DARI KATA MENJADI LUKA
(Part 2)
Catatan Dewi Nur Halimah
Dari tahun Januari 2019 - April 2023, aku mengenal sosok seorang bapak yang baik banget, namanya Bapak Khusnul Maat. Selain beliau berpendidikan, beliau juga khusnul lisan. Kalau bicara motivatif, menginspirasi dan enak didengar. Beliau salut dan kagum dengan segudang prestasiku. Beliau juga selalu mendukung karya-karyaku. Beliau sering bertukar pikiran diskusi denganku, dan beliau selalu takjub dengan pola pikirku. Jika ada yang kurang beliau lengkapi dari diskusiku. Beliau juga mengemukakan belum pernah menemukan perempuan yang pola pikirnya seperti aku, mengagumkan, cerdas, mandiri, pekerja keras tapi tetap sederhana dan rendah hati.
Jujur hatiku tersentuh, bagaimana tidak. Selama ini aku selalu mendapatkan kekerasan fisik dan kekerasan verbal dari bapakku. Tapi beliau selalu mendukungku dengan baik, bahkan beliau pernah menawarkan bantuan finansial untuk dukungan penerbitan bukuku. Meskipun aku tolak, aku berusaha mandiri dulu kecuali kepepet kuterima. Beliau adalah ayah sahabatku, Kang Aista Wisnu Putra. Ya dulu aku mencintainya, sekarang tidak. Cintaku sekarang semua untuk suamiku.
Kembali pada Pak Khusnul, beliau ini baik, selalu memotivasiku. Lomba didukung, beliau suka membaca tulisanku lalu memberikan saran, kritik membangun untuk perbaikan. Kalau diskusi juga nyambung dan sepemikiran. Beliau pernah bilang bahwa beliau akan sangat bahagia jika aku ditakdirkan menjadi menantunya. Aku pun juga bahagia kalau aku jadi menantunya, punya bapak mertua diskusi nyambung, selalu husnudzon, selalu memotivasi. Hanya takdir Allah berbeda, aku tidak ditakdirkan berjodoh dengan anak beliau.
Selama 4 tahun kenal dekat Pak Khusnul, pola pikir kita sepemikiran, tidak pernah debat, tidak pernah julid dan sering nyuport. Sebagai hadiah, beliau saya beri buku tulisan saya parenting Nabawi dan cara kultur jaringan. Alhamdulillah supaya itu menjadi kenang kenangan bahwa kita pernah saling mendukung dalam berkarya. Belau baik, ramah, motivatif. Istri beliau juga baik, Bu wafiatun Ahmad. Komunikasi dengan beliau berhenti, sejak aku menikah karena suami tidak ridho. Aku manut, demi menjaga perasaan suamiku. Orang yang kucintai, surga Allah bersama ridho-Nya.
Seandainya mertuaku berhati baik selalu mendukung seperti Pak Khusnul dan Bu Wafiatun, tentu hatiku bahagia. Namun sayangnya beberapa kata nylekit terucap tanpa dipikir sampai aku tahu sehingga meninggalkan bekas luka untukku. Kata-kata mertuaku, yang pernah kudengar langsung maupun melalui suamiku diantaranya:
1. Aku dituduh matre saat suamiku mau menikahiku. Logika saja, aku menerima suamiku dalam kondisi aku wanita karir sudah punya rumah dan kerjaan. Sementara suamiku masih kuliah, belum kerja. Aku LDR Setahun, baru Syawal 2024 kita bareng. Suamiku baru kerja itupun yang melatih aku dan bapakku. Yang melatih dagang aku, yang melatih bertani bapakku. Aku menemani suamiku dari nol dan dituduh matre, gimana nggak sakit. Sakit banget. Suamiku membelaku. Karena memang aku sederhana, tidak matre. Wong mahar saja aku tidak menarget, semampunya saja. Aku juga tidak minta ini itu, penting akhlak dan agama baik.
2. Setelah sepasar nikah, seminggu setelah nikah. Aku diminta mertua perempuanku ke rumah Mbah Mbah. Aku menurut ke sana bersama suamiku, kukira ke rumah saudaranya. Ternyata itu rumah Mbah e Icha (Icha adalah perempuan yang mau dijodohkan sama suamiku oleh mertuaku). Bayangkan, gimana sakitnya, habis nikah disuruh dolan bawa jajanan ke rumah perempuan yang mau dijodohkan sama suamiku. Aku tak tahu makanya aku manut. 6 bulan kemudian setelah kejadian itu, barulah aku tahu jika itu rumah keluarga Icha. Wallahi sakit banget hatiku, tidak ridho. Tidak ada anjuran silaturahmi mantan jika pasangan tidak ridho. Entah mertuaku perasaanya dimana, padahal sama sama perempuan. Dikiranya mungkin aku tidak tahu, serapi apapun bangkai disembunyikan pasti kecium baunya. Aku saja sangat menjaga perasaan suamiku, suamiku tidak kuajak dolan ke rumah beberapa lelaki yang mau menikahiku kutolak dengan alasan apapun. Menjaga keutuhan rumah tangga hukumnya wajib, menjauhi mudhorot mantan yang naksir/ mantan yang dijodohkan/ atau mantan kekasih itu lebih baik.
3. Bulan Syawal 2024 (tepat setahun pernikahan kami), saat aku dan suamiku dolan Brebes di rumah mertuaku. Mertuaku perempuan bilang ke suamiku, di depannya ada aku, mertua bilang gini:
"Zur (nama panggilan suamiku, karena namanya Mustafizur), kamu serahan nikah habis 50 juta. Besok saat adekmu mau nikah gantian bantu serahannya," kata ibu mertua.
Bilang gitu pantes, kalau anaknya sudah mampu dan mapan secara ekonomi. Lah anaknya kerja aja belum, baru lulus kuliah. Selama setahun LDR saja aku tidak dinafkahi ridho, biar suami fokus kuliah. Lah iya anaknya nafkahin istrinya belum mampu, dituntut kelak bantuin adeknya kan ya lucu. Orangtua nikahin anak kan emang kewajiban orangtua, kalau tidak mau nikahin ngeragati anak, ya childfree (nggak usah punya anak, jadi tidak perlu tanggung jawab biaya ngeragati anak). Berani punya anak, ya berani tanggung jawab biayai anak. Wong suami juga nikah tidak nuntut neko neko. Dekor Snack makanan belanja pesta dll semua biaya dariku pribadi dan orangtuaku. Barang dari keluarga suami itu berupa serahan emas 11,5 juta, perabotan kasur kulkas lemari kaca 7 JT, perlengkapan kecil kecil sekitar 10 JT sama buah. Sisanya mungkin transportasi. Loh kog aku tau?. Ya tahu wong aku pegang kwitansinya juga aku biasa belanja sendiri perabotan. Bukan disupport kerja tapi sudah dibebani sebelum berjuang. Harusnya punya menantu tidak banyak nuntut itu syukur, bukan malah nyelekit. Lama lama aku yang respect jadi ilfeel. Karena ya tidak mikir sebelum bicara. Lah yang bantuin suami kerja 80% aku dan orangtuaku, baik modal maupun pelatihan, orangtuanya ngasih modal cuma 2 JT tapi sudah bebani anak kayak gitu. Nikah e anakmu kedua, ya tanggung semampunya. Mampu mewah silahkan, tidak mampu mewah ya sederhana saja sesuaikan kemampuan, tidak usah gengsi. Anak belum kerja kog dibebani. Untung istrinya mandiri, punya kerjaan sehingga bisa menghandle belanja sendiri.
4. Saat dulu mau nikah kan pakai dekor, buat kenangan aja. Wedding kan momen sakral. Toh biaya dekor juga dari ibukku. Bisa bisanya mertuaku bilang gini:
"Sayang dekornya nok, nggak usah dekor aja. Kan cuma sehari. Buang buang uang. Eman."
Meskipun itu bercanda tetap tidak sopan. Wong aku biaya juga nggak minta, sudah disiapkan jauh jauh hari. Kecuali aku minta dia gimana, pakai uang orangtuaku. Sudah ada anggaran sapi buat nikah. Padahal mertuaku dulu saat nikah, juga dirias, teganya bilang itu. Aku tetap teguh pendirian, tetap pakai dekor dan rias meski sederhana. Panggung ukuran 5 x 6, normalnya pengantin lah. Meskipun pesta besar privat keluarga dan orang terdekat saja, rias kan buat kenangan. Ngelarang itu kalau aku minta dibayari dia, wong aku bayar sendiri. Dia juga nggak bayarin. Nyeseg sih, kalau ngomong dan bersikap suka nggak dipikir.
Selama aku hamil cucunya, tanya kabar saja tidak pernah. Padahal punya nomorku. Tidak bisa chat, record suara bisa. Selama ini yang chat aku terus yang mulai duluan, lama lama males karena beliau juga tidak peka. Tidak pernah tanya kabar, tidak tanya kondisi sehat tidak padahal beberapa kali aku sakit. Tanya sudah ada perlengkapan bayi tidak, anaknya bisa nafkahi nggak, gimana persiapan lahiran, gimana perkembangan bayi. Wallahi nggak sama sekali. Bahkan aku bilang suamiku, 4 bulan kan dibanca'i Blora. Nanti 7 bulan dibanca'i orangtuamu Brebes ya. Wallahi nggak, aku tanyakan orang Brebes nggak ada banca'an meskipun mintaku kecil kecilan GPP, biar hemat. Keluarga besar aja, kan sudah 7 KK tuh. Sudah banyak sama anak anak dan pasangannya. Nyatanya sampai 8 menuju 9 tidak ada banca'an. Cukup kecewa.
Kebiasaan apa kata orang, jadi kalau acara nggak besar ngundang jama'ah malu. Padahal hakekat banca'an itu sedekah juga doa. Latihan dermawan sesuai kemampuan. Misal mampunya ngundang 10 orang ya undang 10 orang, tidak usah ngoyo 60 orang. Nggak usah pedulikan kata orang, toh mereka nggak biayain kan. Sama sekali nggak dibanca'i walaupun aku minta sederhana keluarga saudara saja. Ya sudah GPP, kubancak'i sendiri. Tapi cukup tahu bahwa tidak ada kepedulian perhatian (terbukti tanya kabar aku langsung tidak pernah lewat wa atau telpon), tidak ada kepedulian uang, tidak ada kepedulian banca'an. Nyeseg, tapi belajar tegar. Justru ini melatih mandiri dan kuat, meskipun sakit.
Saat aku diperlakukan seperti itu, kadang aku teringat Pak Khusnul. Seandainya mertuaku bersikap baik dan berkata baik seperti beliau dan istrinya yang santun, gemati, sopan ke aku. Ya sudahlah, terima apa yang ditakdirkan Allah. Alhamdulillah suami gemati, mertua julid dan nylekit ya bodoh amat. Toh rumah sudah sendiri dan pisah. Meskipun nyeseg, ya ikhlaskan. Kalau lihat emak bapakku sayang suamiku rasanya senang, sayangnya mertuaku tak segemati orangtuaku ke suamiku, habis nikah aja disuruh dolan ke rumah Mbah e Icha.
Ya kuakui, orang yang benar benar peduli aku ya ibuku. Lagi lagi banca'an juga ibuk. Aku sakit yang rawat juga ibukku dan suamiku. Suamiku dan ibuku. Semoga Rohmat Allah untuk ibu dan suamiku.
3 komentar :
Rejeki itu sebenarnya sudah hampir lengkap kau miliki. Kecerdasanmu, kekuatan jiwamu, orang tua yang baik dan suami yang baik
Hanya satu kekurangannya. Mertua yang mau mengerti
Semoga Allah memberkahi mu,suamimu, kedua orang tuamu
Posting Komentar