KENAPA NGGAK IKUT CPNS?
*****
Banyak yang tanya baik nemuin langsung maupun melalui chat privat ataupun direct message. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya privasi, tapi jika tidak kujawab, semakin banyak yang tanya dan semakin membuat tidak nyaman.
Beberapa hari lalu ada yang nemuin dan di hadapan banyak orang bertanya:
"Halimah, kog nggak ikut CPNS kenapa?. Mubadzir sekolah tinggi-tinggi, prestasi banyak, cerdas tapi nggak mau ikut seleksi CPNS terus. Kamu kuliah kan buat kerja biar sukses".
Sebuah perkataan seolah petir yang nylekit banget dan di hadapan banyak orang.
Aku mencoba santai dan tersenyum
"Ibu tidak ridho aku ikut CPNS. Ridho Allah bersama ridho ibuku. In syaAllah aku ta'at dan samikna wa athokna."
Mendengar jawabanku beliau tidak diam. Justru nerocos ngomel ngomel panjang banget.
"Ibumu itu gimana, harusnya bersyukur punya anak cerdas. Kog apa apa nggak diizinin. Masak lihat anak sukses nggak mau. Masak minta ditemanin anaknya terus. Luar kota mau luar pulau harusnya didukung. Penting sukses. Kalau sukses kan ya orangtua ikutan sukses."
Aku tersenyum...
"Setiap orang memiliki pertimbangan masing masing Bu. Ada alasan tersendiri kenapa ibu tidak mengizinkan."
Setelah itu saya pergi. Sengaja pergi untuk menghindari debat. Seandainya saya ladeni pun mampu, tapi saya memilih pergi. Soalnya tidak untung dan tidak membawa manfaat. Alhamdulillah ada kegiatan lain yang menanti. Alhamdulillah la haula wala quwwata illa billah.
Pertimbangan ibu kenapa aku tidak boleh ikut CPNS. Karena jurusanku kalau ikut CPNS, lokasi penempatan mayoritas di Kalimantan, Sulawesi. Sementara aku belum menikah, ibu tidak melepasku jauh tanpa pengawasan makhram. Kecuali sudah nikah keputusan diberikan sepenuhnya pada suamiku, sebab aku tanggung jawabnya. Surgaku ada pada ridho suamiku. Selama aku belum nikah, ibu ingin aku kerja di lokasi dimana ibu bapak mudah mantau. Bapak berkeyakinan kalau anak perempuan itu sampai sebelum nikah itu tanggung jawabnya dunia akherat, kalau keluar rumah malam harus ditemani makhram, dalam hal ini bapak. Jadi kemana-mana saya kalau malam ya ditemani bapak, bukan karena saya takut. Sama sekali tidak, saya pemberani. Tapi saya taat bapak, samikna wa athokna soalnya ridho Allah bersama ridho orangtua. Kedua saya justru bersyukur kalau pergi malam ditemani bapak, itu artinya bapak menjaga pergaulanku agar terhindar dari ikhtilat. Ketika orangtua membiarkan pergaulan anak bebas dan ikhtilat, maka seorang ayah juga ikut menanggung dosanya.
Aku pernah mengatakan:
"Wahai ayah, jika di dunia engkau tidak mendidikku sesuai syari'at dan benar benar menjagaku dari ikhtilat. Engkau tidak mendidikku agama dan akhlak, maka kelak jika aku di akherat, engkau akan kutuntut. Maka penuhilah tanggungjawabmu secara dzohir dan batin sebagai ayah. Bukan cuman untuk duniaku tapi juga akheratku agar putrimu selamat dunia akherat dan engkau pun selamat dari tuntutan putrimu di akherat."
Kalimat yang pernah kuucapkan ke Bapak. Itulah mengapa dari kecil sampai sekarang bapak benar benar mendidik ilmu, akhlak dan menjaga pergaulan sesuai syari'at.
Hal yang perlu saya luruskan, tujuan tolabul ilmi adalah untuk menuntut ilmu sebagai bekal untuk beribadah, mencari ridho Allah. Jadi salah besar bagi saya pribadi kalau menuntut ilmu untuk ijazah dan pekerjaan. Saya mantab, selama kinerja bagus, kualitas bagus, pandai adaptasi kerjaan apapun bisa selama halal dan toyyib ya dimanapun bisa. Saya yakin rizki pasti cukup. Tidak hanya PNS saja yang makan, semua makhluk Allah makan.
Selain karena memang samikna wa athokna sama ibu, saya pun berpemikiran.
1. Misalkan saya ikut CPNS, lolos sampai final lalu ditempatkan di luar pulau. Lantas saya menikah, sementara suami saya dari Jawa. Otomatis akan LDR (Long Distance Relationship). Saya tidak mau LDR dengan suami, saya yang akan mengalah sebab kalau saya LDR, saya akan banyak kehilangan kesempatan memperoleh pahala melayani suami sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidah Muthi'ah ra. Kalau LDR an bagaimana mungkin saya bisa menyiapkan sarapan dan makan malam untuk suami setiap hari, sementara ini pahalanya besar. Kalau LDR, bagaimana mungkin saya bisa menyiapkan pakaian kerja, menyetrikakan, menyiapkan handuk dan alat mandi sedang ini pahalanya besar beserta pelayanan pelayanan lainnya seperti senyum di hadapan suami, menguatkan dia saat capek dan lelah, menemaninya dalam suka dan duka. Yang aku korbankan tidak ada apa-apanya dengan yang diteladankan Sayyidah Khodijah ra dan Sayyidah Muthi'ah ra. Sayyidah Khodijah ra rela meninggalkan karir dan memberikan seluruh harta, pikiran, tenaga untuk menemani suami berjuang di jalan Allah swt. Sayyidah Muthi'ah tidak berani memasukkan tamu ke dalam rumah tanpa izin suami sekalipun tamunya adalah sayyidah fatimah ra (anak rosulullah saw) dan Sayyidina Hasan ra serta Sayyidina Husain ra (cucu rosulullah saw) demi taatnya pada perintah rosulullah saw bahwa surga istri ada pada ridho suami. Hari-harinya untuk ibadah dan melayani suaminya. Saya tidak mau LDR, karena saya akan kehilangan banyak kesempatan meraih pahala melalui melayani suami. Suami dan anak adalah prioritas. Melayani suami dengan maksimal adalah ladang surgaku untuk mencapai puncak cinta tertinggi yakni meraih ridho Allah swt. Sedangkan urusan anak, in syaAllah aku ingin aku sendiri yang menjadi madrosah pertama yang mendidik ilmu dan akhlak sebelum anak kupondokkan.
2. Mencari nafkah atau karir adalah tanggung jawab suami, sedangkan istri tugas utamanya adalah melayani suami dan anak. Meskipun begitu, saya tidak kaku, tergantung situasi dan keadaan. Bila diperlukan, misal suami menghendaki menjadi wanita karir pun, saya akan menjadi wanita karir sekaligus IRT. Tetapi meskipun menjadi wanita karir, tetap tugas utama sebagai istri dan ibu menjadi prioritas saya. Seorang istri kerja bukan sebagai tulang punggung keluarga melainkan untuk membantu perekonomian keluarga, yang bertanggung jawab mencari nafkah tetap suami. Baik menjadi IRT maupun wanita karir atau menemani suami jualan in syaAllah siap semua. Dan semua ini sudah saya pelajari ilmunya, sudah saya praktekkan juga sebagai persiapan saya. Dimana saya menyiapkan diri bisa bisnis/dagang apa saja yang halal dari online maupun offline. Biar apa? Biar misal kemungkinan suami menghendaki saya jadi IRT. Saya tetap bisa kerja dari rumah, bisnis dari rumah baik bisnis jasa maupun jualan produk.
3. Saya mantab, bahwa rizki dijamin Allah. Kalau kualitas diri bagus, in syaAllah dimanapun akan dicari dan kesempatan akan Allah hadirkan. Bahkan burung dalam sangkar pun tetap makan, rizkinya dijamin Allah. Kecuali saya sudah nikah, sudah ikut suami dan tahu lokasi kerja suami dimana. Lantas suami mengizinkan saya ikut cpns, maka saya ikut cpns dan nyari lokasi di daerah suami barangkali ada lowongan CPNS di lokasi dimana suami saya kerja dan berdomisili. Itu pun kalau diizinkan, kembali lagi bahwa ridho Allah bersama ridho suami untuk wanita yang sudah menikah sebagaimana yang dicontohkan Sayyidah Muthi'ah ra. Alhamdulillah saya bisa kerja apa aja, jadi tidak pusing berada dimana pun. Saya pun mantab rizki pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi tak akan pernah cukup untuk gaya hidup. Selama hidup penuh syukur, in syaAllah akan dicukupkan Allah. Dan prinsipku nanti jika aku sudah menjadi seorang istri, aku tidak menuntut banyaknya nafkah harta yang diberikan suami, aku akan menghormatinya jika ia sudah melaksanakan kewajibannya. Yang aku tuntut adalah kehalalan nafkah rizki yang diberikan untukku dan anak-anakku, sebab nafkah rizki yang menjadi sumber makanan (dimakan) ini menjadi rujukan atau riyadhoh untuk memiliki dzuriyah ngalim cerdas soleh solekhah serta agar dzuriyah terhindar dari maksiyat.
Sekaligus saya jawab, kapan nikah?. In syaAllah di saat yang tepat di waktu yang tepat di jam terbang Allah, di saat saya menemukan yang mencintai saya dan saya mencintainya. Pola pikir sefrekuensi serta visi misi dunia akherat sama. In syaAllah kalau sudah menemukan yang sevisi semisi dunia akherat, ya segera. Semua kembali ke Allah. Saya tidak terlalu ambil pusing, desakan banyak pun, bullying banyak, tidak akan merubah prinsip saya. Allah yang menjamin in syaAllah. Tuhanku Ar Rohman, tak akan menyia-nyiakan pengorbananku dan persiapanku.
Sungguh...
Dalam keluarga itu harus ada yang mengalah, dan soal karir aku mau mengalah sama suami. Akulah yang menemani dimanapun ia bertugas kerja domisilinya. Betapa banyak kasus di lapangan yang atas izin Allah (biidznillah) kujumpai, dimana dalam keluarga yang tidak mau mengalah berujung cerai. Sebagaimana contohnya 2 kasus terakhir yang kujumpai, istrinya dari Jepara dan suaminya dari Blora. Istri tidak mau ngalah diajak suami ke Blora, suami juga tidak mau ngalah diajak berumah di Jepara. Alhasil cerai. Satu lagi, istrinya seorang bidan dari Blora, suaminya seorang sales marketing dari Jepara dan sama sama anak tunggal. Mereka sudah menikah dan sudah memiliki anak satu, tidak ada yang mau mengalah, qodarullah cerai. Saya tidak mau hal ini. Semuanya sudah saya pertimbangkan matang-matang dan akherat menjadi tujuan.
Menerima lelaki sebagai pasangan hidup pun tidak bisa ngawur, karena menikah bukan game. Menikah adalah ibadah paling lama, sehingga saya mau yang pola pikir sefrekuensi, visi misi dunia akherat sama sehingga nanti saya dapat mengabdikan hidupku melayaninya dengan baik layaknya Zaujati Muthi'ah ra dan Zaujati Khodijah ra. Setelah menikah, surga istri ada pada ridho suami. Maka jangan salah memilih suami, salah memilih ukuran baju saja nyesalnya sebulan dua bulan. Kalau salah memilih suami, visi misi dunia akherat tidak sejalan, menyesal selamanya dan rumah tangga layaknya neraka.
Apapun pilihanmu, pahami dimana letak surgamu. Jadikan syari'at sebagai pedoman, hakekat sebagai penyeimbang. Prioritaskan akherat, teladani ummahatul mukminin dan para orang soleh terdahulu. Semoga keberkahan untuk kita semua. Aamiin.
Untukmu yang bertanya dan aku jawab, mohon hormati keputusanku.
Jadi, jangan salahkan orangtuaku atas pilihanku untuk taat. Orangtuaku meminta pun jika aku tidak mau ta'at sudah barang pasti tidak kulakukan. Aku memilih taat adalah keputusanku yang kupilih. Orangtuaku mendidik kebaikan dan aku memutuskan untuk samikna wa athokna. Semoga barokah taat menjadi lantaran hidupku bahagia dunia akherat dan mendapatkan ridho Allah swt. Aamiin Ya Rabb. Ya Mujib Asa'ilin.
Salam,
Dewi Nur Halimah