HALIMAH BINTI MASDARI

Senin, 21 Agustus 2017

FIQIH SHALAT JUM'AT

            SHALAT JUM’AT          
 *****
           Diambil dari Kajian Kitab Fathul Mu'in
***** 
 
 
          Orang yang pertama kali melakukan/ mendirikan solat jum’at adalah As’ad bin Zuharah. Pertama kali ia melakukan shalat Jum’at di sebuah kampung berdekatan dengan Madinah. Solat Jum’at pertama kali dilakukan pada zaman sebelum hijrah Nabi. Dinamakan solat jum’at karena banyak orang berkumpul untuk melakukan solat pada hari Jum’at. Selain itu, pada hari Jum’at merupakan waktu ketika Nabi Adam AS dan Siti Hawa bertemu pada hari Jum’at, tepatnya di kota Muzdalifah. Muzdalifah di sebut juga dengan Jam’an.
            Yang diwajibkan melakukan solat  Jum’at adalah:
1.      Mukallaf
2.      Laki-laki
3.      Baligh
4.      Berakal Sehat/ waras
5.      Tepat pada waktunya solat Jum’at (waktu dhuhur).
Syarat shah Sholat Jum’at:
1.      Solat Jum’at harus dilakukan secara berjama’ah pada roka’at pertama.
2.      Dikerjakan minimal oleh 40 orang (minimal 1 imam dan 39 makmum), dimana semua orang  (minimal 40 orang) tersebut telah memenuhi persyaratan wajib shalat Jum’at, sekalipun sedang menderita sakit.
3.      Di selenggarakan pada tempat yang masuk wilayah balad (daerah) itu, sekalipun sebuah padang masuk di wilayahnya, dan hendaklah tempat tersebut tidak sejauh diperbolehkannya sholat qosor (kurang lebih 86 km), sekalipun tidak masih bersambungan dengan bangunan.
4.      Di selenggarakan pada waktu dhuhur.
5.      Shalat Jum’at diselenggarkan sesudah dua khutbah, yang keduanya di khutbahkan setelah matahari memasuki langit belahan barat.
Rukun-rukun Khutbah Jum’at:
1.      Puji-pujian terhadap Allah swt.
2.      Sholawat kepada Nabi Muhammad saw
3.      Wasiyat dengan taqwa kepada Allah swt.
4.      Membaca ayat Al Qur’an yang memberi kefahaman pada salah satu dua khutbah.
5.      Do’a ukhrawiy untuk sekalian mukminin.
Syarat-syarat dua khutbah:
1.      Terdengar oleh minimal 40 orang (maksudnya minimal terdengar oleh minimal 39 orang jama’ah selain Khotib).
2.      Dua khutbah harus menggunakan bahasa arab (mengikuti jejak ulama shalaf dan khalaf).
3.      Khotib yang kuasa berdiri harus dengan berdiri.
4.      Suci dari hadats besar dan kecil, juga pakaian, badan dan tempatnya, serta suci dari najis yang tidak dima’fuw.
5.      Menutup aurot.
6.      Duduk diantara dua khutbah dengan tumakninah.
7.      Muwalah di antara dua khutbah.
Sunah-sunah Sholat Jum’at:
1.      Mandi sebelum berangkat sholat jum’at.
2.      Sunah berangkat pagi-pagi ke tempat sholat selain sang Khotib.
3.      Sunah berhias diri dengan pakaian yang bagus. Disunahkan memakai pakaian warna putih.
4.      Sunah memakai serban.
5.      Sunah memakai harum-haruman (minyak wangi non alkohol).
6.      Sunah Inshot (diam dengan penuh perhatian) pada khutbah.
Sunah-sunah di hari Jum’at:
1.      Membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at atau pada malam harinya.
2.      Banyak-banyak membaca sholawat Nabi saw, baik di siang hari atau di malam jum’atnya.
3.      Banyak-banyak berdoa di hari Jum’at sebab hari Jum’at (sayyidul ayam) adalah hari yang ijabah doa untuk dikabulkan.       

PERTANYAAN DAN JAWABAN SEPUTAR SOLAT JUM’AT:
*****  
1.      Bagaimanakah hukumnya bila beberapa mahasiswa (katakanlah misah 4 mahasiswa) sedang seminar atau lomba di Luar Negeri, sedang negara tersebut adalah negara minoritas islam sehingga menjumpai masjidpun jarang dan menjumpai orang muslim pun sulit. Bagaimana bila mereka mendirikan solat jum’at sendiri walaupun kurang dari 40 orang, mengingat solat Jum’at hukumnya wajib bagi laki-laki mukallaf yang sudah baligh?
Jawaban:
Menurut mahdzab Syafi’I solat Jum’at yang mereka kerjakan tidak memenuhi syarat syahnya mendirikan sholat Jum’at sehingga tidak syah sholat jum’atnya. Karena syarat minimal mendirikan solat jum’at adalah minimal 40 orang penduduk asli (bermukim tetap) dalam suatu wilayah/ balad. Namun, menurut pendapat Abu Hanifah RA, menurut beliau sholat Jum’at shah diselenggarakan hanya 4 orang, sekalipun mereka semua hamba sahaya atau orang-orang musafir. Jadi sapat disimpulkan, bila keempat mahasiswa tersebut mengikuti mahdzab Syafi’I, maka tidak syah sholat jum’atnya, tetapi apabila mengikuti pendapat Abu Hanifah RA tetap shah sholatnya. (Sumber: Fathul Mu’in, Bab Jum’at).                     
2.      Bagaimanakah  bila sholat Jum’at, imam sholat/ khotib nya tuli? Apakah solatnya shah?
Jawab:
Shah, karena shalat Jum’at meskipun imamnya tuli, ia masih bisa memahami apa yang ia sampaikan/ katakan sendiri, yang penting 39 jama’ah (makmumnya) tetap bisa mendengar apa yang beliau sampaikan terutama saat khutbah.     
3.      Bagaimanakah bila sholat Jum’at di kampus, semua jama’ahnya yang mayoritas mahasiswa imigran, bukan bermukim tetap di suatu kampung/ tempat sedangkan mahasiswa yang berasal dari wilayah setempat kurang dari 40 orang? Apakah sholat jum’atnya shah?
Jawab:
 Menurut mahdzab Imam Syafi’I, sholat jum’ahnya (shalat mereka) tetap shah TETAPI syarat mendirikannya sholat jum’at tidak shah. Karena sarat wajib mendirikan sholat jum’at minimal ada 40 orang muqim mutawathin (penduduk asli/ yang bermukim tetap) di suatu wilayah. Mahasiswa imigran termasuk ke dalam muqim ghoiru mutawathin (bukan penduduk setempat) karena setelah mereka lulus/ wisuda kembali ke daerah asalnya masing-masing.
4.      Bagaimanakah bila seseorang tidak melakukan sholat Jum’at karena sakit (sudah sakit keras sejak dari rumah, misal: diabetes, patah tulang sehingga di kursi roda, struk, dan penyakit kronis lainnya)? Dan bagaimanakah bila seorang laki-laki mukallaf berbadan sehat, lantas berangkat shalat Jum’at namun begitu tiba di masjid lalu sakit, apakah ia tetap wajib melakukan sholat Jum’at?
Jawab:
Menurut perspektif yang dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in bahwasannya orang sakit (misal: diabetes, patah tulang sehingga di kursi roda, struk, dan penyakit kronis lainnya) yang menyebabkannya tidak bisa datang ke tempat diselenggarakannya sholat Jum’at stelah matahari memasuki belahan langit barat, tidak wajib melakukan shalat Jum’at. BERBEDA dengan orang yang dari rumah sehat, lantas berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at, ternyata sampai masjid sakit, ia tetap wajib melakukan sholat Jum’at.
5.      Bagaimankah bila dalam suatu desa, jumlah laki-lakinya yang baligh, mukallaf, berakal kurang dari 40 orang. Bagaiamanakah cara mendirikan sholat Jum’atnya bila kurang dari 40 orang yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at?
Jawaban:
Sholat jum’at tetap wajib didirikan oleh laki-laki yang mukallaf, baligh, berakal sehat meskipun di tempatnya kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at. Caranya, orang tersebut (yang jumlahnya kurang dari 40 orang) mendatangi tempat yang panggilan jum’ah (adzan sholat jum’atnya) masih dapat di dengar dan turut bergabung sholat jum’at di tempat tersebut.   
6.      Bagaimanakah hukumnya bila sholat Jum’at dipenuhi dengan budak dan anak-anak yang belum baligh sementara jumlah orang mukallaf yang sudah baligh dan berakal sehat kurang dari 40 orang? Apakah sholat mereka shah dan apakah syarat mendirikan sholat  Jum’ahnya juga shah?
Jawaban:
Sholat Jum’ahnya tidak shah dengan dipenuhinya budak dan anak-anak yang belum baligh. Karena syarat mendirikan sholat jum’at itu minimal ada 40 orang yang mukallah, baligh, berakal sehat, dan bermukim tetap sedangkan anak-anak belum baligh. Jadi belum memenuhi syarat. Namun shalat mereka (budak dan anak-anak) tetap shah. Hanya alangkah baiknya mereka (budak dan anak-anak) menunda takbirotul ikrom sampai sesudah takbirnya 40 orang yang shah Jum’ahnya dengan kepenuhan mereka.         
7.      Bagaimanakah hukumnya bila shalat jum’at dilakukan secara munfarid?
Jawaban:
Sholat Jum’at yang sudah cukup bilangannya TIDAK SHAH apabila dikerjakan secara munfarid (sendiri-sendiri = tidak berjama’ah). Terlebih salah satu syarat utama shahnya shalat Jum’at adalah Shalat Jum’ah harus dengan berjama’ah pada rokaat pertama.   
8.      Bagaimanakah bila sholat Jum’at, pada rokaat pertama dilakukan secara berjama’ah lalu pada rokaat kedua sang imam sedang hadats yang menyebabkan rokaat kedua dilakukan secara munfarid (meneruskan sholat sendiri-sendiri secara munfarid), apakah sholat Jum’ahnya tetap shah ataukah batal?
Jawaban:
Sholat Jum’at TETAP SHAH karena yang disyaratkan wajib dilakukan berjama’ah adalah rokaat pertama, sedangkan pada rokaat kedua tidak harus disyaratkan harus berjama’ah. Maka misalkan pada roka’at pertama imam sholat berjama’ah dengan makmum 40 orang, lalu imam hadats, kemudian mereka meneruskan sendiri-sendiri secara munfarid, atau pada roka’at kedua makmum mufaroqoh dengan imam dan meneruskan sendiri-sendiri secara munfarid, sholat jum’ahnya TETAP SHAH.
9.      Bagaimanakah bila pada sholat Jum’at, yang jumlahnya memenuhi syarat mendirikan sholat jum’at ada 40 orang, lantas salah satu dinataranya hadast sebelum sampai semuanya salam, apakah sholat Jum’at nya SHAH?
Jawaban:
Shalat Jum’ahnya batal semua sebab 40 orang itu (khotib dan minimal 39 orang yang memenuhi syarat sholat jum’at) harus tetap ada sampai mereka semuanya bersalam. Sehingga, misalkan apabila Jum’ahan itu hanya diikuti persis 40 orang, kemudian salah seorang diantaranya berhadats sebelum salam sekalipun orang-orang selain dia sudah bersalam, maka batallah sholat Jum’at mereka semua.
10.  Bagaimanakah bila dalam sholat Jum’at yang jumlahnya ada 40 orang yang memenuhi syarat sholat jum’at (mukallaf, baligh, berakal sehat) namun ada satu atau lebih orang yang taqshir/ malas belajar sehingga bacaannya tidak fasih? Apakah sholat jum’ahnya shah?
Jawaban:
Apabila sholat Jum’at yang diselenggarakan hanya genap 40 orang saja yang memenuhi syarat sholat jum’at (mukallaf, baligh, berakal sehat) dan diantara 40 orang tersebut ternyata ada yang taqshir/ malas belajar membaca sehingga bacaaanya tidak fasih, maka sholat Jum’at mereka TIDAK SHAH sebab batal satu berarti bilangan 40 menjadi kurang. Nah maka dari itu, apabila jumlah 40 itu tidak ada taqshir/ malas maka Jum’ah mereka tetap SHAH.        
11.  Bagaimanakah bila khutbah tidak didengar oleh 40 orang (minimal 39 selain khotib)?
Jawaban:
Apabila khutbah tidak didengar oleh 40 orang (khotib dan 39 selain khotib), maka khutbah dianggap belum dikerjakan sebab rukun khutbah harus didengar minimal oleh 40 orang yang memenuhi syarat Jum;at.
12.  Apabila seorang laki-laki mukallaf, baligh, berakal sehat memiliki 2 rumah di dua balad yang berbeda? Bagaimanakah sebaiknya ia memilih untuk mendirikan sholat Jum’at?
Jawaban:
Maka hendaknya laki-laki tersebut yang memiliki dua rumah/ lebih di dua tempat yang berbeda memilih mendirikan shalat Jum’at di tempat yang ia diami bersama keluarganya. Kalau sama-sama ditempatinya, misal di A rumah istri pertama dan di B rumah istri kedua dan seterusnya, maka ia boleh mendirikan sholat pada tempat dimana ia berada pada waktu sholat Jum’at diselenggarakan.
13.  Bagaimanakah hukumnya bila suatu desa berpenduduk mencapai 40 orang yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at (mukallaf, baligh, berakal sehat, bermukim tetap), namun ada seorang atau 2 orang atau lebih justru melakukan sholat jum’at di kota sehingga bilangan 40 itu menjadi berkurang dan tidak dapat  mendirikan sholat jum’at di baladnya sendiri?
Jawaban:
Apabila di suatu desa berpenduduk mencapai genap 40 orang, amka wajib menyelenggarakan sholat Jum’at di desanya sendiri. Menurut pendapat Mu’tamad, HARAM hukumnya jika meniadakan sholat jum’at di desanya dan pergi melakukannya ke lain balad, yang sekalipun mereka masih dapat mendengar panggilan Jum’ahnya dari desa sendiri.    
Ibnu Rif’ah dan lainnya berkata: Sebenarnya ketika 40 orang penduduk suatu desa itu mendengar panggilan sholat Jum’at (Adzan Jum’at) dari kota, mereka boleh memilih menunaikan sholat Jum’at di kota atau menunaikan sholat Jum’at di kampung sendiri. Namun apabila mereka memilih pergi ke kota, mereka tidak dapat menyempurnakan bilangan shahnya shalat Jum’at, sebab berkedudukan sebagai musafir. Dan dengan perginya ia ke kota menjadikannya bilangan 40 di desanya yang memenuhi syarat mendirikan sholat Jum’at menjadi berkurang dan tidak shah. Sebagai akibatnya, karena kurang dari 40 sebab sholat Jum’atnya beberapa orang yang ke kota, maka penduduk yang memenuhi syarat sholat jum’at wajib menunaikan sholat Jum’at di desa sebelah yang panggilan sholat Jum’atnya dapat mereka dengar.   
14.  Bagaimanakah hendaknya bila dalam suatu tempat diselenggarakan beberapa sholat Jum’at?
Jawaban:
Hendaknya sholat jum’at tidak didahului atau dibarengi takbirotul ikromnya oleh sholat Jum’at lain yang diselenggarakan pada tempat itu.  
15.  Bagaimanakah cara melakukan sholat Jum’at?
Jawaban:
Shalat Jum’at diselenggarakan sesudah dua khutbah yang keduanya dikhutbahkan setelah matahari memasuki langit belahan barat.
16.  Bagaimanakah hukumnya bila suatu desa yang berpenduduk tetap memiliki 40 penduduk yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at (laki-laki, mukallaf, baligh, berakal sehat), namun hanya menunaikan sholat dhuhur dan tidak menunaikan sholat Jum’at. Apakah sholat dhuhurnya SHAH?
Jawaban:
Hukumnya adalah seluruh penduduk desa tersebut dosa karena meninggalkan kewajiban sholat Jum’at. Apabila penduduk suatu desa tidak mengerjakan sholat Jum’at dan hanya mengerjakan sholat dhuhur, maka shalatnya TIDAK SHAH selagi waktu masih mencukupi untuk mengerjakan yang wajib pada dua khutbah dengan shalatnya. Meskipun telah diketahui bahwasannya kebiasaan warga di desa tersebut tidak pernah menyelenggarakan sholat Jum’at.
17.  Bagaimanakah bila dalam khutbah menyebutkan doa`untuk mendoakan para wali, sohabat, muslimin dan muslimat?
Jawaban:
Sunnah mendoakan para wali dan sohabat, termasuk jua mendoakan wali-wali muslimin, angkatan bersenjata muslimin, dengan dimohonkan kemenangan, kemaslahatan, kemenangan, dan berlaku adil.
18.  Bagaimanakah hukumnya bila dalam Jum’atan ada 40 orang persis yang memenuhi syarat didirikannya jum’atan (yakni laki-laki, mukallaf, baligh, dan berakal sehat), namun ada satu makmum yang tuli sehingga yang mampu mendengar hanya 39 (imam dan 38 makmum)?
Jawaban:
Sholat jum’at TIDAK SHAH karena yang mampu mendengar apa yang disampaikan Khotib tidak ada 40 orang. Salah stu syarat shahnya Jum’atan adalah suara Khotib mampu didengar minimal 40 orang yang memenuhi persyaratan mendirikan sholat jum’at termasuk khotib juga (minimal khotib dan 39 jama’ah selain Khotib).
19.  Apakah boleh khutbah disampaikan menggunakan bahasa daerah setempat (bukan menggunakan bahasa arab)?
Jawaban:
Khutbah harus disampaikan menggunakan bahasa arab. NAMUN apabila khotib tidak sempat mempelajari bahasa arabsampai sebelum waktu mendesak, karena dhorurot maka boleh berkhutbah menggunakan bahasa daerah setempat. Kalau ada waktu yang memungkinkannya sempat untuk  belajar, maka hukumnya fardhu kifayah untuk mempelajarinya terlebih dahulu khutbah bahasa arab.
20.  Mengapa khutbah Jum’at diharuskan menggunakan bahasa arab (kecuali dhirurot, khotib tidak sempat mempelajarinya maka diperbolehkan menggunakan bahasa setempat). Padahal kan bila menggunakan bahasa arab, tidak semua jama’ah Jum’at mampu memahami apa yang disampaikan khotib?
Jawaban:
Karena meskipun menggunakan bahasa arab (walaupun jama’ah sholat Jum’at tidak tahu artinya apa yang disampaikan khotib), tetapi jama’ah tahu bahwa apa yang disampaikan oleh khotib adalah nasehat yang berisi wasiyat untuk taqwa pada Allah SWT. (Berdasarkan penjelasan Al Qodli pada kitab Fathul Mu’in).    
21.  Bagaimanakah cara mandi yang sesuai anjuran sunah Jum’ah?
Jawaban:  
Sunah mandi sholat jum’ah yaitu:
a.       Mandi dapat dilakukan sejak mulai terbit fajar hari Jum’ah
b.      Apabila orang yang berpuasa kawatir degan mandi dapat membatalkan puasanya sebab masuknya air ke telinga atau lubang anggota tubuh, maka alangkah baiknyatidak usah mandi Jum’ah.
c.       Mandi yang paling utama adalah mandi yang dikerjakan mendekati waktu berangkat sholat Jum’at.
d.      Kalau sekiranya mandinya antri, dan kawatir telat berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at. Lebih baik mandinya saat fajar atau persiapan sebelum waktu sholat Jum’at dimulai.          
22.  Bagaimanakah sunah cara bepergian ke masjid atau ke tempat diselenggarakannya sholat Jum’at?
Jawaban:
Saat hendak berangkat ke tempat sholat Jum’at, alangkah baiknya disunahkan untuk memilih jalan yang jurusannya lebih jauh, kemudian saat pulang melewati jalan yang lebih dekat. MAKRUH hukumnya waktu pergi sholat Jum’at dengan berlari dan juga ibadah-ibadah yang lainnya, KECUALI jika waktu mendesak dimana bila tidak berlari menyebabkan akan tertinggal ibadah yang hendak dilakukan.
23.  Bagaimanakah sunahnya berhias diri sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at?
Jawaban:
Sunah berhias diris sebelum sholat Jum’at yaitu:
a.       Memakai pakaian yang paling bagus, diutamakan yang berwarna putih.
b.      Makruh memakai pakaian yang dicelupkan sesudah ditenun, sekalipun bukan warna merah.
c.       HARAM (bagi laki-laki) berhias diri menggunakan pakaian sutera sekalipun dengan sutera quss (sutera yang berwarna kelabu).
24.  Bagaimanakah cara memakai sorban bagi lelaki yang hendak jum’atan sesuai sunnah Jum’ah?
Jawaban:
Menurut Ibnul Hajj Al Maliki menjelaskan hendaknya saat memakai sorban dilakukan sambil berdiri dan memakai celana sambil duduk. Menurut Asy-Syaikhon, bagi orang yang memakai sorban, boleh melengkapinya dengan adzbah (sepotong kain yang ditempelkan pada ujung sorban) dan boleh pula tidak. Melengkapinya atau tidak sama-sama tidak makruh.
25.  Mengapa memakai santal hanya sebelah hukumnya makruh?
Jawaban:
Karena dikawatirkan kaki sebelah yang tidak memakai sandal, saat menginjak tanah terkena najis sehingga kondisi badan pun menjadi najis yang mengakibatkan tidak sah sholat karena kondisi badan tidak suci dari najis.
26.  Bagaimanakah cara memotong kuku yang sesuai anjuran sunah jum’ah?
Jawaban:
Sunah memotong kuku di kedua tangan kaki adalah:
a.       Pemotongan kuku sebaiknya dilakukan pada hari Kamis atau pagi hari Jum’atnya.
b.      Cara memotong kuku hitam tangan adalah dimulai dari telunjuk kanan sampai kelingkingnya, kemudian ibu jarinya, lalu kelingking kiri sampai ibu jarinya.
c.       Cara memotong kuku hitam kaki adalah dimulai dari kelingking kanan kaki hingga kelingking kiri kaki dengan urut.
d.      Sebaiknya setelah kuku dipotong, segera dicuci hingga bersih.
27.  Bagaimanakah cara memotong kumis yang sesuai anjuran sunnah Jum’ah?
Jawaban:
Sunnah memotong kumis dilakukan dengan mencukur kumis sampai kelihatan warna merah di bibirnya, serta menghilangkan bau busuk dan membersihkan kotoran di badannya.
28.  Bagaimanakah hukumnya mencabut bulu hidung?
Jawaban:
Hukum mencabut bulu hidung adalah MAKRUH karena dapat mengganggu kesehatan sebab bulu hidung berfungsi menyaring kotoran yang masuk ke paru-paru.
*****
UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagai rasa takdim penulis, penulis ucapkan terimakasih pada Abah KH. Muharor Ali selaku pengasuh PP. Khozinatul Ulum. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmadNya kepada beliau, memberikan nikmat panjang umur, melimpahkan rizkinya, dan memuliakannya sebagai golongan orang-orang beruntung. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Pak Ustads Sutaji selaki ustadz yang mengampu pelajaran FATHUL Mu’in sehingga menginspirasi penulis untuk menulis artikel ini.  Semoga Allah swt senantiasa memuliakan para guru penulis, memberikan rahmad dan kasihNya sebab melalui perantara gurulah seorang murid dapat memahami suatu ilmu hingga dapat mengamalkannya. Mohon doanya semoga penulis senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya, dapat bermanfaat di sepanjang hayatnya, dan dapat memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan semoga akhir hayat kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.
   Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare. Semoga dengan membagikan tulisan ini dapat menjadi amal jariyah penulis jua guru penulis serta orang yang membagikan tulisan ini. Mohon doanya semoga penulis mendapatkan ilmu yang berkah dan senantiasa bermanfaat, serta menjadi santri yang berhasil dalam menimba ilmu serta tawadhu’. Tulisan ini tidaklah sempurna, sebab penulispun jua manusia yang tak luput dari dosa. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulis pertimbangkan pada penulisan selanjutnya. Saran dan kritik: WA 085725784395/ email. halimahundip@gmail.com. Semoga bermanfaat.  
Tiada yang lebih utama dari sebuah ilmu yakni ilmu yang diamalkan dan dibagikan pada kaum muslimin lainnya. Maka atas setiap ilmu yang kau dapatkan, ajarkan pula pada yang lainnya sebagai jalan dakwahmu akan kebaikan sembari engkau amalkan.    

REFERENSI: 
Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Mulibari. Fathul Mu’in. Semarang: Pustaka Al Alawiyah. Halaman 39-43.                                         





Kamis, 17 Agustus 2017

KEUTAMAAN MEMBACA AYAT KURSI PART II

KEUTAMAAN MEMBACA AYAT KURSI
*****
PART II
*****
Dikutip dari Kitab Khozinatul Asror page 126-127
  


            Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya di artikel “Khasiyat Ayat Kursi”, ayat kursi memiliki beberapa keutamaan. Melanjutkan halaman kemarin, yakni kajian dari kitab Khozinatul Asror halaman 126-127. Ayat kursi merupakan pimpinan ayat dalam ayat suci Al-Qur’an. Pada Bab ini akan dijelaskan bahwasanya keutaman membaca ayat kursi adalah memperoleh kewibawaan.
            Duhai muslimin muslimat yang dirahmati oleh Allah SWT, sesungguhnya tiada kemuliaan yang lebih mulia daripada kemuliaan di sisi Allah SWT. Mulia di hadapan manusia belum tentu mulia di hadapan Allah. Dan yang paling mulia adalah mulia di sisi Allah SWT jua mulia di mata manusia. Keagungan yang sesungguhnya adalah keagungan menurut Allah SWT dan utusan-Nya (Rosulullah SAW). Keagungan yang sejati adalah keagungan menurut Dzat yang Maha Berkehendak atas semua makhluknya.
            Terkadang manusia mulia di hadapan manusia lainnya, namun hina di hadapan Allah. Sebagaimana contohnya seorang publik figur wanita yang suka mengumbar aurotnya (padahal haram mengumbar aurot selain pada yang halal memandangnya), ia memiliki banyak fans dari lelaki mata keranjang namun ia hina di hadapan Allah SWT kecuali ia bertaubatan nasuha sebelum ajal tiba sampai di tenggorokannya. Keagungan menurut para ummat adalah milik para Nabi, Keagungan menurut para murid adalah syeh. Sebagaimana contohnya, keagungan seorang syeh Toriqoh di mata jama’ahnya. Keagungan menurut para murid adalah kepunyaan gurunya. Hal ini tiada lain karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang murid dibandingkan pengetahuan yang dimiliki gurunya, sehingga sudah sepantasnya ia memuliakan gurunya.  
            Dan apabila kecerdasan seorang murid menyamai kecerdasan seorang guru atau bahkan melebihinya, maka hilanglah keagungan yang dimiliki oleh seorang guru. Namun etika seorang murid yang mulia, kendatipun seumpama ia memiliki kecerdasan di atas gurunya, ia senantiasa tetap tawadhu’ dan memuliakan gurunya sebab ia sadar betul bahwa ia cerdas pun lantaran guru yang mengajarnya. Ia sadar bahwasannya pada hakekatnya kecerdasan yang ia miliki itu anugerah yang Allah berikan lantaran ilmu yang diajarkan oleh gurunya.
            Sebagaimana telah kusebutkan di atas bahwasanya salah satu khasiyat membaca ayat kursi adalah memberikan kewibawaan pada seseorang. Keutamaan membaca ayat kursi diantaranya memperoleh pahala dan memperoleh kedudukan di hadapan orang yang dipimpinnya. Ayat kursi adalah lebih agung-agungnya ayat di dalam Al-Qur’an. Ayat kursi terdiri dari 50 kalimat dan 170 huruf. Hal ini dicontohkan pada zaman perang Thalut dan perang Badar, para kaum muslimin yang mengikuti perang membaca ayat kursi sebanyak 313 kali, sehingga karena berkahnya membaca ayat kursi kaum muslimin yang jumlahnya 313 orang dapat mengalahkan musuhnya yang jumlahnya lebih banyak. Sesungguhnya Allah SWT memberikan keberkahan pada orang yang membaca ayat kursi sebanyak 313 kali dengan mengabulkan permintaan orang yang membaca ayat kursi sebanyak 313 kali tersebut (termaktub dalam kitab Khozinatul Asror halaman 126).    


            Apabila seseorang menginginkan kewibawaan ada pada dirinya, memiliki keberanian (ketegasan) dan disegani (disungkani) oleh pengikut atau bawahannya serta bawahannya yang dipimpin mau taat pada perintahnya, maka bacalah ayat kursi sebanyak 313 kali, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir Al Qudsi. Berdasarkan keterangan dari Abu Hurairah RA, Rosulullah SAW berkata: “Sesungguhnya puncaknya ayat di dalam Al Qur’an adalah QS. Al Baqoroh, dan pimpinannya ayat (sayyidul ayat) di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi sebagaimana termaktub dalam kitab Duril Mansur”.
            Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur, Imam Hakim dan Imam Baihaqi dari Abi Hurairah RA, Rosulullah SAW berkata “Di dalam QS. Al Baqoroh terdapat pimpinannya ayat-ayat di dalam Al Qur’an yakni ayat kursi. Apabila ayat kursi dibacakan di dalam rumah, maka syetan yang ada dalam rumah tersebut akan pergi meninggalkan rumah tersebut sebagaimana tertera dalam kitab Duril Mansur”.
            Rosulullah SAW pernah berkata pada para sohabat, “Apakah lebih utama-utamanya ayat di dalam Al Qur;an?”. Ali bin Abi Tholib menjawab, “Lebih utama-utamanya ayat di dalam al qur’an adalah ayat kursi”. Lantas Rosulullah SAW berkata: “Hai Ali, sesungguhnya pemimpin ummat manusia adalah Nabi Adam AS, pemimpin bangsa Arab adalah Muhammad (aku), pemimpin bangsa Persia adalah Salman, Pemimpin bangsa Roma adalah Suhaib, Pemimpin bangsa Habasah (Ethiopia Eropa) adalah Bilal, dan pemimpin gunung adalah bukit Sinai, dan pemimpin pepohonan adalah pohon Sidoro, dan pemimpin bulan adalah bulan Muharam, dan pimpinan hari (sayyidul ayam) adalah hari Jum’at, dan pimpinan nasehat (kalam) adalah Al Qur’an, dan pimpinannya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi. Barangsiapa membaca ayat kursi sebanyak 50 kali (sebagaimana jumlah kalimat dalam ayat kursi itu sendiri yakni 50 kalimat), maka akan mendapatkan 50 keberkahan sebagaimana dijelaskan dalam kitab Jami’us Shogir”.    
            Barangsiapa membaca ayat kursi maka ia akan memimpin baik tatkala di dunia maupun nanti di akherat. Barangsiapa menginginkan kemuliaan baik di hadapan Allah SWT maupun di hadapan manusia, maka bacalah ayat kursi setiap hari sebanyak 50 kali (sebagaimana jumlah kalimat yang terdapat pada ayat kursi itu sendiri yakni 50 kalimat) atau sebanyak 170 kali (sebagaimana jumlah huruf dalam ayat kursi itu sendiri yakni 170 huruf), maka engkau dapat memimpin nafsumu (mengendalikan nafsumu) dari sifat-sifat tercela yang tidak kau inginkan sebagaimana termaktub dalam kitab Khowas.
            Rosulullah SAW bersabda bahwa “Lebih utama-utamanya surat di dalam Al Qur’an adalah surat Al Baqoroh, dan lebih uatma-utamanya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi. Sebab turunnya ayat kursi, diturunkanlah surat Al Baqoroh dari bawah Arsy”.
            Diriwayatkan oleh Wake’ dan Abu Daril Harwi dari Taisir RA, Rsoulullah SAW berkata: “Ibnu Abbas minta diberitahu  bahwasannya lebih utama-utamanya surat di dalam Al Qur’an adalah QS. Al Baqoroh dan lebih utama-utamanya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi”. Suatu yang sangat disayangkan, terkadang orang yang tidak mengerti khasiyat ayat kursi mengamalkan membaca ayat kursi, namun justru orang yang mengerti khasiyat membaca ayat kursi tidak mengamalkan ilmunya yakni tidak membaca ayat kursi.
            Syeh Muhammad Haqi An Nadzili (pengarang kitab Khozinatul Asror) menyebut dirinya sebagai Al fakir dengan kerendahan hati. Ia berkata “Semoga Dzat yang Maha Berkuasa memberikan kebagusan padaku dari membaca ayat kursi yang kuhadiahkan/ kutujukan kepada Nabi Muhammad SAW”. Maka Syeh Muhammad Haqi An Nadzili pun bermimpi bertemu dengan Rosulullah SAW di dalam roudhoh yang suci, lantas Rosulullah SAW berkata “Lebih utama-utamanya ayat di dalam Al Qur’an adalah ayat kursi”.
            Sungguh berdasarkan pemaparan di atas yang diambil dari kitab Khozinatul Asror, sungguh begitu mulia keutamaan dari membaca Ayat Kursi. Maka hendaklah bagi kaum muslimin terlebih yang sudah mengetahui keutamaan membaca ayat kursi, untuk senantiasa mengamalkan membaca ayat kursi dengan niatan yang lurus bahwasannya segala sesuatu terjadi atas kehendak Alllah SWT melalui perantara salah satunya dengan membaca ayat kursi sebanyak 50 kali atau 170 kali atau sebanyak 313 kali. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Tulisan ini ditulis oleh penulis sebagai bentuk takdim seorang murid kepada gurunya, wabil khusus kepada Abah KH. Muharor Ali selaku pengasuh sekaligus guru yang mengajarkan kitab Khozinatul Asror pada para santri. Mohon doanya semoga penulis senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya, dapat bermanfaat di sepanjang hayatnya, dan dapat memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan semoga akhir hayat kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin.
   Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare. Semoga dengan membagikan tulisan ini dapat menjadi amal jariyah penulis jua guru penulis serta orang yang membagikan tulisan ini. Mohon doanya semoga penulis mendapatkan ilmu yang berkah dan senantiasa bermanfaat, serta menjadi santri yang berhasil dalam menimba ilmu serta tawadhu’. Tulisan ini tidaklah sempurna, sebab penulispun jua manusia yang tak luput dari dosa. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulis pertimbangkan pada penulisan selanjutnya. Saran dan kritik: WA 085725784395/ email. halimahundip@gmail.com. Semoga bermanfaat.  
Tiada yang lebih utama dari sebuah ilmu yakni ilmu yang diamalkan dan dibagikan pada kaum muslimin lainnya. Maka atas setiap ilmu yang kau dapatkan, ajarkan pula pada yang lainnya sebagai jalan dakwahmu akan kebaikan sembari engkau amalkan.    

REFERENSI: 
Syeh Muhammad Haqi An Nadzili. Kitab Khozinatul Asror. Bab Sebab Turunnya Ayat Kursi. Halaman 126-127.