SHALAT JUM’AT
*****
Diambil dari Kajian Kitab Fathul Mu'in
*****
Orang
yang pertama kali melakukan/ mendirikan solat jum’at adalah As’ad bin Zuharah. Pertama
kali ia melakukan shalat Jum’at di sebuah kampung berdekatan dengan Madinah. Solat
Jum’at pertama kali dilakukan pada zaman sebelum hijrah Nabi. Dinamakan solat
jum’at karena banyak orang berkumpul untuk melakukan solat pada hari Jum’at.
Selain itu, pada hari Jum’at merupakan waktu ketika Nabi Adam AS dan Siti Hawa
bertemu pada hari Jum’at, tepatnya di kota Muzdalifah. Muzdalifah di sebut juga
dengan Jam’an.
Yang diwajibkan melakukan solat Jum’at adalah:
1. Mukallaf
2. Laki-laki
3. Baligh
4. Berakal
Sehat/ waras
5. Tepat
pada waktunya solat Jum’at (waktu dhuhur).
Syarat shah Sholat Jum’at:
1. Solat
Jum’at harus dilakukan secara berjama’ah pada roka’at pertama.
2. Dikerjakan
minimal oleh 40 orang (minimal 1 imam dan 39 makmum), dimana semua orang (minimal 40 orang) tersebut telah memenuhi
persyaratan wajib shalat Jum’at, sekalipun sedang menderita sakit.
3. Di
selenggarakan pada tempat yang masuk wilayah balad (daerah) itu, sekalipun
sebuah padang masuk di wilayahnya, dan hendaklah tempat tersebut tidak sejauh
diperbolehkannya sholat qosor (kurang lebih 86 km), sekalipun tidak masih
bersambungan dengan bangunan.
4. Di
selenggarakan pada waktu dhuhur.
5. Shalat
Jum’at diselenggarkan sesudah dua khutbah, yang keduanya di khutbahkan setelah
matahari memasuki langit belahan barat.
Rukun-rukun Khutbah Jum’at:
1. Puji-pujian
terhadap Allah swt.
2. Sholawat
kepada Nabi Muhammad saw
3. Wasiyat
dengan taqwa kepada Allah swt.
4. Membaca
ayat Al Qur’an yang memberi kefahaman pada salah satu dua khutbah.
5. Do’a
ukhrawiy untuk sekalian mukminin.
Syarat-syarat dua khutbah:
1. Terdengar
oleh minimal 40 orang (maksudnya minimal terdengar oleh minimal 39 orang
jama’ah selain Khotib).
2. Dua
khutbah harus menggunakan bahasa arab (mengikuti jejak ulama shalaf dan
khalaf).
3. Khotib
yang kuasa berdiri harus dengan berdiri.
4. Suci
dari hadats besar dan kecil, juga pakaian, badan dan tempatnya, serta suci dari
najis yang tidak dima’fuw.
5. Menutup
aurot.
6. Duduk
diantara dua khutbah dengan tumakninah.
7. Muwalah
di antara dua khutbah.
Sunah-sunah Sholat Jum’at:
1. Mandi
sebelum berangkat sholat jum’at.
2. Sunah
berangkat pagi-pagi ke tempat sholat selain sang Khotib.
3. Sunah
berhias diri dengan pakaian yang bagus. Disunahkan memakai pakaian warna putih.
4. Sunah
memakai serban.
5. Sunah
memakai harum-haruman (minyak wangi non alkohol).
6. Sunah
Inshot (diam dengan penuh perhatian) pada khutbah.
Sunah-sunah di hari Jum’at:
1. Membaca
surat Al-Kahfi di hari Jum’at atau pada malam harinya.
2. Banyak-banyak
membaca sholawat Nabi saw, baik di siang hari atau di malam jum’atnya.
3. Banyak-banyak
berdoa di hari Jum’at sebab hari Jum’at (sayyidul ayam) adalah hari yang ijabah
doa untuk dikabulkan.
PERTANYAAN
DAN JAWABAN SEPUTAR SOLAT JUM’AT:
*****
1.
Bagaimanakah
hukumnya bila beberapa mahasiswa (katakanlah misah 4 mahasiswa) sedang seminar
atau lomba di Luar Negeri, sedang negara tersebut adalah negara minoritas islam
sehingga menjumpai masjidpun jarang dan menjumpai orang muslim pun sulit.
Bagaimana bila mereka mendirikan solat jum’at sendiri walaupun kurang dari 40
orang, mengingat solat Jum’at hukumnya wajib bagi laki-laki mukallaf yang sudah
baligh?
Jawaban:
Menurut
mahdzab Syafi’I solat Jum’at yang mereka kerjakan tidak memenuhi syarat syahnya
mendirikan sholat Jum’at sehingga tidak syah sholat jum’atnya. Karena syarat
minimal mendirikan solat jum’at adalah minimal 40 orang penduduk asli (bermukim
tetap) dalam suatu wilayah/ balad. Namun, menurut pendapat Abu Hanifah RA,
menurut beliau sholat Jum’at shah diselenggarakan hanya 4 orang, sekalipun
mereka semua hamba sahaya atau orang-orang musafir. Jadi sapat disimpulkan,
bila keempat mahasiswa tersebut mengikuti mahdzab Syafi’I, maka tidak syah
sholat jum’atnya, tetapi apabila mengikuti pendapat Abu Hanifah RA tetap shah
sholatnya. (Sumber: Fathul Mu’in, Bab Jum’at).
2.
Bagaimanakah
bila sholat Jum’at, imam sholat/ khotib
nya tuli? Apakah solatnya shah?
Jawab:
Shah,
karena shalat Jum’at meskipun imamnya tuli, ia masih bisa memahami apa yang ia
sampaikan/ katakan sendiri, yang penting 39 jama’ah (makmumnya) tetap bisa
mendengar apa yang beliau sampaikan terutama saat khutbah.
3.
Bagaimanakah
bila sholat Jum’at di kampus, semua jama’ahnya yang mayoritas mahasiswa
imigran, bukan bermukim tetap di suatu kampung/ tempat sedangkan mahasiswa yang
berasal dari wilayah setempat kurang dari 40 orang? Apakah sholat jum’atnya
shah?
Jawab:
Menurut mahdzab Imam
Syafi’I, sholat jum’ahnya (shalat mereka) tetap shah TETAPI syarat
mendirikannya sholat jum’at tidak shah. Karena sarat wajib mendirikan sholat
jum’at minimal ada 40 orang muqim mutawathin (penduduk asli/ yang bermukim
tetap) di suatu wilayah. Mahasiswa imigran termasuk ke dalam muqim ghoiru
mutawathin (bukan penduduk setempat) karena setelah mereka lulus/ wisuda
kembali ke daerah asalnya masing-masing.
4.
Bagaimanakah
bila seseorang tidak melakukan sholat Jum’at karena sakit (sudah sakit keras
sejak dari rumah, misal: diabetes, patah tulang sehingga di kursi roda, struk,
dan penyakit kronis lainnya)? Dan bagaimanakah bila seorang laki-laki mukallaf
berbadan sehat, lantas berangkat shalat Jum’at namun begitu tiba di masjid lalu
sakit, apakah ia tetap wajib melakukan sholat Jum’at?
Jawab:
Menurut perspektif yang dijelaskan dalam kitab
Fathul Mu’in bahwasannya orang sakit (misal: diabetes, patah tulang sehingga di
kursi roda, struk, dan penyakit kronis lainnya) yang menyebabkannya tidak bisa datang ke tempat diselenggarakannya
sholat Jum’at stelah matahari memasuki belahan langit barat, tidak wajib melakukan
shalat Jum’at. BERBEDA dengan orang yang dari rumah sehat, lantas berangkat ke
masjid untuk menunaikan sholat Jum’at, ternyata sampai masjid sakit, ia tetap
wajib melakukan sholat Jum’at.
5.
Bagaimankah
bila dalam suatu desa, jumlah laki-lakinya yang baligh, mukallaf, berakal
kurang dari 40 orang. Bagaiamanakah cara mendirikan sholat Jum’atnya bila
kurang dari 40 orang yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at?
Jawaban:
Sholat jum’at tetap wajib didirikan oleh laki-laki
yang mukallaf, baligh, berakal sehat meskipun di tempatnya kurang dari 40 orang
yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at. Caranya, orang tersebut (yang
jumlahnya kurang dari 40 orang) mendatangi tempat yang panggilan jum’ah (adzan
sholat jum’atnya) masih dapat di dengar dan turut bergabung sholat jum’at di
tempat tersebut.
6.
Bagaimanakah
hukumnya bila sholat Jum’at dipenuhi dengan budak dan anak-anak yang belum
baligh sementara jumlah orang mukallaf yang sudah baligh dan berakal sehat
kurang dari 40 orang? Apakah sholat mereka shah dan apakah syarat mendirikan
sholat Jum’ahnya juga shah?
Jawaban:
Sholat Jum’ahnya tidak shah dengan dipenuhinya budak
dan anak-anak yang belum baligh. Karena syarat mendirikan sholat jum’at itu
minimal ada 40 orang yang mukallah, baligh, berakal sehat, dan bermukim tetap
sedangkan anak-anak belum baligh. Jadi belum memenuhi syarat. Namun shalat
mereka (budak dan anak-anak) tetap shah. Hanya alangkah baiknya mereka (budak
dan anak-anak) menunda takbirotul ikrom sampai sesudah takbirnya 40 orang yang
shah Jum’ahnya dengan kepenuhan mereka.
7.
Bagaimanakah
hukumnya bila shalat jum’at dilakukan secara munfarid?
Jawaban:
Sholat Jum’at yang sudah cukup bilangannya TIDAK
SHAH apabila dikerjakan secara munfarid (sendiri-sendiri = tidak berjama’ah). Terlebih
salah satu syarat utama shahnya shalat Jum’at adalah Shalat Jum’ah harus dengan
berjama’ah pada rokaat pertama.
8.
Bagaimanakah
bila sholat Jum’at, pada rokaat pertama dilakukan secara berjama’ah lalu pada
rokaat kedua sang imam sedang hadats yang menyebabkan rokaat kedua dilakukan
secara munfarid (meneruskan sholat sendiri-sendiri secara munfarid), apakah
sholat Jum’ahnya tetap shah ataukah batal?
Jawaban:
Sholat Jum’at TETAP SHAH karena yang disyaratkan
wajib dilakukan berjama’ah adalah rokaat pertama, sedangkan pada rokaat kedua
tidak harus disyaratkan harus berjama’ah. Maka misalkan pada roka’at pertama
imam sholat berjama’ah dengan makmum 40 orang, lalu imam hadats, kemudian
mereka meneruskan sendiri-sendiri secara munfarid, atau pada roka’at kedua
makmum mufaroqoh dengan imam dan meneruskan sendiri-sendiri secara munfarid,
sholat jum’ahnya TETAP SHAH.
9.
Bagaimanakah
bila pada sholat Jum’at, yang jumlahnya memenuhi syarat mendirikan sholat
jum’at ada 40 orang, lantas salah satu dinataranya hadast sebelum sampai
semuanya salam, apakah sholat Jum’at nya SHAH?
Jawaban:
Shalat Jum’ahnya batal semua sebab 40 orang itu
(khotib dan minimal 39 orang yang memenuhi syarat sholat jum’at) harus tetap
ada sampai mereka semuanya bersalam. Sehingga, misalkan apabila Jum’ahan itu
hanya diikuti persis 40 orang, kemudian salah seorang diantaranya berhadats
sebelum salam sekalipun orang-orang selain dia sudah bersalam, maka batallah
sholat Jum’at mereka semua.
10. Bagaimanakah bila dalam sholat
Jum’at yang jumlahnya ada 40 orang yang memenuhi syarat sholat jum’at
(mukallaf, baligh, berakal sehat) namun ada satu atau lebih orang yang taqshir/
malas belajar sehingga bacaannya tidak fasih? Apakah sholat jum’ahnya shah?
Jawaban:
Apabila sholat Jum’at yang diselenggarakan hanya
genap 40 orang saja yang memenuhi syarat sholat jum’at (mukallaf, baligh,
berakal sehat) dan diantara 40 orang tersebut ternyata ada yang taqshir/ malas
belajar membaca sehingga bacaaanya tidak fasih, maka sholat Jum’at mereka TIDAK
SHAH sebab batal satu berarti bilangan 40 menjadi kurang. Nah maka dari itu,
apabila jumlah 40 itu tidak ada taqshir/ malas maka Jum’ah mereka tetap SHAH.
11. Bagaimanakah bila khutbah tidak
didengar oleh 40 orang (minimal 39 selain khotib)?
Jawaban:
Apabila khutbah tidak didengar oleh 40 orang (khotib
dan 39 selain khotib), maka khutbah dianggap belum dikerjakan sebab rukun
khutbah harus didengar minimal oleh 40 orang yang memenuhi syarat Jum;at.
12. Apabila seorang laki-laki mukallaf,
baligh, berakal sehat memiliki 2 rumah di dua balad yang berbeda? Bagaimanakah
sebaiknya ia memilih untuk mendirikan sholat Jum’at?
Jawaban:
Maka hendaknya laki-laki tersebut yang memiliki dua
rumah/ lebih di dua tempat yang berbeda memilih mendirikan shalat Jum’at di
tempat yang ia diami bersama keluarganya. Kalau sama-sama ditempatinya, misal
di A rumah istri pertama dan di B rumah istri kedua dan seterusnya, maka ia
boleh mendirikan sholat pada tempat dimana ia berada pada waktu sholat Jum’at
diselenggarakan.
13. Bagaimanakah hukumnya bila suatu desa
berpenduduk mencapai 40 orang yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at
(mukallaf, baligh, berakal sehat, bermukim tetap), namun ada seorang atau 2
orang atau lebih justru melakukan sholat jum’at di kota sehingga bilangan 40
itu menjadi berkurang dan tidak dapat
mendirikan sholat jum’at di baladnya sendiri?
Jawaban:
Apabila di suatu desa berpenduduk mencapai genap 40
orang, amka wajib menyelenggarakan sholat Jum’at di desanya sendiri. Menurut
pendapat Mu’tamad, HARAM hukumnya
jika meniadakan sholat jum’at di desanya dan pergi melakukannya ke lain balad,
yang sekalipun mereka masih dapat mendengar panggilan Jum’ahnya dari desa
sendiri.
Ibnu Rif’ah dan lainnya berkata: Sebenarnya ketika
40 orang penduduk suatu desa itu mendengar panggilan sholat Jum’at (Adzan
Jum’at) dari kota, mereka boleh memilih menunaikan sholat Jum’at di kota atau
menunaikan sholat Jum’at di kampung sendiri. Namun apabila mereka memilih pergi
ke kota, mereka tidak dapat menyempurnakan bilangan shahnya shalat Jum’at,
sebab berkedudukan sebagai musafir. Dan dengan perginya ia ke kota
menjadikannya bilangan 40 di desanya yang memenuhi syarat mendirikan sholat
Jum’at menjadi berkurang dan tidak shah. Sebagai akibatnya, karena kurang dari
40 sebab sholat Jum’atnya beberapa orang yang ke kota, maka penduduk yang
memenuhi syarat sholat jum’at wajib menunaikan sholat Jum’at di desa sebelah
yang panggilan sholat Jum’atnya dapat mereka dengar.
14. Bagaimanakah hendaknya bila dalam
suatu tempat diselenggarakan beberapa sholat Jum’at?
Jawaban:
Hendaknya sholat jum’at tidak didahului atau
dibarengi takbirotul ikromnya oleh sholat Jum’at lain yang diselenggarakan pada
tempat itu.
15. Bagaimanakah cara melakukan sholat
Jum’at?
Jawaban:
Shalat Jum’at diselenggarakan sesudah dua khutbah
yang keduanya dikhutbahkan setelah matahari memasuki langit belahan barat.
16. Bagaimanakah hukumnya bila suatu
desa yang berpenduduk tetap memiliki 40 penduduk yang memenuhi persyaratan
mendirikan sholat jum’at (laki-laki, mukallaf, baligh, berakal sehat), namun
hanya menunaikan sholat dhuhur dan tidak menunaikan sholat Jum’at. Apakah
sholat dhuhurnya SHAH?
Jawaban:
Hukumnya adalah seluruh penduduk desa tersebut dosa
karena meninggalkan kewajiban sholat Jum’at. Apabila penduduk suatu desa tidak
mengerjakan sholat Jum’at dan hanya mengerjakan sholat dhuhur, maka shalatnya
TIDAK SHAH selagi waktu masih mencukupi untuk mengerjakan yang wajib pada dua
khutbah dengan shalatnya. Meskipun telah diketahui bahwasannya kebiasaan warga
di desa tersebut tidak pernah menyelenggarakan sholat Jum’at.
17. Bagaimanakah bila dalam khutbah
menyebutkan doa`untuk mendoakan para wali, sohabat, muslimin dan muslimat?
Jawaban:
Sunnah mendoakan para wali dan sohabat, termasuk jua
mendoakan wali-wali muslimin, angkatan bersenjata muslimin, dengan dimohonkan
kemenangan, kemaslahatan, kemenangan, dan berlaku adil.
18. Bagaimanakah hukumnya bila dalam
Jum’atan ada 40 orang persis yang memenuhi syarat didirikannya jum’atan (yakni
laki-laki, mukallaf, baligh, dan berakal sehat), namun ada satu makmum yang
tuli sehingga yang mampu mendengar hanya 39 (imam dan 38 makmum)?
Jawaban:
Sholat jum’at TIDAK SHAH karena yang mampu mendengar
apa yang disampaikan Khotib tidak ada 40 orang. Salah stu syarat shahnya Jum’atan
adalah suara Khotib mampu didengar minimal 40 orang yang memenuhi persyaratan
mendirikan sholat jum’at termasuk khotib juga (minimal khotib dan 39 jama’ah
selain Khotib).
19. Apakah boleh khutbah disampaikan
menggunakan bahasa daerah setempat (bukan menggunakan bahasa arab)?
Jawaban:
Khutbah harus disampaikan menggunakan bahasa arab.
NAMUN apabila khotib tidak sempat mempelajari bahasa arabsampai sebelum waktu
mendesak, karena dhorurot maka boleh berkhutbah menggunakan bahasa daerah
setempat. Kalau ada waktu yang memungkinkannya sempat untuk belajar, maka hukumnya fardhu kifayah untuk
mempelajarinya terlebih dahulu khutbah bahasa arab.
20. Mengapa khutbah Jum’at diharuskan
menggunakan bahasa arab (kecuali dhirurot, khotib tidak sempat mempelajarinya
maka diperbolehkan menggunakan bahasa setempat). Padahal kan bila menggunakan
bahasa arab, tidak semua jama’ah Jum’at mampu memahami apa yang disampaikan
khotib?
Jawaban:
Karena meskipun menggunakan bahasa arab (walaupun
jama’ah sholat Jum’at tidak tahu artinya apa yang disampaikan khotib), tetapi
jama’ah tahu bahwa apa yang disampaikan oleh khotib adalah nasehat yang berisi
wasiyat untuk taqwa pada Allah SWT. (Berdasarkan penjelasan Al Qodli pada kitab
Fathul Mu’in).
21. Bagaimanakah cara mandi yang sesuai
anjuran sunah Jum’ah?
Jawaban:
Sunah mandi sholat jum’ah yaitu:
a. Mandi
dapat dilakukan sejak mulai terbit fajar hari Jum’ah
b. Apabila
orang yang berpuasa kawatir degan mandi dapat membatalkan puasanya sebab
masuknya air ke telinga atau lubang anggota tubuh, maka alangkah baiknyatidak
usah mandi Jum’ah.
c. Mandi
yang paling utama adalah mandi yang dikerjakan mendekati waktu berangkat sholat
Jum’at.
d. Kalau
sekiranya mandinya antri, dan kawatir telat berangkat ke masjid untuk
menunaikan sholat Jum’at. Lebih baik mandinya saat fajar atau persiapan sebelum
waktu sholat Jum’at dimulai.
22. Bagaimanakah sunah cara bepergian
ke masjid atau ke tempat diselenggarakannya sholat Jum’at?
Jawaban:
Saat hendak berangkat ke tempat sholat Jum’at,
alangkah baiknya disunahkan untuk memilih jalan yang jurusannya lebih jauh,
kemudian saat pulang melewati jalan yang lebih dekat. MAKRUH hukumnya waktu
pergi sholat Jum’at dengan berlari dan juga ibadah-ibadah yang lainnya, KECUALI
jika waktu mendesak dimana bila tidak berlari menyebabkan akan tertinggal
ibadah yang hendak dilakukan.
23. Bagaimanakah sunahnya berhias diri
sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at?
Jawaban:
Sunah berhias diris sebelum sholat Jum’at yaitu:
a. Memakai
pakaian yang paling bagus, diutamakan yang berwarna putih.
b. Makruh
memakai pakaian yang dicelupkan sesudah ditenun, sekalipun bukan warna merah.
c. HARAM
(bagi laki-laki) berhias diri menggunakan pakaian sutera sekalipun dengan
sutera quss (sutera yang berwarna kelabu).
24. Bagaimanakah cara memakai sorban
bagi lelaki yang hendak jum’atan sesuai sunnah Jum’ah?
Jawaban:
Menurut Ibnul Hajj Al Maliki menjelaskan hendaknya
saat memakai sorban dilakukan sambil berdiri dan memakai celana sambil duduk. Menurut
Asy-Syaikhon, bagi orang yang memakai sorban, boleh melengkapinya dengan adzbah
(sepotong kain yang ditempelkan pada ujung sorban) dan boleh pula tidak.
Melengkapinya atau tidak sama-sama tidak makruh.
25. Mengapa memakai santal hanya
sebelah hukumnya makruh?
Jawaban:
Karena dikawatirkan kaki sebelah yang tidak memakai
sandal, saat menginjak tanah terkena najis sehingga kondisi badan pun menjadi
najis yang mengakibatkan tidak sah sholat karena kondisi badan tidak suci dari najis.
26. Bagaimanakah cara memotong kuku
yang sesuai anjuran sunah jum’ah?
Jawaban:
Sunah memotong kuku di kedua tangan kaki adalah:
a. Pemotongan
kuku sebaiknya dilakukan pada hari Kamis atau pagi hari Jum’atnya.
b. Cara
memotong kuku hitam tangan adalah dimulai dari telunjuk kanan sampai
kelingkingnya, kemudian ibu jarinya, lalu kelingking kiri sampai ibu jarinya.
c. Cara
memotong kuku hitam kaki adalah dimulai dari kelingking kanan kaki hingga
kelingking kiri kaki dengan urut.
d. Sebaiknya
setelah kuku dipotong, segera dicuci hingga bersih.
27. Bagaimanakah cara memotong kumis
yang sesuai anjuran sunnah Jum’ah?
Jawaban:
Sunnah memotong kumis dilakukan dengan mencukur
kumis sampai kelihatan warna merah di bibirnya, serta menghilangkan bau busuk
dan membersihkan kotoran di badannya.
28. Bagaimanakah hukumnya mencabut bulu
hidung?
Jawaban:
Hukum mencabut bulu hidung adalah MAKRUH karena
dapat mengganggu kesehatan sebab bulu hidung berfungsi menyaring kotoran yang
masuk ke paru-paru.
*****
UCAPAN
TERIMAKASIH
Sebagai rasa takdim penulis, penulis
ucapkan terimakasih pada Abah KH. Muharor Ali selaku pengasuh PP. Khozinatul
Ulum. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmadNya kepada beliau,
memberikan nikmat panjang umur, melimpahkan rizkinya, dan memuliakannya sebagai
golongan orang-orang beruntung. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada
Pak Ustads Sutaji selaki ustadz yang mengampu pelajaran FATHUL Mu’in sehingga
menginspirasi penulis untuk menulis artikel ini. Semoga Allah swt senantiasa memuliakan para
guru penulis, memberikan rahmad dan kasihNya sebab melalui perantara gurulah
seorang murid dapat memahami suatu ilmu hingga dapat mengamalkannya. Mohon
doanya semoga penulis senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya,
dapat bermanfaat di sepanjang hayatnya, dan dapat memperbaiki diri untuk
menjadi lebih baik. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan
semoga akhir hayat kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.
Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare. Semoga
dengan membagikan tulisan ini dapat menjadi amal jariyah penulis jua guru
penulis serta orang yang membagikan tulisan ini. Mohon doanya semoga penulis
mendapatkan ilmu yang berkah dan senantiasa bermanfaat, serta menjadi santri
yang berhasil dalam menimba ilmu serta tawadhu’. Tulisan ini tidaklah sempurna,
sebab penulispun jua manusia yang tak luput dari dosa. Maka dari itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulis pertimbangkan pada
penulisan selanjutnya. Saran dan kritik: WA 085725784395/ email. halimahundip@gmail.com. Semoga
bermanfaat.
Tiada yang lebih utama
dari sebuah ilmu yakni ilmu yang diamalkan dan dibagikan pada kaum muslimin
lainnya. Maka atas setiap ilmu yang kau dapatkan, ajarkan pula pada yang
lainnya sebagai jalan dakwahmu akan kebaikan sembari engkau amalkan.
REFERENSI:
Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Mulibari. Fathul Mu’in. Semarang: Pustaka Al Alawiyah.
Halaman 39-43.