HALIMAH BINTI MASDARI

Senin, 10 Februari 2025

DARI KATA MENJADI LUKA

 DARI KATA MENJADI LUKA

(Part 1)

Catatan Dewi Nur Halimah 



Perkataan adalah sesuatu yang mudah diucapkan dari lidah yang lunak tak bertulang, tahukah kamu bahwa kata atau ucapan itu bisa memberikan dampak yang besar bagi kehidupan seseorang?. Ya , benar kata bisa membawa nikmat juga bisa membawa mala petaka. Sebagaimana contohnya:
1. Dua orang lelaki dan perempuan yang bukan makhram lantas ijab kabul. Yang awalnya haram berhubungan suami istri, setelah akad nikah jadi halal. Gara-gara kata ijab kabul, yang haram jadi halal. 
2. Gegara mengucap kalimat syahadat, seseorang yang awalnya non muslim menjadi mualaf. Syahadat cuman berwujud beberapa kata, tapi dampaknya besar bagi kehidupan seseorang. 
3. Gegara kata juga, bisa menyebabkan seseorang saling hina hingga tawuran dan pembunuhan. Maka dari itu sebelum berkata, pikirkan dua kali dampaknya. 

Berbicara soal kata, banyak orang yang kagum denganku. Mereka kagum akan prestasi dan kecerdasanku. Tak jarang juga mengagumi postur tubuh dan wajahku. Banyak inbox atau chat yang masuk bahkan ucapan langsung yang isinya pujian. Bolehkah aku menangis?. Di luar sana banyak yang menginginkan seperti aku, kata mereka manis, cerdas, prestatif, multitalenta, multitasking. Tahukah engkau, bahwa orang terdekatku sendiri tak pernah mensyukuri memilikiku. Dibilang sakit, sangat sakit. 

Sejak kecil, bapakku selalu pilih kasih dengan adekku. Jika adekku salah, mentok dimarahi saja atau disiram air. Sementara aku dituntut sempurna karena seorang kakak adalah teladan bagi adeknya. Salah sedikit, disiram air satu jerigen 30 liter. Belum ditampar, dibukul, ditendang. Sakit, tapi aku diam saja nyeseg. Aku juga masih kecil. Dari kecil sampai usia 15 tahun aku selalu dididik dengan kekerasan. Baru setelah SMA tidak pernah pakai kekerasan fisik. Meski tak pakai kekerasan fisik, aku kerap kali menerima kekerasan verbal. 

Kehidupanku tak sesempurna kelebihan yang aku miliki. Banyak kehidupan prihatin dan ngenes yang tidak aku tampilkan. Blog ini tempatku berkeluh, kalau di sosmed sudah pasti viral. Kalau di sini tidak. Aku suka kalau salah diingatkan, tapi tidak dengan kekerasan fisik, hinaan, cemoohan. Pernah suatu ketika, bapak diundang orang buat hajatan. Aku lupa memberi tahu amanah itu. Kau tahu apa hukuman yang aku terima. Di depan murid ngaji ibuk yang jumlahnya puluhan, aku diseret bapak lalu disiram air sejerigen, dipukul, dan sayuran serta makanan yang beli makan dipiring tidak jadi dimakan melainkan ditumpahkan di atas kepalaku. Sehingga jilbabku basah kuyup, habis magrib tubuhku penuh nasi, sambal, sayur. Mau tidak mau aku mandi. Sakitnya tidak seberapa, tapi malunya luar biasa. Dibilang sakit hati iya, tapi aku sadar aku salah. Apakah pantas hukumannya seperti itu. Kenapa tidak hukuman yang mendidik atau edukatif saja, misal salah diminta nulis tangan 3000 bismillahirrahmanirrahim, atau uang saku dipotong, atau wajib menghafal surat Qur'an apa. Intinya yang membuat jera, tapi mendidik namun bukan kekerasan fisik maupun penghinaan. Masihkah iri denganku yang nampak prestasi banyak tapi sering dapat kekerasan fisik dari orang terdekat?. Sejak kejadian ini kuambil hikmah, kalau ada undangan buat bapak, kutulis dikertas, kutaruh dimeja kututup gelas biar aku nggak lupa dan tidak dimarahi bapak dengan cara seperti di atas. 

Pernah suatu ketika saat bermain, aku sudah mewanti wanti agar adekku kalau jalan di tepi jalan. Qodarullah ada tulang bank plecit (bank keliling) yang naiknya ugal ugalan. Adek diserempet dan adek terluka. Alhamdulillah masih selamet tapi lecet lecet. Saking khawatir dan kecewanya, dianggap aku tidak bisa momong padahal tukang bank itu yang ugal ugalan. Kami sudah ditepi. Bapak marah ke aku, adek (anak kesayangannya usia 5 tahun), aku usia 8 tahun saat kecelakaan adekku keserempet motor. Bapak dengan emosi, menendang aku yang tubuhnya mungil hingga menjelat sekitar 3 meter. Semuanya aku yang salah, padahal kecelakaan pun terjadi bukan atas kemauanku. Takdir Allah, ternyata sudah di tepi tetap keserempet. Saat ditendang ada satu temanku yg melihat, dia lari. Sementara aku habis ditendang berusaha bangkit sendiri berdiri, menangis terisak tanpa suara dan air mata membasahi pipiku. Bapak tak peduli aku menangis, beliau lari ke adek dan mengurus yang nabrak adekku. 

Bapakku melatihku budaya terimakasih kalau dibantu. Namun caranya salah. Saat usia 13 tahun, tepatnya kelas 1 SMP. Aku mencari alamat warnet, waktu itu warnet langka dan ramai. Aku diboncengkan bapak mencari alamat warnet untuk mengerjakan tugas TIK. Qodarullah aku tak tahu alamat warnet, sehingga sampai daerah Sawahan dan Gondang aku tanya orang alamat warnet. Saking gugupnya aku lupa mengucapkan terimakasih setelah tanya alamat. Bapak memanggilku, bukan mengingatkanku untuk mengucapkan terimakasih kalau habis tanya alamat. Beliau memanggil, lalu saat aku mendekat beli menampar pipi kanan dan pipi kiriku bergantian. Aku menangis sesenggukan. Kata bapak, anak tidak tahu diri, dikasih tahu alamat malah geloyor pergi lupa mengucapkan terimakasih. Sejak kejadian itu, selalu kuingat sampai sekarang kalau dibantu orang harus mengucapkan terimakasih. Niat bapakku bagus, tapi caranya salah. 

Kalau aku berbuat salah sedikit, bapak langsung nampar, mukul, dll. Itu sudah makananku sehari-hari sejak kecil hingga usia 15 tahun. Sejak usia 16 tahun aku tidak dididik dengan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal. Bapak kalau ngomong sama aku suka nylekit. Entahlah. Mungkin karena wajahku mirip Bu Dhe parni, kakak yang jahat sama bapak. Jadi kalau lihat wajahku bawaannya benci. Meski aku tidak salah, atau salah sedikit langsung kekerasan fisik. Entahlah, aku berusaha tegar walau hatiku hancur. 

Rata-rata orangtua, kalau anak juara itu senang luar biasa. Tapi tidak dengan bapakku. Aku selalu mendapatkan ranking 1 dari SD kelas 1 sampai SMA kelas XII, puluhan prestasi kudapatkan dari lomba pidato, lomba cerdas cermat, lomba pajak, lomba akuntansi, lomba IPA, lomba lainnya. Tapi bapak tak pernah mengucapkan ini di hadapanku:
"Alhamdulillah ya Allah, selamat nduk kamu juara. Bapak bangga."
Bagi bapak itu hal biasa, aku sudah terbiasa dapat juara. Jadi ya tidak ada ucapan selamat atau bangga sebagai bentuk apresiasi. 
Pernah aku lomba cerdas cermat secara langsung di ShaShana Bakti, sekarang gedungnya dihancurkan di dekat MD Mall Blora. Life dilihat ratusan orang. Aku menang. Tapi ada kesedihan yang tak bisa kuungkapkan. Peserta lain kalah cerdas cermat, tapi orangtuanya pada hadir memberikan support, minimal salah satu. Sementara aku, aku juara, aku menang. Tapi orangtuaku tak ada yang hadir. Aku sendirian. Saat melihat pada disamperin orangtuanya, aku nggak. Aku berusaha kuat, nggak papa. Sudah biasa, mungkin orangtua sibuk kerja keliling jualan garam atau nyawah. Berusaha positive thinking meskipun mataku berkaca kaca saat melihat beberapa peserta lain dipeluk orangtuanya padahal kalah. Aku menang, tapi sendirian. 

Adekku selalu dimanja, karena dia waktu kecil sakit sakitan. Beda denganku yang selalu dimarahi dengan kekerasan fisik yang luar biasa. Jujur, aku suka kalau salah ditegur dan diingatkan, itu tandanya peduli akheratku. Tapi tidak dengan kekerasan fisik dan verbal. Saat SMA, fotoku menjadi cover majalah sekolah. Fotoku juga sering terpampang di koran, majalah, tabloid sebagai pemuda berprestasi. Bapak tidak bangga, makanya aku juara apa tidak pernah cerita. Paling kalau menang, dapat uang lalu kusimpan, sebagian kuberikan ibuk atau kubelikan alat rumah tangga untuk ibuk. Pernah saat aku juara, dimana banyak orang mengagumimu. Puluhan ratusan ucapan dari oranglain memujiku. Sementara bapakku menjatuhkan mentalku:
"Tuh kan gara gara bapak ledek, bapak hina. Kamu jadi menang dan juara. Kamu itu kalau diledek makin semangat."

Di saat orang orang mengucapkan selamat untukku, bapakku gengsi mengucapkan selamat, dan mengucapkan itu padaku. Di balik itu, aku tahu dia sebenarnya sayang aku. Cuman nylekit. Bukti lain beliau sayang aku,  beliau bernadzar kalau aku juara satu terus dari SD sampai lulus SMA, maka aku akan diberi emas 10 gram. Bapak menepati janjinya, sapi satu satunya milik bapak dijual dan akan digunakan membeli emas untukku. Ya dia keras, tapi dia menepati janji. 2013, sapi dijual mau untuk membelikan emas aku untuk menepati janji. Tapi aku meminta lain, agar uang hasil jual sapi dibelikan sepeda motor saja, second tidak apa apa. Terpenting bisa buat aku kuliah, kerja dan tidak jalan kaki. Uang hasil jual sapi pedhet laku 8 juta. Dibelikan motor Revo bekas di showroom. Alhamdulillah, motor sebagai pengganti emas itu adalah motor penuh perjuangan. Kuberi nama motorku itu "BERKAH" agar ia selalu membawa keberkahan di hidupku. 

Bapak sebenarnya baik, tapi gengsi mengungkapkan dan didikannya terlalu keras untukku perempuan. Aku pengen bapak sesekali kalau bicara nggak harus lembut, tapi apresiasi, motivasi, dan nggak nylekit. Kadang aku merasa, kebaikanku tidak ada apa apanya untuk bapak. Selalu salah dan salah. Saat aku kuliah, dari semester 1 sampai lulus dan wisuda tidak pernah minta uang bapak. Dikasih 500 RB saat awal mau kuliah saja. Selebihnya sendiri. Uang kos dari uang beasiswa, uang makan dari kerja. Aku kerja serabutan ya pernah jadi operator loundry, jaga toko sepatu, waitres di cafe susu halal, jualan snack, lomba, ikut proyek dll. Apapun kulakuan asal bisa dapat cuan halal buat bertahan hidup di kota atlas (Semarang) saat kuliah di UNDIP. 

Hasil menang lombaku sering kusisihkan untuk orangtua sejak zaman sekolah. Aku juga sering membelikan baju, sarung, jajan, hadiah, uang ke bapak. Tapi nggak pernah dihargai. Bapak sering bilang:
"Kerjamu iku ntuk opo. Urung ntuk sawah, omah, urung ntuk aset seng ketok. Trimo ngono kecil"
Nyeseg luar biasa. Sejak 2019-2023 padahal yang memberi yang bensin bapak tiap habis aku. Tidak pernah dianggap. Aku membiayai adekku dari 2017-2024 lulus pondok. Kirim tiap bulan, aku juga yang membelikan seretide discuss tiap habis. Tapi tidak pernah dianggap. Aku membelikan belanja ibuk dari kerja sampingan 300-1 JT tiap Minggu selama 2019-2023 sebelum nikah. Tapi jg nggak dianggap. Aku mondasi rumah habis 15 JT. Aku membangun keramik habis 15 JT sama tukangnya, membuat dapur cantik habis 26 JT. Membeli perabotan rumah, kayu dll 17 JT. Belum isi rumah. Tapi tidak pernah dianggap. Rasanya sakit banget. Sementara adek tidak pernah memberi bapak, tapi dipuji puji. Apalah aku yang memang selalu salah. Sampai suatu ketika saking sakitnya hatiku saat dibilang: "kerjamu dapat apa?" Belum ungkitan lain. Aku nyeplos: " ntuk seng mbok badok". Banget mangkelnya bertahun tahun selalu diperlakukan demikian. Bisakah apresiasi kerja anak, niat baik anak. 

Orang yang benar-benar aku sayang ya ibuku. Ibuku tidak pernah menjatuhkan mentalku. Selalu menyemangati aku. Saat aku mau berangkat kuliah, uang 500 RB itu dari ibuku hasil pinjam uang di selepan di ganti saat panen. Saat aku mau sidang, ibuku tak doyan makan dan selalu mendoakan aku supaya menang. Setelah menang sidang kasus hukum, baru beliau doyan makan. Saat aku sakit, ibukku juga sabar merawatku selama 4 bulan memandikan, menuntun jalan, nyuapin dll. So far, she is like an angel for me. Makanya aku sayang banget. 

Saat aku mau sidang membela kebenaran, tanpa pengacara melainkan dengan penguasaan ilmu hukumku sendiri dan bekal pertolongan Allah karena menegakkan kebenaran (agar distribusi bansos tepat sasaran, agar pupuk subsidi harganya sesuai, dan kasus kasus lainnya), ibuku mendoakan dan mendukungku terus. Sementara bapakku, kemakan hasutan orang dzolim justru menakut nakuti ku penjara. Wallahi aku tidak takut penjara, takutku Allah. Pedomanku Imam Nawawi yang berani menyurati raja menuntut keadilan. Para ulama zaman dulu menegakkan kebenaran tidak takut dipenjara. Untuk apa aku takut, makanya aku maju terus nekad sampai menang. 

Bukan hanya itu, saat aku dibully karena aku tidak mau dinikah beberapa lelaki sampai dituduh tidak doyan nikah. Bapak justru meledekku perawan tua, nganjer. Sehingga tak jarang aku debat sama bapakku sendiri. Ibukulah yang menenangkan aku saat aku tersulut emosi. Jujur sakit hatiku, dijatuhkan mental oleh orang terdekat. Memang 2019-2021 aku menutup hati tidak mau menerima ajakan nikah dari lelaki manapun, karena aku depresi berat setelah rencana pernikahan dengan Kang Ibad beserta persiapan nikah dibatalkan sepihak. Sehingga diam diam aku perawatan mental, konsultasi psikolog, ke ulama sampai mentalku benar benar sembuh. Barulah aku bisa membuka hati. Sehingga aku menerima orang baru ya benar benar siap, bukan pelampiasan atau pelarian. Lillah menikah untuk ibadah. Justru saat aku perawatan mental, dengan biaya yang nggak sedikit karena aku belum punya BPJS. Aku nabung buat berobat, bapakku malah ikut ikutan orang yang jahat, bukan menguatkanku justru ikut menjatuhkan mentalku. Entah beliau ngomong itu sadar atau tidak, tapi pengucapannya berkali kali langsung padaku, sehingga membuatku benar benar sakit hati dan kecewa. 

Alhamdulillah ada ibu yang selalu menguatkanku. Dari kecil, saat aku dikasari bapak, ibuk sering menguatkan aku, memelukku. Itulah mengapa aku sayang banget sama ibukku. Ibuku pahlawanku, ibuku sosok yang gemati, sabar, tidak julid, pekerja keras. Semoga Rohmat Allah untukmu buk. Aamiin 

Tidak ada komentar :