dong. Kalau sang raja sudah berkehendak Abu Nawas yang hendak dijadikan hakim pengganti, maka titah itu tidak bisa ditolak. Kalau ditolak, hukumannya pancung atau dipenjara. Serem kan sistem kerajaan zaman dahulu?. Bukan Abu Nawas namanya bila tidak bisa melawan arus aturan dengan ide sikap gilanya.
Maka tiada jalan lain. Maka Abu Nawas pun meminta murid-muridnya yang jumlahnya ratusan untuk kotekan mengantarkannya ke makam sang ayah. Namanya murid diperintah gurunya ya dilaksanakan, wong santri itu samikna wa ato'na sama perintah guru supaya ilmunya barokah. Sembari murid murid pada kotekan menggunakan alat seadanya, dari bambu, ember, dan perabotan lainnya. Abu Nawas menari jogedan sepanjang jalan, sehingga orang-orang (masyarakat) menganggap Abu Nawas gila alias nggak waras.
Kabar Abu Nawas yang tiap hari dikotekin bambu muridnya dan jogetan sepanjang jalan menuju malam ayahnya pun sampai terdengar di telinga sang Baginda raja. Akhirnya karena menganggap Abu Nawas gila, sang raja pun mencari pengganti Abu Nawas untuk dijadikan hakim. Setelah pengangkatan hakim usai dilakukan, barulah Abu Nawas berhenti jogedan sepanjang jalan.
Mengapa Abu Nawas dipilih jadi hakim tidak mau? Bukankah jabatan Hakim itu enak, terpandang di hadapan manusia, disegani, gajinya gedhe, kenapa Abu Nawas justru tidak mau?. Memang kalau hidup hubbud Dunya, semua dinilai berdasarkan harta, pangkat, jabatan, kehormatan. Berbeda halnya jika hidupmu orientasinya akherat dan ridho Tuhan.
Abu Nawas tidak mau menjadi Hakim karena sang ayah (mantan Hakim) ketika menjelang wafat berpesan padanya.
"Le, Putraku Abu Nawas. Janganlah engkau mau jika dipilih menjadi Hakim," kata sang ayah.
"Mengapa yah, bukanlah Hakim itu jabatan yang enak?," tanya Abu Nawas.
"Ciumlah telinga kanan dan kiri ayah!," perintah sang ayah.
"Telinga kananmu wangi dan telinga kirimu berbau busuk wahai ayahku. Mengapa demikian?," tanya Abu Nawas.
"Kuberi tahu rahasia Putraku. Telinga kananku wangi karena aku adil dalam memutuskan perkara atau sengketa sehingga diridhoi Allah swt. Sedangkan telinga kiriku berbau busuk karena aku tidak adil dalam memutuskan perkara (nepotisme). Rasa sungkan mendorongku tidak adil. Maka janganlah engkau mau menjadi hakim. Memang terpandang di dunia, tapi kalau tidak adil akan dituntut rakyat atau orang yang bersengketa dan terdzalimi di hadapan Allah. Tuntutan di hadapan Allah ini memberatkan hisab u Wahai Putraku, " jawab sang ayah dengan linangan air mata.
Maka dari itu Abu Nawas menggunakan segala idenya untuk menolak pemilihan dirinya untuk diangkat menjadi seorang hakim. Karena kehidupan akherat lebih kekal daripada kehidupan dunia. Nikmat gaji dunia, siksa di akherat lebih sengsara.
Tak jauh berbeda dengan yang Halimah Takdimkan, Abu Nawas RA. Halimah pun sama. Sejak pertengahan Desember 2018, Halimah protes pembagian PKH (Program Keluarga Berencana) yang tidak tepat sasaran dimana ada beberapa warga yang lebih mampu dapat bantuan sosial PKH sedangkan warga yang sangat miskin dan butuh pertolongan serta memenuhi komponen PKH tidak memperoleh bantuan. Itu kan dzalim.
Protes menegakkan keadilan PKH bertahap saya lakukan mulai dari protes langsung ke Bu Lurah, dinas sosial bagian PKH, Pendamping PKH Kecamatan hingga membuat petisi dan surat terbuka di facebook yang saya tujukan pada Kementerian Sosial RI dan Presiden Joko Widodo. Alhasil tanpa saya duga, postingan saya yang biasanya yang like tidak ada 30, itu mencapai sekitar 2000 like dan ratusan komentar serta sekitar 6000 an di share. Karena merasa malu, akhirnya saya diundang sidang audiensi jalan tengah PKH.
Tuntutan saya ditindaklanjuti, tapi janjinya tidak dilakukan sepenuhnya dan menurut saya masih tidak adil. Yups, pertama protes saya sama Bu Lurah lalu Bu Lurah bilang nggak tahu soal PKH. What, masak lurah tidak tahu program di desa yang dipimpinnya, bagaimana tanggung jawabnga sebagai pemimpin untuk negara dan Allah swt.
Lalu saya pun ke Dinas Sosial bagian PKH protes dengan membawa data tetangga saya yang diajukan BDT yang pantas mendapatkan PKH dan tetangga saya yang termasuk mampu namun justru mendapatkan PKH. Sekedar catatan, saya protes PKH itu yang saya perjuangkan bukan keluarga saya melainkan fakir miskin di desa saya. Tujuan saya waktu itu, lilahi Ta'ala sebagai kenangan untuk desa saya dalam menegakkan keadilan untuk hak fakir miskin sebelum suatu saat nanti saya meninggalkan kota Blora dan berpindah ke kota lainnya. Jadi semua kenangan saya persiapkan.
Qodarullah paska protes ke desa, PKH Dinsos Kabupaten, Pendamping PKH Kecamatan, saya pun membuat petisi online untuk keadilan PKH. Selain petisi, saya juga membuat surat terbuka di facebook yang saya tag langsung ke kemensos RI dan Presiden Jokowi agar dilakukan survey ulang bagi penerima PKH. Dan penerima PKH yang tidak layak karena kategori mampu didesa tersebut di copot. Tanpa saya duga postingan surat terbuka saya viral bahkan hingga 6000 an orang share.
PKH DINSOS Kabupaten pun ditelfon kemensos supaya protes saya ditindaklanjuti. 6 nama yang saya minta untuk dicopot pun di survey ulang dan nama nama warga yang saya ajukan untuk didaftar BDT (Basis Data Terpadu). Maka survey ulang di desa saya pun dilakukan. Tanggal 6 Januari dilakukan audiensi di Balai desa Bandungrojo pukul 15.00 an sampai pukul 17.30 an. Dimana saya sendirian, diapit bu lurah beserta perangkat sekitar 8 orang, koordinator PKH Kabupaten dari Dinas Sosial 2 orang, dan pendamping PKH sekitar 10 orang. Jadi saya sendiri debat audiensi dengan 20 orang karena protes ketidakadilan distribusi PKH. Banyak tetangga yang nguping di samping balai desa. Saya pun mendatangkan fakir miskin yang tidak dapat PKH seperti Bu Ani, Bu Srimining, dan Bu Hari. Sebagaimana biasa, bagi saya ketika saya sendiri debat diapit orang banyak adalah latihan mental. Well saya paling tidak suka ketidakadilan.
Tanggal 1 Februari 2019, saya melaksanakan undangan sidang audiensi. Saya sendiri dengan kapolres Blora, bu lurah, ketua dinsos, Koordinator PKH Kabupaten, Koordinator Pendamping PKH Kecamatan dan beberapa staff dinsos. Alhamdulillah audiensi lancar, saya lancar menyampaikan petisi saya tanpa sedikit pun GROGI. Diliput wartawan infodesanews.com. Saya diapit puluhan, alhamdulillah Allah bersama saya sehingga mental saya kuat.
Sidang audiensi berlanjut dengan musyawarah desa (musdes) pada 5 April 2019. Alhamdulillah usulan saya menang dan disetujui dalam musyawarah bahwa warga yang mampu dikeluarkan keanggotaannya dari BDT agar semua bantuan Pemerintah tepat sasaran. Namun disini ada skandal sampai 20 Mei 2019, laporan berita acara musdes tidak dibuat desa atas instruksi bu lurah. Di sinilah unsur politis mulai bermain, dimana tanpa laporan berita acara maka data BDT Kabupaten tidak mau memperbaiki sekalipun ada bukti lapangan sudah survey ulang, ada foto, ada bukti nyata, sudah silaturahmi juga.
Lebih lengkapnya bacalah tulisan saya berikut ini. Tulisan dari pejuang ulung penegak keadilan PKH...
*****
Apa kabar keadilan, penghuni gubug reot tidak mendapatkan PKH, warga lebih mampu secara ekonomi dapatkan PKH?
BLORA, kasus ketidakadilan PKH (Program Keluarga Harapan) akhir-akhir ini marak diperbincangkan di sosial media. Hal itu lantaran banyaknya ditemui di lapangan, warga yang sangat miskin, memenuhi komponen PKH namun tidak menerima bantuan PKH. Sebaliknya, ada beberapa warga yang dirasa ekonominya lebih mampu justru mendapatkan bantuan PKH. Di manakah keadilan sosial yang digadang gadang sesuai cita bangsa dalam sila ke 5 pancasila.
Tak jauh berbeda, hal itu juga terjadi di Blora. Adanya temuan ketidakadilan juga tampak di facebook "Halimah Az Zakiyah" yang bernama asli Dewi Nur Halimah, warga Desa Bandungrojo, Kec. Ngawen, Kab Blora yang membongkar skandal ketidakadilan PKH.
"Warga yang gubugnya kecil, reot, tidak memiliki aset sawah, memiliki anak sekolah SD, kondisi sangat miskin (tergolong top 10 paling miskin di desa) tidak menerima bantuan PKH seperti Pak Muntaha, Pak Susilo, Bu Santi. Sebaliknya, warga yang lebih mampu dari mereka, memiliki sawah yang luas, rumah ukurannya besar dan lebih bagus dari mereka, punya kendaraan bermotor justru mendapatkan bantuan PKH seperti Bu Sri HARNANIK (RT 02/ RW 01 Desa Bandungrojo), Bu Sri Wahyuningsih (RT 04/ RW 01 Desa Bandungrojo) dan Bu Darmini (RT 04/ RW 01 Desa Bandungrojo). Ini salah sasaran, tidak sesuai tujuan program PKH untuk mengentaskan kemiskinan. Bagaimana tidak, yang dibantu bukan orang miskin tapi orang mampu. Bagaimana mungkin orang yang miskin tidak menerima bantuan, sementara yang kaya dapat?. Bagaimana mungkin warga yang ekonominya lebih baik bisa dimasukkan dalam BDT (Basis Data Terpadu) warga miskin, kemungkinan ada indikasi unsur nepotisme dari pihak desa. Jika memang adil, mereka berani mencabut keanggotaan BDT warga yang ekonominya lebih baik dengan aset yang banyak, mengingat ekonomi sifatnya dinamis. Oke dulu masuk BDT, sekarang sudah baik ekonominya ya dikeluarkan dari keanggotaan BDT agar penerima bantuan dari program pemerintah tepat sasaran", ungkap Halimah selaku aktivis keadilan dari Blora.
Halimah juga menuturkan bahwa Bu Lurah saat ditanya mengenai bagaimana warga mampu bisa terdaftar BDT yang merupakan data khusus warga miskin. Bu Lurah justru berkelit dan mengatakan seluruh warga desa di data semua dalam BDT. Halimah menegaskan kalau semua warga dimasukkan BDT ya salah besar, BDT itu untuk warga miskin ya jelas hasilnya tidak tepat sasaran. Kecuali data kependudukan ya semua warga diikutsertakan. Halimah menegaskan, ada kejanggalan yang terjadi. Bagaimana mungkin orang yang lebih mampu dibandingkan warga lainnya bisa menerima bantuan, sementara yang miskin tidak. Padahal salah satu syarat mendapatkan bantuan PKH adalah adanya surat keterangan tidak mampu dari desa. Bagaimana mungkin desa memberikan surat keterangan tidak mampu (rentan miskin) untuk warga mampu? Bukankah ini menyalahi peraturan dan pemalsuan data kemiskinan.
Baik pemberi dan pengguna surat palsu ini dapat dikenai hukuman pasal 263 KUHP. Dimana
disebutkan bahwa ayat 1 Pasal 263 KUHP mengatur pidana tentang orang yang membuat surat palsu. "Dalam hal ini yang bisa kena Ketua RT atau RW serta lurah atau kepala daerah, bisa dipidanakan". Sementara ayat 2 mengatur tentang orang yang menggunakan surat palsu yang seolah-olah benar itu. Dalam hal ini, warga yang ekonominya lebih mapan dibandingkan warga warga lain yang lebih miskin, telah merampas hak fakir miskin untuk memperoleh PKH sehingga sama halnya telah melakukan tindak pidana korupsi selama waktu dia menerima bantuan pemerintah. Padahal seharusnya bantuan itu lebih pantas diberikan pada warga lain yang reot, sangat miskin, dan memenuhi komponen PKH karena memiliki anak usia sekolah yang disekolahkan.
Ini menunjukkan masih adanya unsur nepotisme dan unsur politis dalam praktik lapangan di desa dalam input data BDT. Jika memang keadilan itu tegak, tentu Lurah menjadi pemimpin ya g menganyomi rakyat. Warga yang miskin yang memenuhi komponen PKH mendapatkan haknya memperoleh bantuan. Sementara warga yang ekonominya lebih bagus digiring untuk mengikuti program kemajuan UMKM desa. Bukan sebaliknya yang tidak tepat sasaran.
Halimah juga menuturkan, desa telah melakukan musyawarah desa (musdes) pada tanggal 5 April 2019 di Balai desa mulai pukul 19.00 (sekitar bakda isya') sampai sekitar pukul 22.00. Musyawarah desa itu dihadiri bu lurah, perangkat desa, ketua pendamping PKH Kecamatan Ngawen (Mas Syarif), BPD, Halimah selaku pemrotes dan para tokoh masyarakat dari tiap tiap dukuh desa Bandungrojo (Bandungrojo, Karangrowo, Papringan, Watumiring). Hasil musdes, warga yang mampu dikeluarkan dari kesertaanya di BDT dan disetujui oleh semua pihak. Namun dari pihak desa tidak mau membuat berita acara musdes dan justru musdes dibatalkan sepihak oleh desa. Saat dikonfirmasi alasan mengapa musdes dibatalkan padahal sudah dihadiri para tokoh masyarakat dan BPD yang merupakan wakil warga, Bu Lurah terdiam tidak bisa menjawab dan hanya mengatakan "Dibatalkan ya dibatalkan". Lalu dengan seenaknya membuat musdes kembali tanggal 18 Mei 2019, namun Halimah selaku penegak keadilan tidak bisa hadir karena jam 10.00 pagi adalah waktunya untuk mengajar. Meski demikian Halimah meminta keadilan dan hasil musdes dua duanya baik 5 April 2019 dan 18 Mei 2019 dibuat berita acaranya semua dan disetorkan. Namun dari pihak desa tidak mau, dan membatalkan sepihak musdes 5 April 2019. Ini menunjukkan bahwa desa semena mena menggunakan kekuasaan. Seandainya adil, tentu berani mengeluarkan warga yang mampu keberadaannya dari keanggotaan BDT. BDT itu basis data terpadu untuk warga miskin bukan warga mampu.
Sebenarnya jika seorang pemimpin itu adil, justru rakyat makin cinta. Bukan menggunakan kekuasaannya untuk nepotisme, memberikan program pada siapa yang dia senangi. Masalahnya yang dia distribusikan adalah program pemerintah yang sumber dananya dari uang negara. Sedang uang negara dari uang rakyat. Jadi harus distribusikan tepat sasaran agar tujuan program tercapai. Kalau yang dibagikan uang pribadi lurah, ya bebas mah diberikan siapa. Soalnya ini uang negara, harus tepat sasaran agar keadilan sosial tercapai.
*****
Terakhir saya protes ke Bu Lurah dan beliau tetap tidak adil, nepotisme, melindungi warga yang mampu untuk tetap menerima PKH karena pendukungnya. Maka dari situ, saya pertama kalinya bersumpah menaruhkan Nabi Muhammad saw karena selama ini di desa pembagian apapun nepotisme dan tidak transparan.
Saya katakan didepan beliau disaksikan 3 warga desa saya (Bapak Mardi, Bapak Saya, Bapak Susilo)
"Demi Allah, Rabb Semesta Alam yang tiada Tuhan kecuali Allah. Bila saya yang dzalim, tidak transparan, memakan uang negara (korupsi), nepotisme maka kelak mati saya susah, saya tidak diakui sebagai ummat Nabi Muhammad saw. Namun demi Allah, jika sebaliknya yang dzalim, nepotisme, tidak adil adalah bu lurah serta siapapun pendukungnya baik pemerintah desa, perangkat, pendamping PKH, maupun pihak dinsos yang pro kedzaliman dan masyarakat yang pro kedzaliman maka kelak matinya akan diahzab dan tidak diakui sebagai ummat nabi Muhammad saw".
Ini pertama kalinya saya bersumpah yang taruhannya nabi Muhammad. Saya yakin, Allah tidak tidur. Hisabnya adil. Karena ada unsur politis, dalam pemilihan BPD saja kedoknya demokrasi tapi faktanya sudah disetting siapa saja yang harus menang dan calonnya siapa saja, ada money politik, ada strategi black actions yang curang dan kalau dibahas fiqih jelas haromnya. Sejak sumpah itu saya tidak pernah protes. Saya haqul yakin pada janji Allah yang tak pernah dusta. Tiada yg saya lakukan selain memperbanyak amal kebaikan dan memperbanyak sholawat karena saya menaruhkan akherat saya. Jadi saya harus menjaga akhlak saya, kejujuran, keadilan saya. Saya lebih takut pada tidak diakui sebagai ummat nabi Muhammad daripada apapun. Hati saya mantab in syaAllah perjuangan saya tidak sia sia. Kedzaliman dan kecurangan akan mus ah pada waktunya, Allah adil dan kelak diantara kematian kami baik saya ataupun dia, warga desa saya akan menjadi saksi siapa yang dzalim pada fakir miskin, siapa yang nepotisme, siapa yang memakan uang rakyat dengan cara batil.
Duhai Allah...
Izinkan kelak di padang mahsyar aku menuntut keadilan pada orang orang yang mendzalimiku. Izinkan aku memimpin pasukan para fakir miskin yang semasa hidup didunia haknya dirampas
Ya Allah Ya Rabb...
Janji janji yang diingkari atas nama kedzaliman, tidaklah kulo halalkan sampai ada tanggung jawab atas janji yang diucapkan dan kedzaliman itu dihentikan.
Ya Allah Ya Rabb
Jika ingkar janji, kedzaliman, dan ketidakadilan tidak diperbaiki didunia izinkan kelak di akherat kami menagih keadilan. Berikan pahala orang yang dzalim pada pihak yang didzalimi. Dan bila pahala mereka telah habis, maka lemparkanlah dosa kami pada mereka sebagai penebus kedzaliman mereka selama di dunia. Sesungguhnya engkau Dzat Yang Maha Adil Hisab dan pembalasannya.
Aamiin...
Astagfirullah min kulli dzanbi wa alhamdulillah min kuli hal
Allahuma soli ala Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad
Yups, kisah Abu Nawas sangatlah banyak. Tak akan sanggup Halimah untuk menulis semuanya karena keterbatasan Halimah. Baiklah, akan Halimah ceritakan kisah Abu Nawas pura pura gila tatkala dipilih akan dijadikan seorang Hakim menggantikan sang ayah (Ayah Abu Nawas).
Lalu apa hubungannya dengan pura-pura gila sama pemilihan Hakim? Yups, ada dong. Kalau sang raja sudah berkehendak Abu Nawas yang hendak dijadikan hakim pengganti, maka titah itu tidak bisa ditolak. Kalau ditolak, hukumannya pancung atau dipenjara. Serem kan sistem kerajaan zaman dahulu?. Bukan Abu Nawas namanya bila tidak bisa melawan arus aturan dengan ide sikap gilanya.
Maka tiada jalan lain. Maka Abu Nawas pun meminta murid-muridnya yang jumlahnya ratusan untuk kotekan mengantarkannya ke makam sang ayah. Namanya murid diperintah gurunya ya dilaksanakan, wong santri itu samikna wa ato'na sama perintah guru supaya ilmunya barokah. Sembari murid murid pada kotekan menggunakan alat seadanya, dari bambu, ember, dan perabotan lainnya. Abu Nawas menari jogedan sepanjang jalan, sehingga orang-orang (masyarakat) menganggap Abu Nawas gila alias nggak waras.
Kabar Abu Nawas yang tiap hari dikotekin bambu muridnya dan jogetan sepanjang jalan menuju malam ayahnya pun sampai terdengar di telinga sang Baginda raja. Akhirnya karena menganggap Abu Nawas gila, sang raja pun mencari pengganti Abu Nawas untuk dijadikan hakim. Setelah pengangkatan hakim usai dilakukan, barulah Abu Nawas berhenti jogedan sepanjang jalan.
Mengapa Abu Nawas dipilih jadi hakim tidak mau? Bukankah jabatan Hakim itu enak, terpandang di hadapan manusia, disegani, gajinya gedhe, kenapa Abu Nawas justru tidak mau?. Memang kalau hidup hubbud Dunya, semua dinilai berdasarkan harta, pangkat, jabatan, kehormatan. Berbeda halnya jika hidupmu orientasinya akherat dan ridho Tuhan.
Abu Nawas tidak mau menjadi Hakim karena sang ayah (mantan Hakim) ketika menjelang wafat berpesan padanya.
"Le, Putraku Abu Nawas. Janganlah engkau mau jika dipilih menjadi Hakim," kata sang ayah.
"Mengapa yah, bukanlah Hakim itu jabatan yang enak?," tanya Abu Nawas.
"Ciumlah telinga kanan dan kiri ayah!," perintah sang ayah.
"Telinga kananmu wangi dan telinga kirimu berbau busuk wahai ayahku. Mengapa demikian?," tanya Abu Nawas.
"Kuberi tahu rahasia Putraku. Telinga kananku wangi karena aku adil dalam memutuskan perkara atau sengketa sehingga diridhoi Allah swt. Sedangkan telinga kiriku berbau busuk karena aku tidak adil dalam memutuskan perkara (nepotisme). Rasa sungkan mendorongku tidak adil. Maka janganlah engkau mau menjadi hakim. Memang terpandang di dunia, tapi kalau tidak adil akan dituntut rakyat atau orang yang bersengketa dan terdzalimi di hadapan Allah. Tuntutan di hadapan Allah ini memberatkan hisab u Wahai Putraku, " jawab sang ayah dengan linangan air mata.
Maka dari itu Abu Nawas menggunakan segala idenya untuk menolak pemilihan dirinya untuk diangkat menjadi seorang hakim. Karena kehidupan akherat lebih kekal daripada kehidupan dunia. Nikmat gaji dunia, siksa di akherat lebih sengsara.
Tak jauh berbeda dengan yang Halimah Takdimkan, Abu Nawas RA. Halimah pun sama. Sejak pertengahan Desember 2018, Halimah protes pembagian PKH (Program Keluarga Berencana) yang tidak tepat sasaran dimana ada beberapa warga yang lebih mampu dapat bantuan sosial PKH sedangkan warga yang sangat miskin dan butuh pertolongan serta memenuhi komponen PKH tidak memperoleh bantuan. Itu kan dzalim.
Protes menegakkan keadilan PKH bertahap saya lakukan mulai dari protes langsung ke Bu Lurah, dinas sosial bagian PKH, Pendamping PKH Kecamatan hingga membuat petisi dan surat terbuka di facebook yang saya tujukan pada Kementerian Sosial RI dan Presiden Joko Widodo. Alhasil tanpa saya duga, postingan saya yang biasanya yang like tidak ada 30, itu mencapai sekitar 2000 like dan ratusan komentar serta sekitar 6000 an di share. Karena merasa malu, akhirnya saya diundang sidang audiensi jalan tengah PKH.
Tuntutan saya ditindaklanjuti, tapi janjinya tidak dilakukan sepenuhnya dan menurut saya masih tidak adil. Yups, pertama protes saya sama Bu Lurah lalu Bu Lurah bilang nggak tahu soal PKH. What, masak lurah tidak tahu program di desa yang dipimpinnya, bagaimana tanggung jawabnga sebagai pemimpin untuk negara dan Allah swt.
Lalu saya pun ke Dinas Sosial bagian PKH protes dengan membawa data tetangga saya yang diajukan BDT yang pantas mendapatkan PKH dan tetangga saya yang termasuk mampu namun justru mendapatkan PKH. Sekedar catatan, saya protes PKH itu yang saya perjuangkan bukan keluarga saya melainkan fakir miskin di desa saya. Tujuan saya waktu itu, lilahi Ta'ala sebagai kenangan untuk desa saya dalam menegakkan keadilan untuk hak fakir miskin sebelum suatu saat nanti saya meninggalkan kota Blora dan berpindah ke kota lainnya. Jadi semua kenangan saya persiapkan.
Qodarullah paska protes ke desa, PKH Dinsos Kabupaten, Pendamping PKH Kecamatan, saya pun membuat petisi online untuk keadilan PKH. Selain petisi, saya juga membuat surat terbuka di facebook yang saya tag langsung ke kemensos RI dan Presiden Jokowi agar dilakukan survey ulang bagi penerima PKH. Dan penerima PKH yang tidak layak karena kategori mampu didesa tersebut di copot. Tanpa saya duga postingan surat terbuka saya viral bahkan hingga 6000 an orang share.
PKH DINSOS Kabupaten pun ditelfon kemensos supaya protes saya ditindaklanjuti. 6 nama yang saya minta untuk dicopot pun di survey ulang dan nama nama warga yang saya ajukan untuk didaftar BDT (Basis Data Terpadu). Maka survey ulang di desa saya pun dilakukan. Tanggal 6 Januari dilakukan audiensi di Balai desa Bandungrojo pukul 15.00 an sampai pukul 17.30 an. Dimana saya sendirian, diapit bu lurah beserta perangkat sekitar 8 orang, koordinator PKH Kabupaten dari Dinas Sosial 2 orang, dan pendamping PKH sekitar 10 orang. Jadi saya sendiri debat audiensi dengan 20 orang karena protes ketidakadilan distribusi PKH. Banyak tetangga yang nguping di samping balai desa. Saya pun mendatangkan fakir miskin yang tidak dapat PKH seperti Bu Ani, Bu Srimining, dan Bu Hari. Sebagaimana biasa, bagi saya ketika saya sendiri debat diapit orang banyak adalah latihan mental. Well saya paling tidak suka ketidakadilan.
Tanggal 1 Februari 2019, saya melaksanakan undangan sidang audiensi. Saya sendiri dengan kapolres Blora, bu lurah, ketua dinsos, Koordinator PKH Kabupaten, Koordinator Pendamping PKH Kecamatan dan beberapa staff dinsos. Alhamdulillah audiensi lancar, saya lancar menyampaikan petisi saya tanpa sedikit pun GROGI. Diliput wartawan infodesanews.com. Saya diapit puluhan, alhamdulillah Allah bersama saya sehingga mental saya kuat.
Sidang audiensi berlanjut dengan musyawarah desa (musdes) pada 5 April 2019. Alhamdulillah usulan saya menang dan disetujui dalam musyawarah bahwa warga yang mampu dikeluarkan keanggotaannya dari BDT agar semua bantuan Pemerintah tepat sasaran. Namun disini ada skandal sampai 20 Mei 2019, laporan berita acara musdes tidak dibuat desa atas instruksi bu lurah. Di sinilah unsur politis mulai bermain, dimana tanpa laporan berita acara maka data BDT Kabupaten tidak mau memperbaiki sekalipun ada bukti lapangan sudah survey ulang, ada foto, ada bukti nyata, sudah silaturahmi juga.
Lebih lengkapnya bacalah tulisan saya berikut ini. Tulisan dari pejuang ulung penegak keadilan PKH...
*****
Apa kabar keadilan, penghuni gubug reot tidak mendapatkan PKH, warga lebih mampu secara ekonomi dapatkan PKH?
BLORA, kasus ketidakadilan PKH (Program Keluarga Harapan) akhir-akhir ini marak diperbincangkan di sosial media. Hal itu lantaran banyaknya ditemui di lapangan, warga yang sangat miskin, memenuhi komponen PKH namun tidak menerima bantuan PKH. Sebaliknya, ada beberapa warga yang dirasa ekonominya lebih mampu justru mendapatkan bantuan PKH. Di manakah keadilan sosial yang digadang gadang sesuai cita bangsa dalam sila ke 5 pancasila.
Tak jauh berbeda, hal itu juga terjadi di Blora. Adanya temuan ketidakadilan juga tampak di facebook "Halimah Az Zakiyah" yang bernama asli Dewi Nur Halimah, warga Desa Bandungrojo, Kec. Ngawen, Kab Blora yang membongkar skandal ketidakadilan PKH.
"Warga yang gubugnya kecil, reot, tidak memiliki aset sawah, memiliki anak sekolah SD, kondisi sangat miskin (tergolong top 10 paling miskin di desa) tidak menerima bantuan PKH seperti Pak Muntaha, Pak Susilo, Bu Santi. Sebaliknya, warga yang lebih mampu dari mereka, memiliki sawah yang luas, rumah ukurannya besar dan lebih bagus dari mereka, punya kendaraan bermotor justru mendapatkan bantuan PKH seperti Bu Sri HARNANIK (RT 02/ RW 01 Desa Bandungrojo), Bu Sri Wahyuningsih (RT 04/ RW 01 Desa Bandungrojo) dan Bu Darmini (RT 04/ RW 01 Desa Bandungrojo). Ini salah sasaran, tidak sesuai tujuan program PKH untuk mengentaskan kemiskinan. Bagaimana tidak, yang dibantu bukan orang miskin tapi orang mampu. Bagaimana mungkin orang yang miskin tidak menerima bantuan, sementara yang kaya dapat?. Bagaimana mungkin warga yang ekonominya lebih baik bisa dimasukkan dalam BDT (Basis Data Terpadu) warga miskin, kemungkinan ada indikasi unsur nepotisme dari pihak desa. Jika memang adil, mereka berani mencabut keanggotaan BDT warga yang ekonominya lebih baik dengan aset yang banyak, mengingat ekonomi sifatnya dinamis. Oke dulu masuk BDT, sekarang sudah baik ekonominya ya dikeluarkan dari keanggotaan BDT agar penerima bantuan dari program pemerintah tepat sasaran", ungkap Halimah selaku aktivis keadilan dari Blora.
Halimah juga menuturkan bahwa Bu Lurah saat ditanya mengenai bagaimana warga mampu bisa terdaftar BDT yang merupakan data khusus warga miskin. Bu Lurah justru berkelit dan mengatakan seluruh warga desa di data semua dalam BDT. Halimah menegaskan kalau semua warga dimasukkan BDT ya salah besar, BDT itu untuk warga miskin ya jelas hasilnya tidak tepat sasaran. Kecuali data kependudukan ya semua warga diikutsertakan. Halimah menegaskan, ada kejanggalan yang terjadi. Bagaimana mungkin orang yang lebih mampu dibandingkan warga lainnya bisa menerima bantuan, sementara yang miskin tidak. Padahal salah satu syarat mendapatkan bantuan PKH adalah adanya surat keterangan tidak mampu dari desa. Bagaimana mungkin desa memberikan surat keterangan tidak mampu (rentan miskin) untuk warga mampu? Bukankah ini menyalahi peraturan dan pemalsuan data kemiskinan.
Baik pemberi dan pengguna surat palsu ini dapat dikenai hukuman pasal 263 KUHP. Dimana
disebutkan bahwa ayat 1 Pasal 263 KUHP mengatur pidana tentang orang yang membuat surat palsu. "Dalam hal ini yang bisa kena Ketua RT atau RW serta lurah atau kepala daerah, bisa dipidanakan". Sementara ayat 2 mengatur tentang orang yang menggunakan surat palsu yang seolah-olah benar itu. Dalam hal ini, warga yang ekonominya lebih mapan dibandingkan warga warga lain yang lebih miskin, telah merampas hak fakir miskin untuk memperoleh PKH sehingga sama halnya telah melakukan tindak pidana korupsi selama waktu dia menerima bantuan pemerintah. Padahal seharusnya bantuan itu lebih pantas diberikan pada warga lain yang reot, sangat miskin, dan memenuhi komponen PKH karena memiliki anak usia sekolah yang disekolahkan.
Ini menunjukkan masih adanya unsur nepotisme dan unsur politis dalam praktik lapangan di desa dalam input data BDT. Jika memang keadilan itu tegak, tentu Lurah menjadi pemimpin ya g menganyomi rakyat. Warga yang miskin yang memenuhi komponen PKH mendapatkan haknya memperoleh bantuan. Sementara warga yang ekonominya lebih bagus digiring untuk mengikuti program kemajuan UMKM desa. Bukan sebaliknya yang tidak tepat sasaran.
Halimah juga menuturkan, desa telah melakukan musyawarah desa (musdes) pada tanggal 5 April 2019 di Balai desa mulai pukul 19.00 (sekitar bakda isya') sampai sekitar pukul 22.00. Musyawarah desa itu dihadiri bu lurah, perangkat desa, ketua pendamping PKH Kecamatan Ngawen (Mas Syarif), BPD, Halimah selaku pemrotes dan para tokoh masyarakat dari tiap tiap dukuh desa Bandungrojo (Bandungrojo, Karangrowo, Papringan, Watumiring). Hasil musdes, warga yang mampu dikeluarkan dari kesertaanya di BDT dan disetujui oleh semua pihak. Namun dari pihak desa tidak mau membuat berita acara musdes dan justru musdes dibatalkan sepihak oleh desa. Saat dikonfirmasi alasan mengapa musdes dibatalkan padahal sudah dihadiri para tokoh masyarakat dan BPD yang merupakan wakil warga, Bu Lurah terdiam tidak bisa menjawab dan hanya mengatakan "Dibatalkan ya dibatalkan". Lalu dengan seenaknya membuat musdes kembali tanggal 18 Mei 2019, namun Halimah selaku penegak keadilan tidak bisa hadir karena jam 10.00 pagi adalah waktunya untuk mengajar. Meski demikian Halimah meminta keadilan dan hasil musdes dua duanya baik 5 April 2019 dan 18 Mei 2019 dibuat berita acaranya semua dan disetorkan. Namun dari pihak desa tidak mau, dan membatalkan sepihak musdes 5 April 2019. Ini menunjukkan bahwa desa semena mena menggunakan kekuasaan. Seandainya adil, tentu berani mengeluarkan warga yang mampu keberadaannya dari keanggotaan BDT. BDT itu basis data terpadu untuk warga miskin bukan warga mampu.
Sebenarnya jika seorang pemimpin itu adil, justru rakyat makin cinta. Bukan menggunakan kekuasaannya untuk nepotisme, memberikan program pada siapa yang dia senangi. Masalahnya yang dia distribusikan adalah program pemerintah yang sumber dananya dari uang negara. Sedang uang negara dari uang rakyat. Jadi harus distribusikan tepat sasaran agar tujuan program tercapai. Kalau yang dibagikan uang pribadi lurah, ya bebas mah diberikan siapa. Soalnya ini uang negara, harus tepat sasaran agar keadilan sosial tercapai.
*****
Terakhir saya protes ke Bu Lurah dan beliau tetap tidak adil, nepotisme, melindungi warga yang mampu untuk tetap menerima PKH karena pendukungnya. Maka dari situ, saya pertama kalinya bersumpah menaruhkan Nabi Muhammad saw karena selama ini di desa pembagian apapun nepotisme dan tidak transparan.
Saya katakan didepan beliau disaksikan 3 warga desa saya (Bapak Mardi, Bapak Saya, Bapak Susilo)
"Demi Allah, Rabb Semesta Alam yang tiada Tuhan kecuali Allah. Bila saya yang dzalim, tidak transparan, memakan uang negara (korupsi), nepotisme maka kelak mati saya susah, saya tidak diakui sebagai ummat Nabi Muhammad saw. Namun demi Allah, jika sebaliknya yang dzalim, nepotisme, tidak adil adalah bu lurah serta siapapun pendukungnya baik pemerintah desa, perangkat, pendamping PKH, maupun pihak dinsos yang pro kedzaliman dan masyarakat yang pro kedzaliman maka kelak matinya akan diahzab dan tidak diakui sebagai ummat nabi Muhammad saw".
Ini pertama kalinya saya bersumpah yang taruhannya nabi Muhammad. Saya yakin, Allah tidak tidur. Hisabnya adil. Karena ada unsur politis, dalam pemilihan BPD saja kedoknya demokrasi tapi faktanya sudah disetting siapa saja yang harus menang dan calonnya siapa saja, ada money politik, ada strategi black actions yang curang dan kalau dibahas fiqih jelas haromnya. Sejak sumpah itu saya tidak pernah protes. Saya haqul yakin pada janji Allah yang tak pernah dusta. Tiada yg saya lakukan selain memperbanyak amal kebaikan dan memperbanyak sholawat karena saya menaruhkan akherat saya. Jadi saya harus menjaga akhlak saya, kejujuran, keadilan saya. Saya lebih takut pada tidak diakui sebagai ummat nabi Muhammad daripada apapun. Hati saya mantab in syaAllah perjuangan saya tidak sia sia. Kedzaliman dan kecurangan akan mus ah pada waktunya, Allah adil dan kelak diantara kematian kami baik saya ataupun dia, warga desa saya akan menjadi saksi siapa yang dzalim pada fakir miskin, siapa yang nepotisme, siapa yang memakan uang rakyat dengan cara batil.
Duhai Allah...
Izinkan kelak di padang mahsyar aku menuntut keadilan pada orang orang yang mendzalimiku. Izinkan aku memimpin pasukan para fakir miskin yang semasa hidup didunia haknya dirampas
Ya Allah Ya Rabb...
Janji janji yang diingkari atas nama kedzaliman, tidaklah kulo halalkan sampai ada tanggung jawab atas janji yang diucapkan dan kedzaliman itu dihentikan.
Ya Allah Ya Rabb
Jika ingkar janji, kedzaliman, dan ketidakadilan tidak diperbaiki didunia izinkan kelak di akherat kami menagih keadilan. Berikan pahala orang yang dzalim pada pihak yang didzalimi. Dan bila pahala mereka telah habis, maka lemparkanlah dosa kami pada mereka sebagai penebus kedzaliman mereka selama di dunia. Sesungguhnya engkau Dzat Yang Maha Adil Hisab dan pembalasannya.
Aamiin...
Astagfirullah min kulli dzanbi wa alhamdulillah min kuli hal
Allahuma soli ala Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad
Tidak ada komentar :
Posting Komentar