RIDHO ALLAH BERSAMA
RIDHO ORANGTUA
*****TENTANG CINTA*****
Inilah tentang kisahku, kisah cinta
yang tiada berujung hingga saat ini. Bagiku suatu kisah yang menyakitkan adalah
suatu pembelajaran yang berharga untuk proses selanjutnya. Pertama adalah kisah
dimana cinta pertamaku, ya saat itu aku masih kelas 1 SMP dan cinta itu
berlanjut hingga aku kelas 2 SMA (5 tahun). Si B (nama inisial orang yang aku
suka) ini anaknya kalem, lembut, santun, dan terpandai di sekolahku. Mungkin
inikah yang namanya cinta pertama atau cinta monyet atau apa aku tak mengerti.
Aku mencintainya dari kejauhan tanpa ia tahu. Sebenarnya kami saling mencintai,
tetapi aku tak berani pacaran. Karena aku masih terngiang pesan Bapakku:
“Nduk, Bapak boten
ridho nek pean pacaran. Mbok yah o, mesakke Bapakmu, neg sampean pacaran iku
maksiyat. Lah sampean putrine Bapak, neg pean maksiyat (pacaran) besog neg alam
kubur bapak juga ikut disiksa malaikat. Mbok yaho wedi marang siksane Gusti.
Seng taat Marang perintahe Allah. Allah boten sare nduk”.
Meskipun aku mencintai, namun aku tiada berani
kalaupun diajak pacaran. Karena aku masih ingat wejangan Bapak, mesakke Bapak.
Kalau aku pacaran, Bapak turut disiksa malaikat.
Maka aku pertegas dan aku mengatakan padanya:
“Aku tidak berani pacaran.
Bapakku ndak meridhoi, sebab ridho Allah bersama ridho kedua orangtua.
Toh…hakekatnya cinta tiada harus berpacaran, nanti kalau jodoh pasti Allah
pertemukan kembali di percintaan yang halal”.
Ku kira ia, ia setia menunguku dan tak berpacaran
hingga suatu saat nanti kita menikah. Ternyata bullsyit, dia tidak sabar
menunggu dan yang lebih menyakitkan ia berpacaran dengan sahabat karibku
sendiri (backstreet). Dibilang syok…ia aku syok, suatu penghianatan dari kawan
karib sendiri. Ah sudahlah, mungkin ini bukan jalanku. Karena apapun yang Tuhan
berikan adalah yang terbaik. Mungkin ia bukan yang terbaik untukku, 5 tahun
berakhir penghianatan…mungkin ia lebh pantas mendapatkan yang lebih baik dariku
dan aku lebih pantas mendapatkan yang lebih baik darinya. Perjalanan move on 5
tahun, bukanlah hal yang mudah…dibilang sering menangis dan menyebut namanya
dalam setiap doa, tentu iya. Tiada rasa benci meski sangat tersakiti dan
dikhianati sahabat sendiri…hanya aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan
diri.
Kisah cinta kedua berlanjut, karena aku tiada bisa move on, sahabat-sahabatku yang lain
turut bersedih. Maka dikenalkanlah aku dengan teman-teman ia, tetap saja hatiku
tiada bisa berpaling…entah inikah cinta Laila dan Qois. Kalau Qois, ah bukan,
dia saja tak sabar menungguku dan memilih berpacaran dengan wanita lain.
Suatu saat, aku dikenalkan dengan si AF, kakak
sepupu dari sahabatku. Begitu mengenalku ia sangat mencintaiku, aku sendiri tak
tahu kog bisa ia mencintaiku. Dibilang cantik, aku ngerasa pas-pasan, dibilang
kaya aku dari keluarga lower class.
Entahlah, ia sanggup menerima segala kekuranganku. Dibilang nervous, saat itu nervous banget karena
memang aku sama dia perbedaanya seperti langit dan bumi. Dia putih, tinggi,
mancung…sedangkan aku tinggi, hitam manis, lugu. Dia dari upper class, sedang aku dari lower
class. Entahlah tapi ia mengenalku baik, bahkan ia sudah mengenal sosok
keprinadianku entah dari tanya-tanya temanku atau bagaimana aku tak mengerti.
Aku kenal dia tapi setiap didekati aku tidak mau, yups sekedar say hello dan hi
ala kadarnya dan seperlunya saja. Meski ia mencintaiku, kami tiada pernah
ketemu kecuali saat pertama bertemu dan diperkenalkan….itupun perkenalan di
tempat ramai, dan ada teman-temanku. Aku sama dia berjarak 1-2 m, kalau kami
bicara agak jauh. Apalagi waktu itu masih polos-polos dan lugunya, tiap deket
ikhwan dredeg.
Terakhir, ia mengajakku ke rumahnya saat acara
sedekah bumi. Ia hendak mengenalkanku kepada orangtuanya. Tetapi Bapakku tiada
meridhoiku, maka dengan segenap rasa hormat aku menolaknya:
“Maaf kak, Bapak tak meridhoiku ke
rumahmu. Karena tak etis wanita bermain ke rumah ikhwan. Apalagi kita bukan
makhram. Ridho Allah bersama ridho orangtua, maka maafkan aku tidak bisa datang
ke rumahmu”.
Ya, aku tahu ia sangat kecewa. Tetapi tetaplah aku
berpegang pada taat kepada kedua orangtuaku. Aku ketemu dia cuman sekali.
Karena dia kecewa tidak bisa memperkenalkan aku ke keduaorangtuanya. Maka iapun
memutus tali silaturahmi denganku tanpa suatu komunikasi kembali seperti dulu.
Ya…tidak apa, mungkin ini jalan yang Tuhan berikan sebagai ujian apakah aku
tetap taat orangtuaku ataukah tidak.
Cinta ketiga berawal karena hobi yang sama dan kita
sering bertemu di ajang lomba. Sebut saja namanya S. Ia handsome, putih, baik, anaknya cerdas dan lincah. Hobi kita sama,
ia sering mengikuti lomba dan akupun sama. Ia mahir bertilawah, berpidato dan
nasyid, akupun sama. Ia sosok yang cerdas dalam bidang duniawi dan ukhrawinya.
Kami sama-sama ada rasa, dan saling mengagumi atas prestasi masing-masing.
Seiring dengan berjalannya waktu, rasa itupun tumbuh menjadi rasa cinta, namun
cinta dalam diam. Kami tiada pernah berjumpa kecuali saat even-even lomba dan
seminar. Kendati demikian, meski aku suka, akupun tak mau jika bertemu tanpa
suatu tujuan yang jelas seperti lomba, belajar, ngaji bareng atau refreshing.
Kalau sekedar main atau ngeceng, entahlah aku tidak menyukai yang demikian.
Justru cinta yang jarang bertemu, itu semakin besar rasa rindunya. Semakin
besar menahan rasa rindu, maka cinta itu akan semakin besar. Hakekat cinta yang
sejati ia akan menjaganya. Berarti ia tidak mau berduaan, tidak mau berpacaran,
tidak mau menyentuh atau melakukukan apapun kecuali ia sudah halal baginya.
Karena cinta berarti menjaga. Ketika seseorang mengatakan cinta lalu memaksamu
berpacaran berarti ia tak mencintaimu melainkan hanya nafsu.
Suatu hal yang luar biasa, ia mengatakan tak
berpacaran dan mencintaiku. Akupun sama. Dalam fikirku, jika kita berjodoh,
nantilah Allah yang mempertemukan tanpa perlu berpacaran. Cinta akan sabar
menungu sampai di batas waktu, waktu yang halal (pernikahan) untuk cinta itu
tumbuh dengan indah. Ternyata suatu bullsyit….disinilah aku mengerti ternyata
dia shoot at my friend tanpa sepengetahuanku. Dibilang kaget, yups kaget.
“Bukankah katanya dia tak mau
berpacaran, pacaran banyak mudhorotnya, banyak dosanya. Lah kog dia berpacaran,
astagfirullah hal adzim”
Dibilang kecewa, tentu aku kecewa. Maka tiada
sesuatu yang perlu disesali, karena mereka adalah jalan Allah untuk menguji kesabaranku,
mereka adalah jalan Allah seberapa jauh aku berbhakti padanya, dan mereka
adalah jalan Allah sebagaimana aku teguh terhadap pendirianku untuk selalu taat
pada perintahNya dan perintah kedua orangtuaku. Terimakasih Ya Rabb engkau
telah menjagaku dari berpacaran.
Prinsipku sendiri aku tiada mau berpacaran, meskipun
aku jua mencintai seseorang dari kejauhan. Mencintai adalah hal wajar. Karena
manusia tercipta dengan fitrah yang namanya cinta. Cinta itu suci yang artinya
menjaga, ketika anda mencintai seseorang berarti anda akan berusaha menjaga
perasaannya, tiada menyentuhnya kecuali ketika halal waktunya, kalaupun berkata
sekedar yang penting saja. Hal yang menjadi pertimbanganku sehingga aku selalu
mengurungkan niatku berpacaran adalah:
- Berpacaran adalah maksiyat. Berarti
kalau aku bermaksiyat, maka aku mendurhakai Allah, padahal aku sangat
mencintai Allah.
- Mesakke Bapakku. Bagaimana
tidak???...jika aku berpacaran, maka di alam kubur nanti Bapak juga turut
disiksa malaikat.
- Allah berhak memanggilku kapan
saja. Jika Allah memanggilku saat berpacaran, lalu bagaimana
nasibku…meninggal dalam kondisi durhaka terhadap Allah SWT. Maka aku
berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari berpacaran. Kalau sekedar
suka ya wajar, orang aku juga manusia biasa.
- Allah tiada pernah tidur, sudah
seharusnya aku malu kalau aku pacaran Allah melihatku, sedang diriku dalam
bermaksiyat padanya. Maka dari itu, aku menghindari pacaran.
- Kalau aku berpacaran berarti aku
mendurhakai kedua orangtuaku. Karena Bapak dan Emakku melarangku
berpacaran. Padahal ridho Allah bersama ridho orangtua. Maka bagiku lebih
baik memilih tidak berpacaran, meskipun godaan berpacaran teramat besar,
teramat saat yang shoot at me adalah orang yang jua aku
cintai.
Cinta keempat adalah saat aku dibangku perkuliahan,
tepatnya saat semester 3. Seorang bernama IP, dengan segudang prestasi
mencintaiku. Aku sendiri masih tak percaya, terlebih banyak wanita yang mengadu
padaku ia pernah dipermainkan sama si IP. Tapi entahlah, begitu aku menolaknya
ada rasa tak tega ketika ia memintaku untuk diberi kesempatan dan ia berjanji
akan bertaubat dan menjadi manusia yang lebih baik lagi akhlaknya. Pertama saat ia shoot at me, aku menolaknya karena
seseorang memberitahuku ia mempunyai pacar. Yang bikin kaget.
“Lah
kog punya pacar…nembak aku, perasaannya dimana…lah terus pacarnya gimana?”
Secinta apapun dengannya tetap aku tolak, mana
mungkin aku tega menyakiti perasaan cewknya. Aku juga seorang wanita, tentulah
tak tega menyakiti hati wanita, mending tak bersama dia daripada jua menyakiti
perasaan wanita lainnya. Namun dia, tiada menyerah…dia masih menyatakan bahwa
ia sudah putus dengan pacarnya sambil membawa bukti bahwa ia sudah putus.
Kemudian ia memintaku untuk memberinya kesempatan,
kali ini ia tak memintaku sebagai pacar tetapi lebih berkomitmen untuk
memantaskan menjadi calon imam hidupku. Karena kelihatannya serius, toh ia
berjanji perlahan akan merubah sikapnya, ia akan menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Namun aku masih belum berani. Saat itu yang kukatakan:
“Kak,
sehebat apapun engkau. Engkau jua terlahir dari rahim seorang wanita. Apa
engkau tega menyakiti perasaan wanita, sementara ibumu jua seorang wanita.
Bagaimana perasaanmu jika ibumu disakiti lelaki, apa kau tega. Hormati wanita,
sebagaimana sebab hebatnya seorang lelakipun tiada lepas dari peran wanita”.
Entahlah, kataku mak jleb atau bagaimana…aku sendiri
tak mengerti, aku hanya mengungkapkan berdasarkan hati nuraniku. Yang aku tahu
ia masih memintaku untuk diberi kesempatan sembari meyakinkanku akan
memantaskan diri menjadi calon imam dll. Ia berjanji bahwa kita akan saling
memotivasi, saling bersama menjadi satu kita juara. Sementara sambil berproses,
kita sahabatan dulu karena aku tak berani pacaran. Entah ada badai apa, aku tak
mengerti….aku tanya ia pelan-pelan tanpa emosi memintanya agar ia jangan
berlaku kasar,…perlahan-lahan kasar itu dihilangi. Setiap orang berhak berubah
baik kog. Tetapi apa yang ia lakukan tiadalah etis, dia mengatakan bahasa yang
teramat keras…semacam misuh….sambil mengancam. Oh my God, mengapa cinta harus
dengan ancaman?...kalau tidak diterima akan mengahiri hidupnya, ketika diterima
berlaku kasar. Bahkan hujatannya luar biasa, bahasa bukan manusia
diungkapakan…apakah pantas bahasa makhluk lain digunakan manusia. Apakah pantas
seorang intelektual yang notabenya berpendidikan tinggi berkata kasar seperti
mengumpat.
Ia meninggalkanku, tanpa mengakhiri komitmenya dan
berganti wanita entah ke berapa banyaknya. Itu terserah dia. Mungkin saja tak
betah jua tak tahu, karena aku tiada pernah mau diajak berduaan. Suka boleh
tanpa ketemuan membahas yang tak penting kecuali sekedar belajar. Romantis
memang dianjurkan tetapi bagi mereka yang sudah halal (suami-istri), tetapi
sangat dilarang bagi yang bukan makhram bukan mukhrim berkhalwat. Entahlah…sikapnya
yang luar biasa kasar membuatku shock dan down..tepat saat UAS semester 3,
karena perlakuan kasar itu nilaiku hancur dan mlorot drastis. Aku sangat shock
dengan ancaman itu…tetapi memaafkan adalah jalan yang lebih baik.
Tiada aku membencinya, melainkan dalam setiap
tangisku ketika mengingatnya, semoga pintu hidayah selalu diberikan padanya dan
untukku pula. Dia, mas IP adalah jalan bagi Allah untuk menguji kesabaranku,
untuk menguji ketegaranku, untuk menguji kesetiaanku. Bagaimana aku masih
berpegang teguh pada wejangan orangtua, alhamdulillah atas perlakuannya yang
super kasar menjadikanku tidak jadi berpacaran sehingga aku tetap bisa taat
terhadap wejangan orangtua. Dengan perlakuannya yang kasar, menjadikanku taat pada
Allah. Allah mengingatkanku untuk tidak berpacaran dengan perlakuannya yang
kasar. Allhamdulillah, dengan jalan ia kasar menjadikanku tetap setia pada
pesan kedua orangtuaku. Terimakasih telah melatihku sabar, kuat dan tegar.
Bagiku keempat kejadian tersebut adalah pelajaran
yang sangat luar biasa, ujian untuk melatihku apakah aku tetap setia pada
wejangan keduaorangtuaku ataukah tidak. In syaallah sampai kapanpun aku tiada
tergoyah untuk berpacaran, cukup berpasrah. Yang menjadi fokusku adalah meraih mimpi
dan mewujudkannya menjadi nyata, lalu membahagiakan orang-orang yang aku
sayangi terutama ibu, adek kandungku, dan Bapak beserta daftar orang-orang yang
aku cintai lainnya. Alhamdulillah..semoga dari segala kejadian,melatihku untuk
berfikir dewasa dan rasa sakit yang kurasakan semakin mendekatkanku padaNya.
Karena apapun yang terjadi tiada yang sia-sia melainkan untuk diambil
hikmahnya.
In syaallah fokus pada karir dan memperjuangkan
mereka-mereka orang-orang yang aku cintai itu jauh lebih baik. Masalah jodoh,
wallahu a’lam, jika suatu saat nanti ada yang mengatakan cinta padaku tiadalah
aku mudah percaya. Kecuali ketika ia berani mengatakan itu pada kedua
orangtuaku, menghitbahku dan menikahiku, barulah aku percaya. Jika memang aku
jua mencintainya, akupun akan menerimanya apa adanya terpenting ia mencintaiku
apa adanya, ia berakhlakul karimah, dan bisa membimbingku. Entahlah..masalah
jodoh adalah urusan belakang, siapapun yang Allah takdirkan nanti denganku, in
syaallah aku akan mengabdi padanya sepenuh jiwaku padanya sebagaimana Sayyidah
Khodijah mengabdi pada Rosulullah sebagaimana rasa taatku pada Tuhanku. Jika
memang sekarang aku jutek, memang seharusnya aku jutek…karena romantis hanya
untuk orang yang halal menenerimanya, yakni suami kita nanti untuk kaum hawa. Namun
terpenting adalah sekarang bagaimana aku berfokus pada karir dan membahagiakan
orang-orang ang aku sayang, keluarga, kaum dhuafa, fakir miskin, dan
saudara-saudaraku yang super tegar di panti (mereka tanpa ayah dan ibu). Tetapi
hati mereka begitu kuat menerjang kehidupan. Kepahitan yang kualami adalah
ujian bagaimana untuk aku mengambil hikmah dan berhusnudzan atas setiap takdir
yang Allah berikan….:)
Tuhan…
Apapun yang terjadi tiada yang
kebetulan
Melainkan semua berjalan atas izin
dan takdirMu
Jadikanlah rasa syukurku dalam
setiap takdir baik
Jadikanlah rasa sabar teman takdir
burukku
Ajarkan aku arti ikhlas meski hati
ini sering meronta
Ajarkanlah arti sabar menghadapi
setiap ujian darimu
Ajarkanlah bagaimana aku bersikap
dewasa
Sungguh…
Aku meminta kuat kau beri masalah
Agar aku belajar sabar
Aku ingin setia dan taat
Kau uji dengan godaan
Agar aku tetap berpegang teguh pada
keyakinanku
Jadikanlah setiap sedih dan laraku
Sebagai jalan semakin dekat
denganMu
Jadikanlah setiap senang dan
bahagiaku
Sebagai rasa taatku terhadapMu
Jadikanlah setiap langkah kakiku
Berjalan pada jalan yang kau ridhoi
Terimalah taubatku atas segala dosa
dan kesalahanku
Ingatkan aku agar aku senantiasa
kembali ke jalanMu
Ajarkan aku arti berlapag dana
Menerima segala qodho’ qodarMu
dengan hati yang ikhlas
Tanamkan hati yang selalu
berkhusnudzan
Dalam setiap peristiwa di hidupku
Segala puji syukur bagiMu
Rabb…Tuhan Semesta Alam
Penguasa Alam Raya
Yang mengasihi segala makhluknya
Yang adil lagi bijaksana
Allahu Ar-Rahman
*****
Ini adalah sebagian kenangan yang memotivasiku untuk bangkit, supplemen meraih mimpi, vitamin untuk melangkah dan membahagiakan orang-orang yang aku sayang atas izin Tuhanku. Terimakasih kata-kata pedasnya, ini adalah hadiah terindah...:)...All praises to Allah telah mengujiku menjadi sabar melalui hal ini...:)
Rhido kedua orangtua sangatlah penting, hal ini terbukti dimana ketika hampir pacaran gagal terus, alhamdulillah Allah masih menjagaku dari pacaran. Duhai Rabb...jika hatiku lemah dan tergoyah hendak bermaksiyat terhadapMu, maka tegurlah aku...bimbing aku menuju jalanMu, ajarkan aku berkhusnudzan dalam menerima setiap takdirmu...:)