HALIMAH BINTI MASDARI

Jumat, 10 Juli 2020

JUJURLAH DALAM MENJAWAB PERTANYAAN AGAMA ATAU MENJELASKAN SOAL HUKUM

JUJURLAH DALAM MENJAWAB PERTANYAAN AGAMA ATAU MENJELASKAN SOAL HUKUM 

*****

Oleh: Dewi Nur Halimah 




Jika ada seseorang atau sekelompok orang tanya padamu soal agama, jika kamu mengetahui dan menguasai bab itu maka jawablah dan jelaskan secara detail. Karena akan menambah pengetahuan yang tanya. TETAPI jika kamu tidak tahu jawabannya, jangan ngawur jawab ngarang. Tanpa dasar referensi, tanpa ilmu. Mengapa tidak boleh jawab ngawur, nafsiri ngawur? Karena akan menyesatkan orang yang kamu jawab. Lalu sebaiknya gimana kalau tidak tahu jawabannya?. Jawablah "Saya belum tahu. Barangkali bisa tanya yang lebih ahli, si fulan" atau jawablah "Saya belum tahu. Izinkan saya belajar lagi dan bertanya pada ulama yang mumpuni untuk mendapatkan jawabannya" atau bisa pula kamu jawab "Saya tidak tahu, mohon maaf." 

Tidak usah malu menjawab JUJUR tidak tahu/bisa, jika kamu memang tidak tahu jawaban yang benar daripada NGAWUR menyesatkan, itu dosa. Soal agama jangan gegabah. Kenapa saya sampaikan ini?. Banyak ustadz/ustadzah entah sudah baca kitab/belum, sudah berguru/ belum berani menghukumi tanpa dasar, bahkan jawabannya saya amati ngawur. Ini membahayakan ummat. Jangan nyari tenar tapi ngawur, karena kamu edan pengen dipanggil kiahi. Jangan jadi kiahi jahil yang menyesatkan. Soal hukum agama, ilmu agama kuasai dulu, atau minta fatwa ulama ahli dulu baru disampaikan. Saya pun tidak berani menjawab kalau tidak tahu. Kecuali saya sudah baca sendiri, dijelaskan bapak, tanya ulama langsung pas sowan/ phone, baru berani menyampaikan. 

Saya bukan tipikal gengsi berkata jujur. Di sini saya mengajak teman-teman buat jujur dalam menyampaikan ilmu. Saya mengamati ada yang jawab ngawur salah, kenapa saya berani menyalahkan. Kebetulan saya habis baca kitab bab itu, saya tanyakan guru dan saya tanyakan yang paham/ benar-benar menguasai. Saya suka kritis ke ahli ilmu, sebab di situ saya mendapatkan ilmu. Saya menemukan orang yang menjawab dan memberikan penjelasan fiqih dengan ngawur, mana didengarkan orang banyak pakai speaker, jawab ngawur/ngejelasin salah pula. Kan menyesatkan. Belajar dulu sampai paham dan bisa, sebelum menyampaikan. Jangan sampai demi pujian/tenar di hadapan hadirin m, demi panggung, engkau memperoleh dosa jariyah dengan menyesatkan banyak orang karena menyampaikan hukum yang salah. Jujurlah. 

Sebagian yang suka menjawab ngawur soal hukum agama karena mereka masih mengira, jika seseorang tidak tahu, lalu ia TERUS TERANG JUJUR mengatakan “saya tidak tahu“, maka sederet stigma negatif akan menempel kepadanya, seperti kurang pengetahuan, bodoh, dll. Padahal tidak demikian, beberapa ulama seperti Al Mawardi dan Al Munawi menjelaskan, justru merupakan sifat orang alim, jika ia tidak tahu maka ia terus terang. Sebaliknya sifat orang bodoh, jika ia takut mengatakan kalau dirinya tidak tahu, dan hal itu bukanlah sebuah aib.

Belajarlah dari ulama:

1. Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya 9 masalah, semua dijawab dengan “la adri” (saya tidak tahu).

2. Imam Malik ditanya 40 masalah, hanya 4 yang dijawab, dan 36 masalah lainnya dijawab dengan, “la adri“ (saya tidak tahu).

Coba perhatikan, ulama besar sekelas imam mahdzab saja tidak malu untuk berterus terang mengatakan tidak tahu tatkala tidak tahu, demi kehati-hatiannya, masak kita yang pengetahuan jauh dari mereka kengalimannya tatkala tidak tahu berani ngawur, jawablah jujur saja. In syaAllah kejujuran adalah kebaikan untukmu, selamat dunia akherat.

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS.al-Isra’: 36)

Kedudukan seorang alim tidak akan jatuh dengan mengatakan “saya tidak tahu“ terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini malah menunjukkan ketinggian kedudukannya, keteguhan agamanya, takutnya kepada Allah Ta’ala, kehati-hatiannya dalam menghukumi karena khawatir menyesatkan, kesucian hatinya, sempurna pengetahuannya serta kebaikan niatnya. Orang yang lemah agamanya justru merasa berat melakukan hal itu. Karena ia takut derajatnya jatuh di depan para hadirin dan tidak takut jatuh dalam pandangan Allah. Ini menunjukkan kebodohan dan kedangkalan agamanya. Takut hujatan manusia, tidak takut pandangan Allah. 

Ulama yang sesungguhnya adalah yang ilmunya menjadikannya takut dan memiliki “khasyyah” kepada Allah SWT. Bukan dengan kebodohannya menjadikannya berkata apapun tanpa rasa takut kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang  takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama”. (QS.Fathir: 28)

Imam Ghazali dalam Ihya'ulumiddin mengatakan “La adri adalah setengah dari pengetahuan. Barang siapa diam karena tidak tahu dan itu dilakukan karena Allah, maka pahalanya TIDAK lebih rendah daripada mengatakan (karena dia tahu). Karena mengakui ketidaktahuan amat berat. Karena kabaikan diam disebabkan tidak tahu karena Allah adalah bentuk kewara’an (kehati-hatian) seperti mereka yang menjawab karena tahu adalah tabaru’an (pemberian).

Fenomena munculnya para ulama bodoh memang sudah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya secara langsung dari hamba-hambaNya. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan seorang alim pun, orang-orang akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, maka ketika mereka ditanya mereka akan berfatwa dengan tanpa landasan ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (Muttafaq ‘Alaih).

Berhati-hatilah dalam memberikan fatwa. Mengapa?. Karena fatwa yang salah atau penjelasan yang salah alias ngawur dalam menjawab tanpa landasan ilmu, dosanya bukan ditanggung oleh yang bertanya atau diberi fatwa TETAPI ditanggung yang menjawab atau memberikan fatwa.

Rosulullah saw bersabda:

مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ

“Siapa yang diberi fatwa tanpa landasan ilmu, maka dosanya atas orang yang memberi fatwa”. (HR.Abu Dawud)

Semoga tulisan ini bermanfaat. Segala kebenaran datangnya dari Allah swt, segala kekurangan datangnya dari diri penulis. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan penulisan selanjutnya. Tulisan ini halal untuk dishare tanpa  merubah apapun sekalipun tanpa izin penulisnya jika dirasa bermanfaat. Tulisan ini penulis persembahkan untuk orangtua penulis, para guru penulis dan kiahi penulis. Semoga rohmat Allah untuk penulis, orangtua, para guru dan kiahi penulis. Hadiah al fatekhah untuk beliau-beliau. Lahul fatekhah. Aamiin

Tidak ada komentar :