KISAH
CINTA SAYYIDAH KHODIJAH RA DENGAN ROSULULLAH SAW
*****
Written by Dewi Nur Halimah, S.Si
Email: halimah.dewi@rocketmail.com
atau halimahundip@gmail.com
******
Cinta adalah anugerah yang Allah berikan
pada hambaNya. Cinta terindah adalah cinta antara 2 insan (laki-laki dan
perempuan) yang membawanya semakin dekat pada illahi. Tiada cinta yang indah
melainkan cinta suci nan halal yang diperoleh dengan jalan yang diridhoi Rabb
Semesta Alam.
“Ya Allah jatuhkanlah hatiku agar mencintai seseorang yang membawaku
semakin mencintaiMu. Dekatkanlah hatiku pada hati yang jua mencintaiMu sehingga
semakin luas pengetahuanku, semakin kokoh agamaku, dan semakin bertambah cahaya
imanku. Ya Allah, biarkanlah cintaku berlabuh pada seorang yang membawaku
semakin dekat denganMu. Tatkala aku memandangnya menemukan kesejukan pikirku.
Tatkala akau mendengarkan tutur katanya, semakin aku menemukan ketenangan dan
bertambah pengetahuanku akan agamaku serta semakin bertambah pula keimananku.
Tatkala aku memandang sikapnya, aku teringan akan kematian dan kehidupan kekal
abadi di akherat”. Aamiin
(Sajak-Sajak
Doa D.N. Halimah, 2018).
Nah, ukhti dan akhi yang mulia, tiada
cinta yang mulia melainkan cinta yang diridhoi Allah swt. Cinta yang diridhoi
Allah swt akan membawa pada keberkahan hidup di dunia serta kebahagiaan hidup
bersama pasangan di dunia dan di akherat. Adapun tauladan cinta sejati adalah
kisah cinta sayyidah Khodijah RA dengan Nabi Muhammad SAW. Sungguh kisah
cintanya begitu mengharukan dan sangat indah. Perjalanan cintanya penuh dengan
pengorbanan, air mata, kebahagiaan, dan keromantisan yang halal. Subhanallah,
sungguh indah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dan inilah kisahnya…J
Muhammad bin Abdullah adalah sosok
pemuda yang jujur, lemah lembut, adil, dan berakhlak mulia. Muhammad muda ikut
ke dalam rombongan niaga Siti Khodijah sebagai pegawai yang menjualkan dagangan
Siti Khodijah RA. Sayyidah Khodijah meminta Maesaroh selaku pegawai kepercayaan Siti Khodijah untuk menemani Nabi Muhammad
saw berdagang ke negara Syam. Karena terkenal akan kejujurannya, dagangan Nabi
Muhammad saw laris bahkan untungnya hingga berlipat-lipat ganda. Sikap Nabi Muhammad
tatkala berjualan adalah menceritakan dengan jujur kualitas barang, barang yang
baik dikatakan baik, barang yang cacat disampaikan kecacatannya tanpa
ditutup-tutupi cacatnya. Dengan demikian pembeli tidak merasa tertipu dan puas
akan barang yang dibelinya. Hal inilah yang memikat hati masyarakat untuk
membeli dagangannya. Bahkan karena kejujurannya itu, Nabi Muhammad saw dijuluki
dengan sebutan Al-Amin.
Semasa melakukan perdagangan dengan Nabi
Muhammad saw, Maesaroh mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat ganda. Hal
ini lantaran kejujuran dan sikap amanah rosulullah terhadap konsumen yang
membeli dagangannya. Bukan hanya itu, Maesaroh juga diperlihatkan akan hal luar
biasa selama perjalanannya akan berdagang bersama Nabi Muhammad saw. Bagaimana
tidak? Gulungan awan selalu mengiri langkah Nabi Muhammad saw kemanapun beliau
melangkah. Gulungan awan tersebut seolah tak ingin Nabi Muhammad saw tersengat
panasnya terik sinar matahari.
Berbagai pengalaman yang menakjubkan
yang dialami Maesaroh selama perjalanan bersama Nabi Muhammad saw pun kemudian
ia ceritakan kepada Sayyidah Khodijah RA selaku tuannya yang mempercayainya
dalam berniaga. Sejak saat itulah, tanda-tanda kemuliaan yang terdapat pada
diri Nabi Muhammad hingga gulungan awan mengiringinya itu lantas membuat
Sayyidah Khodijah memiliki perasaan kagum tersendiri pada Nabi Muhammad saw. Dari
hari ke hari, perasaan kagum yang menyelimuti hati Sayyidah Khodijah pada Nabi
Muhammad RA semakin bertambah, terlebih tatkala ia mendapatkan penuturan dari sepupunya yang
bernama Waraqah bin Naufal. Waraqah bin Naufal merupakan sepupu Sayyidah
Khadijah yang merupakan pemeluk agama nasrani yang tinggal di Makkah. Waraqah
merupakan seorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang kitab suci orang
Yahudi dan Nasrani. Waraqah bahkan mampu menulis atau mendokumentasikan kitab
injil dalam bahasa Ibrani.
Nama lengkap Waraqah adalah Waraqah bin
Naufal bin Assad bin Abd al Uzza bin Qussay Al-Qurashi. Waraqah mengetahui
tanda-tanda kenabian Muhammad bin Abdullah dari kitab injil berbahasa arab yang
ia baca. Dari pemahamannya terhadap injil, ia meyakini bahwa Muhammad bin
Abdullah adalah nabi agung yang ditunggu-tunggu ummat manusia yang akan
mengentaskan manusia dari zaman kegelapan (zaman jahiliyah) menuju zaman yang
terang benderang penuh dengan cahaya Illahi.
Suatu hari dipagi buta, Sayyidah
Khodijah menyempatkan diri berkunjung silaturahim ke rumah Waroqoh bin Naufal.
Pada kesempatan tersebut, Waroqoh menuturkan mimpi yang ia alami kepada
Sayyidah Khodijah.
Waraqah : “Duhai saudariku, tadi
malam aku bermimpi yang sangat luar biasa.”
Sayyidah
Khodijah : “Mimpi apa duhai sepupuku?”
Waraqah : “Aku bermimpi melihat
matahari berputar mengelilingi kota Makkah dan kemudian turun ke arah bumi.
Matahari itu jatuh tepat di atas rumahmu, Khadijah. Aku melihat betapa agungnya
matahari itu hingga membuatku terbangun dan tersadar dari tidurku”.
Sayyidah
Khodijah : “ Lalu apa takwil dari
mimpimu itu saudaraku?”
Waraqah : “Matahari itu
melambangkan adanya suatu utusan Allah swt yang terakhir menutup kenabian para
nabi. Ia berasal dari kota Makkah. Dan ia akan meminangmu wahai Khadijah.
Pemuda tersebut memiliki keagungan dan kemuliaan. Dialah Muhammad bin Abdullah
yang kelak akan menjadi utusan Allah swt sebagai Nabi Akhiruz Zaman yang
menutup kenabian para nabi”.
Mendengar penuturan Waraqah bin
Naufal yang ahli dalam pemahaman terhadap kitab injil, hati Khadijah bergetar,
maka semakin bertambahlah rasa cintanya kepada Nabi Muhammad saw. Pada saat itu
Muhammad bin Abdullah (Muhammad muda) belum diangkat menjadi nabi. Oleh karena
itu, Waraqoh menuturkan bahwa berdasarkan tanda-tanda yang dimiliki Nabi
Muhammad saw menunjukkan bahwa ia kelak akan diangkat sebagai utusan Allah saw.
Penjelasan Waraqah telah menguatkan perasaan cinta Sayyidah Khodijah pada diri
Nabi Muhammad bin Abdullah, hingga menggerakkan hatinya untuk meminang Muhammad
muda agar menjadi suaminya.
Suatu hal yang tak wajar untuk
pertama kalinya menyalahi tradisi adat di arab yakni seorang wanita meminang
seorang laki-laki. Di Makkah umumnya pada saat itu laki-laki lah yang meminang
wanita. Namun hal ini berbeda pada diri Sayyidah Khodijah, meskipun pada saat
itu banyak lelaki kaya raya, saudagar dan pemuka bangsa Arab yang menaruh hati
pada Sayyidah Khodijah, namun pilihan hatinya tetap pada Muhammad bin Abdullah.
Sayyidah Khodijah memandang bahwasannya Muhammad muda (Muhammad bin Abdullah)
adalah sosok yang memiliki kemuliaan budi pekerti, kebijakan, kejujuran, serta
kesolehan yang tidak ia jumpai pada sosok yang lain. Kehendak Sayyidah Khodijah yang bertentangan
dengan tradisi di Arab untuk meminang Muhammad bin Abdullah ini pun awalnya
ditentang pihak keluarga, pihak keluarga merasa keberatan bila Sayyidah
Khodijah yang meminang Muhammad muda terlebih dahulu. Akan tetapi, gelora cinta
yang terus berkobar tak menyurutkan tekad Sayyidah Khodijah untuk meminang sang
pujaan hati, Muhammad bin Abdullah.
Sebagai upaya untuk mewujudkan
niatan hatinya, Sayyidah Khodijah meminta bantuan saudarinya yaitu Nafisah
binti Munyah untuk mengutarakan maksud hatinya yang hendak meminang Muhammad
bin Abdullah sebagai suaminya. Nafisah pun melaksanakan permintaan Khodijah,
saudarinya hingga akhirnya ia menjalin kedekatan dengan pihak keluarga
Muhammad. Sampai suatu ketika pada suatu kesempatan terjadilah dialog antara Nafisah
dan Nabi Muhammad saw.
Nafisah : “Wahai Muhammad,
gerangan apakah yang membuatmu belum terpikirkan untuk mencari pendamping
hidup? Tidakkah engkau menginginkan pendamping hidup?”.
Muhammad : “Hasrat beristri dan menikah
sebenarnya telah ada, namun belum ada kesanggupan bagiku untuk menikah”.
Nafisah : “Bagaimana jika ada
seseorang yang siap menyediakan nafkah bagimu. Dia adalah sosok wanita yang
cantik, berharta, dan berakhlak mulia. Apakah engkau mau menerima pinangannya
dan mau menikah dengannya?”.
Muhammad : “Mana mungkin ada?”.
Nafisah : “Jika ada bagaimana? Apakah
engkau mau?”.
Muhammad : “Siapakah namanya?”
Nafisah : “Khadijah binti
Khuwailid
Muhammad : “Baiklah, aku bersedia
menerima pinangannya dan menikahinya”.
Tak lama setelah dialog Nafisah yang
mengutarakan kehendak maksud Khodijah meminang Muhammad bin Abdullah, Nafisah
pulang ke rumah Sayyidah Khodijah. Ia menyampaikan kabar gembira berupa
kesediaan Muhammad untuk menerima pinangannya dan menikahinya. Mengetahui kabar
gembira yang disampaikan oleh Nafisah, Sayyidah Khodijah lantas meminta
pamannya, Umar bin Asad untuk menikahkannya dengan Muhammad bin Abdullah.
Beginilah cinta suci Sayyidah
Khodijah RA, ia mencintai Nabi Muhammad SAW tulus. Ia tak memandang kekayaan
lelaki yang dinikahinya. Ya, cinta sejati tak memandang harta melainkan
memandang pada akhlak mulia dan
pengetahuan agama. Dan Sayyidah Khodijah menemukan adanya samudra ilmu
pengetahuan dan akhlak nan mulia itu terdapat pada diri Nabi Muhammad saw yang
waktu itu belum diangkat menjadi nabi. Khodijah lebih memilih Nabi Muhammad saw
yang saat itu adalah pemuda miskin, yatim piyatu, hanya seorang pegawainya
dibandingkan memilih para saudagar dan pemuka bangsa Arab yang hendak
mengawininya. Karena apa? Karena ia melihat adanya kejujuran, kemampuan untuk
dipercaya, serta kemuliaan akhlak pada diri Nabi Muhammad saw. Sementara para
saudagar kaya raya dan pemuka bangsa Arab yang hendak menikahinya, tiada lain
karena adanya faktor kekayaannya (harta Sayyidah Khodijah) yang melimpah.
Kecantikan, kekayaan harta (kaya raya) dan kemuliaan Khodijah tersohor di Kota
Makkah bahkan hingga ke negeri Syam dan Yaman. Tak heran bila banyak pengusaha
yang hendak melamarnya. Namun hati Khodijah meyakini dan teguh bahwa cintanya
hanya untuk Nabi Muhammad saw. Cinta sejati tak memandang kecantikan fisik
maupun harta karena cinta sejati hanya dapat ditemui pada kemuliaan akhlak dan
luasnya pengetahuan agama.
Adapun selanjutnya, proses
pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Siti Khodijah dilaksanakan pada hari Jum’at,
yakni bulan sekembalinya Muhammad bin Abdullah dari berniaga di negara Syam. Pada
pernikahan Sayyidah Khodijah RA, pamannya Umar bin Asad yang menjadi wali
nikahnya. Pada pernikahan Sayyidah Khodijah RA dengan Nabi Muhammad saw, hadir
pula sepupunya yakni Waraqah bin Naufal yang menyampaikan khutbah pernikahan
dengan fasih dan dilanjut khutbah pernikahan oleh Abu Thalib yang disampaikan
dengan lantang sehingga menyita perhatian para hadirin pada acara tersebut.
Pada acara pernikahan Muhammad dan
Sayyidah Khodijah RA, Sayyidah Khodijah RA meminta Waraqah bin Naufal untuk
mengumumkan pada para hadirin yang hadir untuk menyaksikan bahwa sejak
pernikahan itu, Khadijah menyerahkan jiwa, raga, harta benda, hamba sahaya dan
segala yang dimilikinya untuk Muhammad bin Abdullah dan ia berhak untuk
membelanjakannya ke manapun yang ia kehendaki. Subhanallah…. J, Maha Suci Allah, sungguh Sayyidah
Khodijah adalah sosok yang berhati mulia. Bagaimana tidak, ia merelakan seluruh
jiwa, raga, dan harta benda yang dimilikinya untuk perjuangan rosulullah.
Bahkan tak hanya itu, ia juga rela mengorbankan harta dan pikirannya untuk
perjuangan Rosulullah saw... J
Masya Allah …J
Mendengar apa yang disampaikan
Khodijah binti Khuwailid, kemudian Waraqah bin Naufal berdiri diantara sumur
Zamzan dan bangunan sebuah makam, lantas dengan suara lantang Waraqah berseru:
“Wahai penduduk
tanah Arab, sesungguhnya Khadijah binti Khuwailid menginginkan persaksian
kalian semua bahwasannya ia telah menyerahkan kepada Muhammad baik jiwanya,
raganya, harta bendanya, hamba sahayanya, dan segala apa yang berada dalam
genggaman tangannya. Hal ini diperuntukkan sebagai penghormatan dan pengagungan
atas kedudukan Muhammad dan segala bukti atas cintanya yang begitu dalam kepada
Muhammad”.
Sebagai bentuk penghormatan dan
memuliakan Nabi Muhammad SAW, Sayyidah Khodijah RA mengirimkan sejumlah uang,
unta, domba, pakaian, dan parfum kepada Abu Thalib. Abu Thalib kemudian
melangsungkan acara pernikahan keponakannya selama tiga hari yang dihadiri oleh
para pemuka dan penduduk tanah Arab. Penduduk Makkah pun bersuka ria penuh
kegembiraan dalam menyambut majlis pernikahan dua mempelai yang sangat
terpandang.
Sungguh, begitu dalamnya cinta
Khodijah binti Khuwailid kepada baginda Muhammad bin Abdullah. Betapa tidak, ia
merelakan segalanya termasuk jiwa, raga, harta, dan segala apa yang dimilikinya
untuk suami tercinta. Bagi Sayyidah Khodijah RA, harta tidaklah begitu berarti
dalam hidupnya tanpa kehadiran Nabi Muhammad saw sebagai pendamping hidupnya. Sebab,
jika cinta Khodijah binti Khuwailid terletak pada hata dan kekuasaan, tentu
saja Sayyidah Khodijah RA tidak memilih Nabi Muhammad saw sebagai pendamping
hidupnya melainkan saudagar kaya raya atau pemuka bangsa Arab yang memiliki
harta berlimpah ruah. Akan tetapi Sayyidah Khodijah pada kenyataaanya leboh
memilih Nabi Muhammad saw karena kemuliaan akhlaknya yang akan menjadi imamnya,
menuntunnya dari dunia hingga akherat. Dari sini kita dapat mengambil hikmah
bahwasannya cinta Sayyidah Khodijah kepada Nabi Muhammad adalah suci tanpa
dilandasi hawa nafsu dan keinginan syahwati.
Beberapa
hal yang dapat kita petik hikmahnya dari kisah cinta suci Khadijah binti
Khuwailid dengan Rosulullah saw adalah:
- Cintailah seseorang karena
luasnya pengetahuan (ilmu) dan kemuliaan akhlaknya (kejujuran,
kebijaksanaan, kelembutan tutur kata, ketegasan, keadilan dalam memutuskan
perkara, dan budi perekerti mulia lainnya).
Lelaki
yang berilmu dan berakhlak mulia, apabila ia mencintaimu ia akan memuliakanmu dan
membahagiakanmu laksana Pangeran memberlakukan Sang Putri…
Sebaliknya
bila lelaki berilmu dan berakhlak mulia itu tak mencintaimu, ia tak akan
menyakiti perasaan dan fisikmu. Perkataannya dijaga agar tak menyakiti
perasaanmu, sikapnya dipelihara agar senantiasa menyejukkan pikir dan hatimu.
- Jadilah pemuda yang jujur, apa
adanya, dapat dipercaya (amanah) sebagaimana telah dicontohkan pada diri
Rosulullah saw yang jujur hingga dijuluki dengan sebutan Al-Amin.
- Surga wanita terletak pada
ridho orangtuanya sebelum menikah, sementara surga wanita terletak pada
ridho suaminya tatkala sudah menikah. Sebagai wujud cinta dan baktimu pada
suamimu, relakanlah dan korbankanlah seluruh jiwa, raga, harta benda yang
kau miliki untuk suamimu selama digunakan untuk kebaikan sebagaimana
Sayyidah Khodijah RA yang merelakan seluruh jiwa, raganya, hamba
sahayanya, dan seluruh harta benda yang dimilikinya untuk Nabi Muhammad
saw sebagai wujud begitu dalamnya cintanya pada Nabi Muhammad saw.
- Bukti dari cinta suci adalah
pernikahan dan bukti bakti istri pada suami adalah ketaatan dan
pengorbanan termasuk jua merelakan seluruh jiwa, raga, harta benda bahkan
mengorbankan pikiran untuk suami tercinta.
*****
SEMOGA BERMANFAAT DAN MENGINSPIRASI *****