Allah, Hanya kepadaMu Aku Berserah
*****
Oleh: Dewi Nur Halimah
Aku telah berupaya dengan maksimal semampuku. Bagaimana aku berjuang menjadi sosok kakak yang menyayangi adek kandungku satu-satunya, bagaimana aku berusaha semampuku memuliakan kedua orangtuaku terutama ibuku. Bagaimana aku membahagiakan orang lain semampuku.
Aku berusaha menjadi kakak yang baik. Seringkali aku menginginkan sesuatu, aku sudah menabung untuk membeli barang yang aku butuhkan. Namun semua kuurungkan, demi orang-orang yang aku cintai bahagia. Kebutuhanku kukesampingkan, kebutuhan primer adekku kudahulukan. Uang yang kutabung kuberikan adek untuk biaya pondok dan sekolah dia. Aku mintadia untuk membeli semua kitab-kitab yang dibutuhaknnya untuk belajar tanpa eman. Aku minta ia mempelajari dan memahami isi kitab-kitabnya. Walaupun aku tahu, harga buku dan kitab yang dibeli adek mahal-mahal, apalagi tebal. Namun melihatnya rajin belajar, membuatku tidak masalah soal harga buku dan kitab yang mahal. Barangkali kelak di akherat, orang yang menolongku adalah adekku. Semoga ilmumu manfaat minad dunya ilal jannah adekku.
Seringkali aku tidak ikut hang out, dan setiap kali tidak ikut pasti diomong. Tidak mau kumpul, tidak mau ini, tidak mau itulah tanpa tabayun dulu mengapa aku tidak mau hang out tanpa tujuan tolabul ilmi. Ini sudah prinsipku sejak SD. Pertama, aku tidak mau diajak ngrumpi. Dosaku sendiri sudah banyak, untuk apa mengomongkan orang lain. Ghibah hukumnya haram KECUALI orang itu mendzolimiku maka mubah aku menceritakannya untuk meminta keadikan atau aku meminta fatwa/ keadilan kepada mufti atau penegak keadilan, hanya itu yang diperbolehkan diperbolehkan. Terkadang aku berfikir, bagaimana nasibku besok saat di yaumil hisab. Bagaimana kelak semja ummat manusia mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Allah swt. Spontan air mata mengalir. Dosa yang paling aku takuti adalah dosa ghibah dan dosa dzalim. Sebisa mungkin aku untuk menekan diriku agar bicara yang manfaat saja seputar ilmu dan akhlak. Siapa yang mengekang nafsuku jika bukan aku sendiri. Dosa sudah banyak, ketambah ghibah atau dzolim, bagaimana nanti tanggung jawab ke Allah?. Aku tidak peduli omongan orang, aku akan melakukan apapun sesuai keyakinan dan prinsipku. Hidupku bukan untuk linnas (untuk manusia), tapi lillah (untuk Allah). Bukan pujian manusia yang kucari tapi ridho Tuhanku. Saat aku tidak mau ngrumpi dan lebih memilih belajar, aku pasti dihujat tidak bisa sosialisasi. Aku cuek, tidak peduli. Aku dihujat berarti aku disodaqohi pahala besok di akherat. Kan orang yang dzolim kelak diakherat akan diambil pahalanya untuk diberikan pada orang yang didzalimi ketika di dunia. Nah kalau pahalanya si dzolim sudah habis, maka akan diambil dosa orang yang didzalimi semasa di dunia untuk dialihkan ke yang mendzoliminya, sehingga yang didzimi dosanya berkurang. Nah rugi kan ghibah itu, kecuali yang pengecualian beda lagi. Kalau aku mau diajak ngrumpi, apa mereka mau nanggung dosaku di hadapan Allah? TIDAK. Mereka hanya mengajak maksiyat tanpa tanggung jawab di akherat. Karena setiap orang tidak menanggung dosa orang lain, melainkan menanggung apa yang dikerjakannya sendiri. Jadi perlu hati-hati. Hidupku di dunia hanya sekali, dan aku pun tak tahu seberapa lama. Jadi aku harus selektif dalam bersikap dan berkata.
Kedua, mengapa aku tak mau kumpul-kumpul kecuali membahas ilmu atau kebaikan. Karena setiap kumpul, kujumpai setiap perkumpulan pada hedon dan lebih banyak yang tidak manfaat untuk akherat, unjuk life style, berlomba menunjukkan kekayaan, hedon (foya-foya), pemborosan dan lain sebagainya. Sekali keluar min 25k ke atas, itu sekali duduk. Lah kan sayang, mending aku tabung. Bisa kubuat untuk ngirim adek, bisa jadi amal jariyah. Dia sekolah, bisa pinter. Atau bisa juga kutabung buat masa depan, sebagian buat kusodaqohkan. Kan in syaAllah manfaat, ornag lain turut senang dan merasakan, orangtua bahagia. Betapa bahagianya aku tatkala sholawatan bersama anak-anak sendiri, ngajak beberapa anak, lalu makan bareng-bareng. Uangku lebih suka kugunakan untuk itu. Beberapa kali, saat aku ada rizki aku borong jajan ratusan. Kubagikan anak-anak kuajak sholawatan. Anak-anak sukanya masya Allah dan rinduku ke rosulullah makin besar. Aku selalu terkenang sayyidah Fatimah yang suka bersedekah dan sayyidah Aisyah yang juga suka bersedekah.
Seringkali hasil tabunganku kuberikan adek, ibu, dan kegiatan sosial mandiriku. Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat adek semangat mengaji. Air mataku langsung menetes. Ada kebahagiaan tersendiri sata aku membelikan sembako hampir satu minggu sekali untuk emak, agar tidak usah belanja dan menyenangkan belau. Hatiku bahagia ketika melihat emak dan bapak serta adek bahagia. Merekalah sumber kebahagiaanku. Aku berusaha mementingkan keluarga, orang lain diatas kepentinganku untuk meneladani para ummahatul mukminin. Aku pelan-pelan berusaha untuk itu.
Sebelum aku menikah, akan aku maksimalkan membahagiakan emak, bapak dan adekku. Kucoba semampuku selalu menyenangkan hati emak. Kucoba semaksimal mungkin menyenangkan hati adek. Saat ini aku belum menikah, ridho Allah bersama ridho kedua orangtuaku. Kuusahakan menyenangkan hati emak dan bapak. Aku tidak ingin di masa tua mereka sangat capek. Kasihan, waktu tua adalah waktu istirahat. Aku ingin kelak di masa tua orangtuaku, beliau bekerja sederhana saja, tidak ngoyo sebatas hobi dan mengisi waktu luang saja. Waktu tuanya dihabiskan untuk mengaji dan bercanda riang dengan anak cucunya. Usia semakin tua kan tenaganya semakin berkurang, kuingin ortu pun kerjanya semakin ringan. Demikian juga usia tua, kan semakin dekat usia kematian maka ngajinya ditambah dan mendekat ke Allah ditingkatkan lagi. Aku berusaha semaksimal mungkin agar aku bisa memuliakan orangtuaku.
Setelah nikah nanti, bisa saja aku dibawa suamiku. Bagaimanapun, istri harus manut dan mengalah sebab ridho Allah swt bersama ridho suami. Bagaimana kelak saat ridho Tuhanku yang bersamaan pada ridho orangtuaku diambil alih bersamaan dengan ridho suamiku, disaksikan para malaikat. Rasanya air mataku menetas. Itulah mengapa aku in syaAllah menikah dengan dasar cinta, tidak mau karena dipaksa. Karena aku perempuan dan aku akan menjadi seorang istri, surga seorang istri ada pada ridho suaminya, ada pada ketaatan pada suaminya. Dengan menikah karena cinta, in syaAllah aku akan menjadi istri yang taat layaknya zaujati Muti'ah. Aku tahu diriku, tatkala aku mencintai dan tertarik, maka aku rela berkorban apa saja untuknya. Namun tatkala aku tidak ada ketertarikan sama sekali, aku akan memberontak terus. Aku tidak mau menjadi istri pembangkang, cita-citaku menjadi istri solekhah maka aku harus menikah atas dasar cinta. Aku tidak mau ibadah karena dipaksa, sebab nikah adalah ibadah.
Aku mau menikah atas dasar cinta. Dengan cinta maka ada ketulusan dari diriku sehingga aku siap mengabdi dzohir batin untuk agama, dunia dan akheratku. Aku ingin seperti sayyidah Khodijah ra dan Sayyidah Fatimah ra. Kumaksimalkan persiapanku sebelum menikah. Bahkan kenangan demi kenangan untuk tempat yang pernah aku kunjungi, berkarir, belajar sudah aku siapkan semua. Kuingin saat aku mengabdi birul zauj, ada kenangan karya dan kebaikan yang abadi di hati orang-orang. Ketika memandang karyaku, mereka teringat aku pernah ada di situ dan berkarya di situ. Ketika mengingat pengorbanan dan kebaikanku, air matanya mengalir sebab ada rindu akan diriku.
Aku pasrahkan hidup matiku semata pada Allah. Aku hanya makhluk yang hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Semoga kelak bisa menjadi zaujati solekhah. Menikah adalah sarana menggapai ridho ilahi minad dunya ilal jannah. Ketika aku sudah memutuskan mau dinikahi seseorang sebab aku memandang bersamanya aku in syaAllah bisa selamat dunia akherat, bisa maju berkarya bareng. Maka aku siap mengorbankan jiwa, raga, nyawa, harta dan tenagaku untuk mengabdi padanya sebagaimana yang dilakukan sayyidah Khodijah ra. Aku rela meninggalkan karir, jika ia memintaku fokus di rumah mendidik anak dan menjadi istri atau jika dia mengizinkanku kerja, aku akan kerja di luar sesuai ridhonya selama tidak bertentangan dengan akidah. Karena bagaimanapun ridho Allah bersama ridho suami untuk seorang istri.
Ini adalah kesempatan emas bagiku untuk membahagiakan orangtuaku sebelum akhirnya ridho Tuhanku beralih bersamaan dengan ridho suamiku. Akan kusenangkan hati kedua orangtuaku semaksimal yang aku mampu. Barangkali pengabdian itu akan dikenang sebagai bukti cintaku pada orangtuaku. Bila aku menikah nanti, surgaku ada pada ridho suamiku. Belum kalau aku dibawa suami, berarti orangtua suamiku adalah orangtuaku. Aku akan jauh dari orangtua kandungku. Maka dari itu, mengabdi ke orangtua sebelum ridho Allah beralih bersamaan dengan ridho suamiku akan kumaksimalkan.
Aku tidak memiliki cita-cita muluk-muluk. Cita-citaku sejak SD sampai saat ini masih sama. Aku ingin menjadi anak solekhah yang cerdas, menjadi zaujati solekhah yang cerdas, menjadi umi solekhah yang cerdas, memiliki dzuriyah soleh/solekhah cerdas dan wafat dalam kondisi tetap iman, islam, dan husnul khotimah. Hidup itu sederhana, asal penuh syukur ya in syaAllah tenang. Tidak panas terus. Tetangga dapat rizki, ikutan bahagia karena bahagia ketika muslim lainnya bahagia itu pahala. Tidak perlu iri, rizki sudah dibagi. Lihat tetangga sedih, ikutan empati. Merasakan apa yang muslim lainnya rasakan. Membantu semampunya, tidak ngoyo. Kurasa kalau hidup sederhana, apa adanya, nggak ngoyo, nggak neko-neko, nggak pengen ini itu, banyak syukur, banyak berbuat kebaikan. Ya in syaAllah hati terasa tenang dan ayem.
Pada hakekatnya kita hidup diantara adzan dan solat. Saat dilahirkan ke muka bumi, kita diadzankan. Saat wafat, kita disolatkan. Maka sebelum disolatkan, persiapkan bekal kematian. Kita tak pernah tahu kapan kita mati, bisa jadi pagi tertawa sorenya wafat. Sore tertawa paginya wafat dan lain sebagaimana. Wafat bisa dengan banyak jalan, bisa saat solat, bisa kecelakaan, bisa sakit dan lain sebagaimana. Bagaimanapun cara wafat kita, semoga kelak wafat dalam kondisi husnul khotimah, menjadi kekasih Allah swt dan dikumpulkan bersama para kekasih Allah di jannahNya. Aamiin.
Terkadang jika aku teringat ini, air mataku menetes. Beberapa pertanyaan yang membuatku sangat berhati-hati dalam bersikap:
- Bagaimana nasibku kelak saat wafat, akankah su'ul khotimah atau husnul khotimah?
- Bagaimana aku kelak di alam kubur, akankah penuh dengan siksa kubur atau nikmat kubur?
- Bagaimana kelak jika lisan dikunci, semua anggota tubuh (tangan, kaki, telinga, mata, hati, dan farji) bersaksi kepada Allah akan sikap kita selama di dunia. Akankah mereka (anggota tubuh kita) bersaksi bahwa kita lebih banyak berbuat maksiyat/ dosa ataukah lebih banyak berbuat kebaikan/ ketaatan?
- Bagaimana kelak aku menerima buku catatan amalku, akankah menggunakan tangan kiriku (artinya amal buruk lebih banyak) ataukah dengan tangan kananku (artinya amal baik lebih banyak)?
- Bagaimanakah kelak aku melewati jembatan siratal mustaqim, akankah aku bisa melewatinya?. Jembatan siratal mustaqim itu kecil, lebih kecil dari helaian rambut sementara di bawahnya sudah neraka ðŸ˜. Kalau terjatuh sudah berarti masuk neraka.
- Kelak di akherat, akankah Allah swt akan memandang wajahku ataukah memalingkan wajahNya terhadapku?
- Kelak di yaumil qiyamah, akankah aku diakui sebagai ummat Nabi Muhammad? Akankah aku mendapatkan syafaat beliau?
Setiap kali teringat pertanyaan itu, air mataku menetes. Hidup di dunia kan hanya sementara, sedangkan kehidupan akherat itu abadi. Apa persiapanku ke negeri akherat?. Dunia adalah tempat menanam amal dan akherat adalah tempat memanen amal. Kalau sudah wafat, mau ngemis ke Allah dibalikin lagi ke dunia ya nggak bisa. Maka dunia adalah tempat untuk beramal kebaikan. Itulah mengapa aku sangat mewanti-wanti diriku agar berhati-hati dalam bersikap, baik tatkala sendiri maupun saat dilihat orang lain.
Aku belajar pelan-pelan bicara seperlunya seputar ilmu, akhlak, kebenaran dan keadilan. Selebihnya aku akan diam dan benar-benar diam. Aku berusaha untuk tidak ghosob, memakai barang orang lain harus izin dulu. Aku berusaha menjaga sikapku agar jujur, amanah, dan menepati janji. Bukan karena aku mau dipuji baik, melainkan baik untuk kupersembahkan di hadapan Allah swt. Aku takut berbuat dzolim dan maksiyat sementara Tuhanku melihatku. Aku malu. Aku juga takut mempertanggungjawabkannya di akherat di hadapan Allah. Maka sikap harus hati-hati. Selain itu, aku ingin dzuriyahku soleh solekhah dan cerdas. Dawuh guruku, anak yang soleh solekhah cerdas itu tidak lepas dari tirakat ibunya. Aku mempersiapkan itu semua. Anak adalah investasi akheratku. Aku ingin memiliki anak yang cerdas soleh seperti imam ghozali dan imam syafi'i. Aku ingin saat aku wafat, anak-anakku mendoakanku. Bukan sekedar mendoakan, tapi kemuliaan akhkak dan kecerdasan akal dzuriyahku menyinari alam kuburku.
Semoga dengan rahmad Allah, usaha yang aku perjuangkan tidaklah sia-sia baik di dunia hingga akherat. Semoga aku bisa menjadi waladun solekhah yang cerdas, zaujati solekhah yang cerdas, umi solekhah cerdas, memiliki dzuriyah soleh/solekhah cerdas, dan wafat dalam konsisi tetap iman, islam, dan husnul khotimah. Lahul fatekhah. Aamiin
Duhai rabbku...
Aku hanyalah seorang hamba yang hanya bisa berikhtiar. Hasil kupasrahkan Engkau dan kugantungkan harapanku hanya kepadaMu. Jangan biarkan aku larut dalam kesedihan dan keputus asaan. Berikankah kebahagiaan dan kenikmatan atas lelahnya perjuangan sehingga bertambah syukur dan cintaku terhadapMu. Jadikanlah aku sebagai bagian dari orang-orang yang beruntung menurutMu, selamat dari dunia hingga akherat, Engkau persatukan dengan para kekasihMu di surgaMu. Aamiin
Tidak ada komentar :
Posting Komentar